Jawa Pos, halaman 45, Selasa 21 April
Oleh: Totok Amin Soefijanto (Doktor Pendidikan dari Boston University dan Peneliti Senior di Paramadina Public Policy Institute)
Saat kita memperingati Hari Kartini, sebenarnya ada pekerjaan rumah yang belum selesai. Kesetaraan gender sudah merasuk ke benak banyak orang, tetapi pelaksanaannya di lapangan masih belum luas. Hingga hari ini, kita bisa merasakan ketidakadilan terhadap pekerja perempuan di segala sektor usaha. Sumber dari ketidakadilan semacam itu sebenarnya dapat dirunut ke sektor pendidikan.
Hampir seluruh pekerja berasal dari pendidikan. Sebab, di sana mereka mendapatkan ilmu dan keterampilan. Yang menarik, berdasarkan studi Bappenas dan Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP), kita baru berhasil memasukkan anak-anak perempuan ke sekolah, tetapi belum menjaga agar tetap bersekolah (stay), belajar (learn), dan berprestasi (achieve). Bukankah itu yang diharapkan Kartini dalam pikiran-pikirannya?
Dalam studi Bappenas dan ACDP terungkap bahwa kaum perempuan belum benar-benar beruntung dalam mengenyam pendidikan. Mungkin pendidikan menjadi pokok pangkalnya sehingga studi yang didukung Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tersebut menyarankan memprioritaskan gender (gender mainstreaming) dalam pendidikan sejak usia dini hingga perguruan tinggi.
Saat ini potret pendidikan memang masih memprihatinkan. Angka partisipasi pendidikan di level SD mencapai 94,8 persen, namun langsung jatuh ke 67,6 persen di tingkat SMP, dan drop ke 45,6 persen di tingkat SMA. Secara nasional, hampir sepertiga siswa lulusan SD tidak meneruskan ke jenjang berikutnya. Memang terjadi kenaikan 6,87 persen partisipasi pendidikan perempuan di tingkat SMP dan 4,58 persen di tingkat SMA pada 2000-2010. Namun, masih kalah dari kenaikan 8,02 persen partisipasi kaum pria di tingkat SMP dan 7,86 persen di tingkat SMA.
Menariknya, angka kenaikan partisipasi pendidikan di tingkat pendidikan tinggi dalam dekade tersebut menunjukkan lebih banyak disumbang perempuan (11,12 persen berbanding 10,89 persen untuk pria). Selain itu, studi ACDP menemukan bahwa perempuan lebih sedikit yang drop out dan lebih banyak yang meneruskan ke jenjang berikutnya bila diberi kesempatan.
Itu adalah kuncinya. Banyak keluarga miskin yang cenderung mengutamakan pria untuk bersekolah. Banyak keluarga tetap ngotot anak laki-lakinya bersekolah meski sebenarnya tidak mampu. Dengan demikian, korban kemiskinan terbesar sebenarnya adalah kaum perempuan.
Tentu ada alasan jika seseorang tidak bersekolah. Alasannya antara lain, tidak mempunyai uang, harus bekerja untuk membantu keluarga, tidak lulus tes masuk, jarak sekolah terlalu jauh, sudah cukup bersekolah, malu, dan menikah. Masuk akal kalau skema berbagai bantuan seperti beasiswa miskin, Kartu Indonesia Pintar, bantuan operasional sekolah (BOS), dan bidik misi sangat membantu perempuan meningkatkan derajat pendidikan. Sebab, seluruh alasan putus sekolah itu paling banyak dialami anak-anak perempuan.
Khusus pernikahan dini, pemerintah melalui BKKBN dan kantor desa atau lurah saat ini gencar mempromosikan bahaya pernikahan dini dan mendorong semangat untuk meraih ilmu di usia muda sebelum menikah. Sebab, dulu, Kartini berjuang agar anak gadis tidak meninggalkan sekolah pada usia 12 tahun untuk siap-siap menikah. Namun, indonesia yang sebentar lagi merayakan kemerdekaan ke-70 belum bisa mewujudkan mimpi Kartini secara paripurna.