The Jakarta Post, halaman 2
Para santri Pesantren Waria Al Fatah, sebuah pesantren yang ditujukan bagi siswa waria di Yogyakarta, merasa ketakutan setelah penutupan paksa pesantren mereka setelah adanya tekanan dari sebuah kelompok garis keras.
Para santri tersebut tutup mulut ketika wartawan meminta komentarnya terhadap situasi tersebut dan langsung masuk ke kamar mereka masing-masing di sebuah bangunan tua bergaya Jawa di Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan, di mana mereka tinggal dan belajar tentang Al-Quran dan Islam. Pimpinan pesantren, Shinta Ratri, juga menolak untuk berbicara dengan wartawan. Ia mengatakan bahwa dalam waktu dekat ini dia tidak punya rencana apa pun terkait pesantren.
Rabu lalu, sebuah pertemuan yang melibatkan para pejabat pemerintah setempat, warga sekitar, Shinta, dan perwakilan organisasi Islam, Front Jihad Islam resepsionis (FJI) Yogyakarta, membawa pada sebuah keputusan, yakni menutup pesantren itu. Pertemuan yang digelar di aula Kecamatan Jagalan, juga menyepakati untuk melarang setiap kegiatan keagamaan di pesantren tersebut.
Camat Banguntapan Jati Bayu Broto, yang juga moderator pertemuan itu mengatakan, keputusan itu dibuat karena pesantren tersebut tidak memiliki izin operasi dan adanya keluhan warga setempat terkait permasalahan parkir dan karaoke hingga larut malam. Selain itu, juga ditemukan adanya minuman keras di pesantren tersebut.
Pertemuan hari Rabu itu merupakan tindak lanjut kunjungan FJI ke pesantren waria Al Fatah pada 19 Februari. FJI mengunjungi pesantren itu untuk mempelajari kegiatan-kegiatan di pesantren tersebut. Namun, ketika FJI tiba di pesantren Al Fatah, pihak pengelola pesantren pergi ke kantor polisi untuk melaporkan sebuah pesan diduga dikirim oleh FJI yang menyatakan bahwa kelompok itu ingin menutup pesantren tersebut.
Aditya Arief Hermanto dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, mengatakan, keputusan untuk menutup sekolah merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Hak untuk mendapat pendidikan bagi para siswa waria tersebut telah dilanggar.
Aditya menyesalkan pihak Kepolisian Banguntapan yang mengabaikan laporan pesantren adanya intimidasi oleh kelompok FJI yang menyebarkan pesan di media sosial yang menyatakan bahwa FJI bermaksud untuk menutup pesantren itu secara paksa. Polisi menolak laporan tersebut, dengan alasan bahwa mereka tidak memiliki satuan unit cyber. Jika alasannya seperti itu, seharusnya mereka menggunakan KUHP sebagai dasar hukum untuk menyelidiki tersangka.
Pesantren waria Al Fatah Yogyakarta awalnya terletak di daerah Notoyudan sebelum dipindahkan ke Jagalan setelah kematian Maryani, pendiri pesantren itu pada tahun 2014. Maryani sendiri mendapat perhatian media lokal dan internasional pada tahun 2008 ketika ia merubah rumahnya menjadi tempat belajar Islam bagi para waria.
Setelah kematian Maryani, pesantren tersebut kemudian pindah ke sebuah rumah milik Shinta Ratri, seorang aktivis lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT). Puluhan santri belajar bersama di pesantren itu dan beberapa dari mereka juga ada yang tinggal di sana.
Sementara itu, pembina pesantren tersebut, Abdul Muhaimin, mengatakan ia akan mencoba untuk membangun kembali pesantren itu. Muhaimin menolak argumen bahwa pesantren itu tak berizin dan meresahkan warga setempat. Ia mengatakan, belajar Islam tidak perlu memakai izin. Jika permasalahannya mengenai tempat parkir, katanya, mereka bisa mengelolanya. Masalah parkir, tambahnya, seharusnya tidak mengganggu hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan.