Sekolah di Papua Lebih Maju dalam Kelas Inovatif

Jakarta Globe, halaman 6

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara berkembang yang tengah menghadapi masalah kompleks dalam pendidikan. Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat rendah. Ini berarti akan membutuhkan waktu yang lebih lama bagi Indonesia untuk memiliki sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.

Sementara itu, Papua dikenal sebagai provinsi terendah dalam hal pendidikan di Indonesia. Kondisi terburuk dapat ditemukan di Kabupaten Pegunungan Tengah, Papua. Data Wahana Visi Indonesia (WVI) tahun 2010 menunjukkan bahwa hanya 53,2 persen siswa kelas empat di Pegunungan Tengah yang bisa membaca, 50,7 persen bisa menulis dan 41,8 persen bisa menghitung angka sebatas tingkatan mereka.

Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan sekolah dasar di Pegunungan Tengah. Salah satunya adalah masalah lokasi keberadaan sekolah, karena tidak jarang siswa berjalan kaki dari rumah mereka ke sekolah yang jaraknya kiloan meter jauhnya. Terbatasnya jumlah guru juga faktor lain yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Papua, dan juga manajemen sekolah yang mempengaruhi tingkat kualitas dan kuantitas pendidikan. Adalah suatu hal yang umum mendapati seorang guru kelas empat yang tidak mampu menguasai materi pembelajaran yang diajarkan kepada anak didik mereka.

Budaya dan pendidikan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan karakter akan menentukan masa depan anak. Melalui pendidikan, anak mampu untuk mengetahui nilai-nilai moral budaya mereka termasuk keramah tamahan, kesopanan, kepedulian, rasa hormat dan kerja keras yang dapat menimbulkan keharmonisan.

Saat ini di Pegunungan Tengah, banyak budaya lokal telah bergeser dan diabaikan. Silimo, bahasa tradisional daerah tersebut, mulai punah dan tak ada yang mempedulikannya, kata Nico R. Lokobal, pemimpin tradisional Suku Dani. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dan para guru harus menerapkan pendidikan berbasis karakter yang dibangun di atas kearifan lokal dan diperkenalkan pada anak usia muda. Anak-anak dari Pegunungan Tengah perlu memahami kearifan lokal tentang perdamaian untuk mengakhiri perang suku yang mungkin terjadi di masa depan. Masyarakat setempat juga perlu memahami kebutuhan anak-anak sehingga semua orang dapat bekerja sama untuk memenuhi dan melindungi hak anak-anak. Sistem pendidikan semacam ini di Papua disebut Pakima Hani Hano.

Pakima Hani Hano berarti baik dalam keselarasan. Pendidikan karakter ini di Papua yang diterapkan sejak 2012 oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya bersama WVI dan para pemangku kepentingan lainnya di Pegunungan Tengah, Papua. Dalam prosesnya juga terlibatkan mitra dari lembaga pendidikan dan pengajaran, para akademisi, Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK), dan tokoh adat dan agama dari Jayawijaya. Kemitraan ini berhasil mengidentifikasi 33 nilai-nilai budaya positif dari Lembah Baliem. Nilai-nilai ini akan disinkronkan dengan kurikulum sekolah dan diberlakukan di dalam kegiatan mengajar sehari-hari, sehingga siswa tidak akan melupakan identitas budaya mereka – serta meningkatkan prestasi akademik mereka.

Pakima Hani Hano adalah program pendidikan yang sangat baik karena membuat guru terdorong untuk menjadi kreatif dengan menggunakan bahan-bahan lokal yang dapat ditemukan di lingkungan mereka dalam mendukung pelaksanaan kurikulum nasional. Tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak akan belajar dengan baik ketika mereka merasa senang dan akrab dengan topik dan juga pendukung belajar.

Meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi oleh orang-orang Pegunungan Tengah, mereka masih memiliki kemauan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah dasar. Melalui bantuan dan koordinasi yang intensif, kepala desa dan para guru akhirnya setuju untuk membuat komite sekolah.

Komite sekolah tersebut dapat menyampaikan usulan mereka untuk kemajuan sekolah dan mengontrol transparansi keuangan di sekolah. Dengan menerapkan pendidikan kontekstual ini, kehadiran siswa di sekolah juga meningkat. Pencapaian ini merupakan bukti keberhasilan manajemen baru sekolah dan cara baru guru mengajar siswa di kelas.

Papua Schools Lead the Way in Innovative Class

Jakarta Globe, page 6

Indonesia is known as one of the developing countries facing complex problems in education. The quality of education in Indonesia is still very low. It means it will take a longer time for Indonesia to have higher qualified human resources.

Meanwhile, Papua is known as the lowest-educated province in Indonesia. The worst conditions can be found in Pegunungan Tengah district in Papua. Wahana Visi Indonesia (WVI) data in 2010 showed that only 53.2 percent of fourth grade students in Pegunungan Tengah could read, 50.7 percent could write and 41.8 percent could calculate numbers to their expected level.

Many factors cause the low quality of primary school’s education in Pegunungan Tengah. One of them is a matter of proximity of the school, since the students walk on foot from their homes to school which is often located many kilometers away. The limited number of teachers is also another factor causing the low quality of education in Papua, and also school management which influences the level of quality and quantity education. It is common to find a teacher of fourth grader who are unable to master any learning material taught to children.

Culture and education are inseparable. Character education will determine a child’s future. Through education, a child is able to acknowledge the moral values of their culture including hospitality, politeness, caring, respect and hard work which leads to harmony.

Nowadays in Pegunungan Tengah, many local cultures have been shifted and neglected. Silimo, the traditional language of the region, is fragile and nobody cares about it, says Nico R. Lokobal, the Dani tribe traditional leader. To overcome this problem, government and education staff must implement a character based education built upon local wisdom and introduced a young age. The children of Pegunungan Tengah need to understand the local wisdom about peace to end other tribal wars which are likely to happen in the future. The local community also need to understand the needs of children so everyone can work together to fulfill and protect children’s right. This kind of education system in Papua is called Pakima Hani Hano.

Pakima Hani Hano means it is good to be in harmony. It’s character education in Papua which was implemented since 2012 by the education office of Jayawijaya district alongside WVI and other stokeholders in Pegunungan Tengah, Papua. The process also involved partners from the education and instruction office, academics, the Catholic Education Foundation (YPPK), and traditional and religious leaders from Jayawijaya. This partnership successfully identified 33 positive cultural values from Baliem Valley. These values will be synchronized with school curriculum and carried on in daily teaching activity, so the students won’t forget their cultural identity – as well as improving their academic achievement.

Pakima Hani Hano is an excellent education program as it makes teachers encouraged to be creative with local materials that can be found in their surroundings to support the implementation of national curriculum. It’s believed that children will learn best when they are happy and familiar with the topic and the learning aid too.

Although there are many challenges the people of Pegunungan Tengah face, they still have a willingness to increase the quality of education at primary school. Through the intensive assistance and coordination, village leaders and school staff agree to make a school committee.

The committee can give opinions for school’s progress and control financial transparency in school. By implementing this contextual education, the student’s presence in school is increasing. This achievement is proof of the success of the school’s new management and the teaching staff’s new way of teaching students in class.

Papua Schools Lead the Way in Innovative Class

Papua Schools Lead the Way in Innovative Class

Sekolah Tolak Permintaan Maaf Divine

Republika, halaman 5

Delapan sekolah menengah atas (SMA), Selasa (28/4), melaporkan Divine Production, event organizer (EO) yang bertanggungjawab atas rencana acara pesta bikini di beberapa waktu lalu. Pihak sekolah mengadukan pihak EO atas tindakan pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap institusi pendidikan.

Kepala SMAN 29 Jakarta Ratna Budiarti, selaku perwakilan delapan sekolah tersebut, mengatakan, pihaknya menuntut dan meminta agar pihak EO meminta maaf secara terbuka melalui media cetak, elektronik, dan media online.

Terkait permintaan maaf kepada sekolah yang namanya dicatut, Ratna menjelaskan, para kepala sekolah yang merasa dirugikan itu menolak permintaan maaf pihak EO, karena menilai permintaan maaf yang dilakukan tidak secara resmi dan tidak terkesan serius. Dalam surat permintaan maaf terdahulu, tidak ada kop surat dan yang bertanggung jawab, sehingga pihaknya tidak bisa menerima permintaan maaf seperti itu.

Adapun kedelapan sekolah yang sudah melapor ke polisi tesebut antar lain SMAN 29, SMAN 31, SMAN 53, SMAN 12, SMAN 24, SMAN 44, SMAN 109, dan SMAN 38. Laporan dengan nomor LP/1627/IV/PMJ/2015/Ditreskrimum tertanggal 28 April 2015 tersebut dibuat dengan nama pelapor Ratna Budiarti.

Sebelumnya, SMA Muhammadiyah 11 Jakarta sudah melaporkan terlebih dahulu ke kepolisian. Sehingga, total sudah 9 sekolah dari 15 sekolah yang dicatut namanya dalam undangan pesta bikini yang melaporkan EO tersebut ke kepolisian.

Schools Reject Divine’s Apology

Republika, page 5

Eight high schools (SMA), Tuesday (28/4), reported Divine Production, the event organizer (EO) responsible for planning bikini parties recently.   The schools reported the EO for defamation and insult against the educational institutions.

Principal of SMAN 29 Jakarta Ratna Budiarti, as representative of the eight schools, said her party filed a suit and requested the EO openly apologize through the print, electronic, and online media.

Related to the apology to the schools whose names had been misused, Ratna explained the school principals who felt disadvantaged rejected the EO’s apology, because it was deemed the apology was not officially nor seriously made.   In the apology letter, there was no letterhead and those responsible, so her party could not accept such an apology.

The eight schools that had reported to the police included SMAN 29, SMAN 31, SMAN 53, SMAN 12, SMAN 24, SMAN 44, SMAN 109, and SMAN 38.  The report number LP/1627/IV/PMJ/2015/Ditreskrimum dated 28 April 2015 was made with the complainant as Ratna Budiarti.

Earlier, SMA Muhammadiyah 11 Jakarta had already reported to the police first. So there are a total of 9 out of 15 schools whose names were misused in the bikini party invitation that reported the EO to the police.

Schools Reject Divine's Apology

Schools Reject Divine’s Apology

Dana Pengawas UN Belum Cair

Republika, halaman 5

Menjelang beberapa hari pelaksanaan ujian nasional (UN) tingkat SMP, Dinas Pendidikan (Disdik) Sulawesi Selatan (Sulsel) mengungkapkan, dana pengawasan UN hingga kini belum diterima. Dana pengawasan sebesar Rp 4,6 miliar itu masih ditunggu dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Pelaksana tugas (Plt) Kepala Disdik Susel, Salam Soba, mengatakan, dana ini dibutuhkan untuk segera disiapkan menjelang pelaksanaan UN SMP. Dana tesebut rencananya akan digunakan untuk pelaksanaan dan pembayaran honor 18.034 pengawas untuk sekitar 9.000 ruangan. Diharapkan dalam minggu ini dana tahap tiga sebesar Rp 4,6 miliar tersebut sudah bisa dicairkan.

Terkait persiapan UN SMP, Soba mengatakan bahwa semuanya telah siap termasuk naskah ujian yang telah disebar seluruhnya ke masing-masing kabupaten/kota. Ia berharap pelaksanaan UN SMP akan berjalan lancar, terlebih sampai saat ini belum ada keluhan mengenai kekurangan atau cacat pada naskah ujian. Pihaknya pun telah menyiapkan naskah dengan huruf braile untuk 164 peserta didik berkebutuhan khusus.

UN Supervisor Funds Not Yet Disbursed

Republika, page 5

Several days ahead of SMP level national exam (UN) implementation, the South Sulawesi (Sulsel) Education Agency (Disdik) disclosed UN supervisor funds have not been received to date. The supervising fund of Rp 4.6 billion is still being awaited from the Ministry of Education and Culture (Kemendikbud).

Acting Sulsel Disdik Head, Salam Soba said this fund is necessary to be immediately prepared ahead of UN SMP implementation. The fund is scheduled to be used for implementation and payment of honoraria for 18,034 supervisors for around 9,000 rooms.   It is expected within this week the third tranche to the amount of Rp 4.6 billion could already be disbursed.

Regarding UN SMP preparations, Soba said that all have been prepared, including exam scripts that have all been spread to the respective regencies/cities.   He expects UN SMP implementation to run smoothly, especially to date there are no complaints about deficiencies nor defects in the exam scripts.   His party has also prepared scripts in braille for 164 learners with special needs.

UN Supervisory Funds Not yet Disbursed

UN Supervisor Funds Not Yet Disbursed

Sekolah di Pinggir Hutan

Koran Tempo, halaman 8

Mengupayakan pendidikan bagi penduduk di pedalaman Mentawai bukannya tak pernah dilakukan. Dari pemerintah hingga lemmbaga swadaya masyarakat mengupayakannya. Salah satu NGO Mentawai, Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), membuat sekolah hutan sebagai sekolah alternatif untuk anak-anak di sepanjang Sungai Silaoinan di Siberut. YCMM sudah mendirikan tiga sekolah hutan sejak 2006. Dua sekolah hutan lainnya yang dibangun YCMM di Dusun Bekeluk dan Magosi sudah diambil alih pemerintah menjadi Sekolah Dasar Filial dari SD Negeri 12 Muntei.

Menurut Tarida Hernawati, Koordinator Divisi Pendidikan YCMM, pemerintah terus membangun sekolah alternatif bagi masyrakat Siberut yang tinggal jauh di pedalaman dan jauh dari fasilitas pendidikan. Selama ini, sekolah hanya dibangun di pemukiman bentukan pemerintah dalam program Pembinaan Kesejahteraan Masyakarat Terasing (PKMT). Masalahnya, tak banyak penduduk yang betah tinggal di PKMT. Mereka yang awalnya tinggal di PKMT akhirnya kembali ke kampung-kampung lama karena ladang dan ternak mereka berada jauh dari PKMT. Anak-anak pun menjadi ikut pindah, dan pendidikan mereka terbengkalai.

Bupati Mentawai Yudas Sabagalet mengatakan, pemerintah memang ingin mendekatkan sekolah ke tempat tinggal. Tetapi untuk membuat sekolah, muridnya harus cukup. Menurut Yudas pihaknya ingin membuat sekolah filial terlebih dahulu.

Ia mengatakan, membangun sekolah di Mentawai jauh lebih mahal karena semua material didatangkan dengan kapal dari Padang, Sumatera Barat. Untuk sebuah sekolah sederhana, biayanya paling sedikit Rp. 850 juta. Karena itu, pemerintah mengusulkan pembuatan sekolah dari kayu, yang lebih mudah didapat dan lebih murah. Upaya untuk membangun asama juga dijajaki. Yudas menambahkan, yang sulit dicari itu adalah orang yang bisa mengelola asrama dan mengawasi anak-anak.

Schools in Forest Edge

Koran Tempo, page 8

It is not that efforts were not sought to provide education for residents in the hinterlands of Mentawai. The government to non-government organizations have made efforts. One of the Mentawai NGOs, Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), made a forest school as an alternative school for children along the Silaoinan River in Siberut. YCMM had established three forest schools since 2006. Two other forest schools built by YCMM in Bekeluk and Magosi Villages had been taken over by the government to be turned into a Filial of state primary school SD Negeri 12 Muntei.

According to Tarida Hernawati, Coordinator of YCMM Education Division, the government continues to build alternative schools for the people of Siberut who live far into the hinterlands and far away from education facilities. So far, schools are only built in settlements established by the government in the Isolated Communities Welfare Development program or Pembinaan Kesejahteraan Masyakarat Terasing (PKMT). The problem is, not many residents/ people feel at home in PKMT. Those who initially lived in PKMT in the end returned to the old villages because their fields and livestock are far from the PKMT. The children also followed suit and moved, and their education is neglected.

Mentawai Regent Yudas Sabagalet said the government does wanto to bring the schools closer to residences. But to build a school, there should be enough students.   According to Yudas he wants to make filial schools first.

He said, building schools in Mentawai is far more expensive because all materials are brought in by boat from Padang, West Sumatera. For a simple school, the cost is at least Rp. 850 million. Therefore, the government proposed the schools be made of wood, which is readily available and cheaper. Efforts to build dorms is also explored. Yudas added, what is difficult to find is people who could manage the dormitories and to watch over the students.

Schools in Forest Edge

Schools in Forest Edge

Kelas Internasional Tumbuh

Kompas, halaman 11

Perguruan tinggi negeri kian banyak membuka kelas internasional. Selain menggaet mahasiswa asing, mahasiswa dalam negeri tertarik mengikuti kelas itu meskipun biaya lebih besar. Namun, pembukaan kelas itu diharapkan didahului peningkatan kualitas pendidikan dan tidak mendiskriminasi pelayanan pendidikan.

Berdasarkan data kantor hubungan masyarakat Universitas Indonesia (UI), ada 14 program studi dengan kelas khusus internasional, seperti Ilmu Ekonomi, Akuntansi, Psikologi, dan Ilmu Komunikasi. Kepala Kantor Humas UI Rifelly Dwi Astuti mengungkapkan, jumlah mahasiswa asing kini sepuluh kali lebih banyak daripada awal tahun 2000-an. Ada 104 mahasiswa asing dengan berbagai program. Menurut Rifelly, penyumbang pertambahan mahasiswa asing memang kelas khusus internasional.

Di Universitas Padjajaran, Bandung, program studi yang sudah terakreditasi internasional menjadi daya tarik mahasiswa asing belajar di sana. Menurut Wakil Rektor I Universitas Padjajaran Engkus Kuswarno, kebanyakan mahasiswa asing mengambil rumpun kesehatan seperti Kedokteran Umum, Kedokteran Gigi, atau Farmasi. Ada pula yang mengambil program studi bidang sosial seperti Komunikasi.

Pakar pendidikan tinggi, Djoko Santoso, menegaskan, sebelum menerima mahasiswa asing, kampus harus membenahi diri agar tidak mengecewakan mahasiswa. Menurut Djoko, pembenahan seperti peningkatan kualitas dosen, memperbanyak riset, dan penerbitan riset, dan penerbitan jurnal.

Hal serupa diungkapkan pengamat pendidikan tinggi sekaligus Guru Besar Institut Teknologi Bandung Satryo Soemantri Brodjonegoro. Selain pembenahan kualitas dosen dan riset, standar pelayanan pendidikan juga harus adil. Jangan ada perlakuan berbeda dengan mahasiswa dengan jurusan sama. Satryo menambahkan bahwa pendidikan jangan dikomersilkan. Tujuan pendidikan itu pematangan pemikiran, kepedulian, dan keadilan.

Sementara itu, Kepala Subdirektorat Kerja Sama Antarlembaga Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Purwanto Subroto mengungkapkan, aturan, panduan dan definisi kelas internasional belum ada. Namun, tiap perguruan tinggi diminta mempertimbangkan jumlah mahasiswa.

International Classes Grow

Kompas, page 11

State universities increasingly open international classes. In addition to attracting foreign students, domestic students are also interested in taking such classes despite the higher cost. However, opening of such classes are expected to be preceded by improvement in education quality and not to discriminate education services.

Based on data of public relations of the Universtity of Indonesia (UI), there are 14 study programs with the international special classes, such as Economics, Accounting, Psychology, and Communications Science. Head of UI Public Relations Office Rifelly Dwi Astuti disclosed the number of foreign students is now ten times as many as that in early 2000. There are 104 students with various programs. According to Rifelly, the contributor to the increase in foreign students is indeed the international special classes.

At the University of Padjajaran, Bandung, study programs which are internationally accredited are of interest to foreign students to study there. According to Vice Rector I University of Padjajaran Engkus Kuswarno, most foreign students take health studies such as Medicine, Dentistry, or Pharmacy. There are also those taking study programs in social studies such as Communications.

Higher education expert Djoko Santoso affirmed, before admitting foreign students, the campus must transform itself in order not to disappoint students. According to Djoko, the transformation include improvement of lecturer quality, increasing research, and publication of research, and publication of journals.

It was similarly disclosed by higher education observer cum Professor of Bandung Institute of Technology Satryo Soemantri Brodjonegoro. In addition to improving the quality of lecturers and research, the education service standard must also be fair. There should not be different treatment from students with the same major. Satryo added that education should not be commercialized. The objectives of education is for maturation of thought, care/awareness, and fairness.

Meanwhile, Head of Subdirectorate of Higher Education Inter-Agency Cooperation Ministry of Research, Technology and Higher Education Purwanto Subroto disclosed, rules, guidelines and definitions of the international classes are still unavailable. However, every university is asked to consider the number of students.

International Classes Grow

International Classes Grow