Warga NTB Kembalikan 15.794 Kartu Indonesia Pintar

www.antaranews.com

Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Nusa Tenggara Barat mencatat sebanyak 15.749 Kartu Indonesia Pintar (KIP) dikembalikan oleh warga karena penerima ganda dan ada yang mengakui tidak berhak menerima. Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhammad Irfan mengatakan, kartu itu dikembalikan oleh penerima langsung ke kantor desa/kelurahan karena ada penerima ganda dan salah nama, sehingga tidak berhak menerima.

Pengembalian KIP, kata dia, merupakan salah satu dari sekian temuan permasalahan pada saat melakukan sensus siswa penerima KIP di NTB, pada 24-28 Oktober 2016. Sensus selama lima hari tersebut dilaksanakan dengan menyasar 1.126 desa/kelurahan dan 116 kecamatan yang tersebar di 10 kabupaten/kota di NTB.

Masalah lain yang menjadi temuan, kata Irfan, adalah jumlah penerima KIP yang terdata di kantor desa/kelurahan sebanyak 372.196. Sementara alokasi yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk NTB sebanyak 579.190 penerima. Ia menambahkan, ada juga KIP yang belum dibagikan kepada penerima sebanyak 8.793 orang. Namun sudah termasuk dalam 372.196 orang penerima yang terdata di kantor desa/kelurahan.

Tim sensus yang berasal dari pegawai LPMP NTB dan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kabupaten/kota juga menemukan adanya penerima yang belum masuk usia sekolah. Tim juga menemukan siswa sebagai penerima yang sudah putus sekolah karena menikah. Ada juga yang sudah meninggal dunia. Berbagai permasalahan tersebut, kata Irfan, sudah dilaporkan ke Kemendikbud untuk dijadikan bahan evaluasi program KIP.

NTB People Return 15,794 Indonesia Smart Card

www.antaranews.com

Education Quality Assurance Agency (LPMP) of West Nusa Tenggara recorded some 15,749 Indonesia Smart Card (KIP) being returned because of double receipt and some admitting they did not have the right to receive it. Head of LPMP of West Nusa Tenggara (NTB), Muhammad Irfan, said that the cards were directly returned to village office/kelurahan by those receiving them because of double receipt or the wrong name so that they could not claim themselves as receivers.

This return of KIP was one of problems found during the census of students of KIP receivers in NTB on 24-28 October 2016. The five-day census was conducted by targeting 1,126 villages/kelurahan and 116 sub-districts across 10 regencies/cities in NTB.

Another problem was that the number of KIP receivers recorded in village offices was 372,196 people whereas the allocation provided by the Ministry of Education for NTB was 579,190 receivers. He added that there are also 8,793 KIP cards that had not been distributed but these had been included in the number of 372,196 receivers of cards recorded in village offices.

The census team, comprising employees of LPMP NTB and Department of Youth, Sport and Education (Dikpora) for the regency, also found that some receivers had not reached school age, others had dropped out of school due to marriage and some names had even passed away. These problems, added Irfan, have been reported to Kemendikbud as an evaluation for the KIP program.

Link: http://www.antaranews.com/berita/596111/warga-ntb-kembalikan-15794-kartu-indonesia-pintar

antaranews_warga-ntb-kembalikan-15794-kartu-indonesia-pintar

Perkuat Riset dari TKDN

Media Indonesia, halaman 10

Penguatan dan pengondisian iklim penelitian yang lebih ideal secara nasional dapat dilakukan salah satunya dengan mengaitkannya dengan regulasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Untuk itu, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) mengusulkan agar Peraturan Presiden No 4/2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres No 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah direvisi. Salah satunya dengan memasukan komponen penelitian.

Dirjen Penguatan Inovasi Kemenistek Dikti Jumain Appe menilai bahwa hal itu sangat penting, mengingat produk barang/jasa hasi penelitian selama ini sulit dikomersialisasi karena tingkat kandungan lokal dalam negeri (TKDN) yang rendah. Padahal, jika Indonesia ingin mencapai kemandirian bangsa, mestinya lebih banyak mengandalkan kemampuan dalam negeri.

Terlebih, lanjut Jumain, potensi sumber daya di Tanah Air begitu melimpah dan bisa dimanfaatkan untuk penelitian. Sehingga, diharapkan dengan penelitian itu nantinya akan mampu menaikkan TKDN barang/jasa sebesar 20-35% dan inovasi yang dihasilkan akan terus berkembang dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.

Jumain menambahkan, pihaknya pun akan menggandeng perusahaan serta kementerian/lembaga untuk memanfaatkan produk hasil inovasi anak bangsa. Pihaknya pun berupaya untuk terus mendorong agar muncul peneliti-peneliti muda berbakat dengan hasil penelitian yang layak dikomersialkan.

Strengthening TKDN Research

Media Indonesia, page 10

Strengthening and conditioning of a more ideal research climate at the national level can be achieved by relating research to the government regulations on procurement of goods and services. Ministry of Research, Technology and Higher Education (Kemenristek Dikti) therefore proposes the revision of President Regulation No. 4/2015 as the Fourth Amendment to President Regulation No. 54/2010 on Government Procurement of Goods/Services. One of the suggestions is by including research as a component.

Dirjen of Innovation Strengthening of Kemenristek Dikti, Jumain Appe, revealed that this is important since it is difficult to commercialize goods/services resulting from research because of the low level of local content (TKDN). If Indonesia intends to be commercially independent, it should rely on its domestic potential.

Furthermore, the country has great quantities of natural resources that can be used for research. It is hoped that such research can increase the TKDN of goods/services by up to 20% to 35% and the results of innovation can continue to develop and be widely utilize by society.

Jumain added that his Department will also invite companies and ministries/institutions to use products resulting from the innovation by the children of this nation. His Department also tries to keep encouraging young and talented research staff to conduct research whereby the results can be successfully commercialized.

media-indonesia_perkuat-riset-dari-tkdn

Menristekdikti: Budaya Riset di Indonesia Masih Tertinggal

Suara Pembaruan, halaman 16

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir berharap Perguruan Tinggi (PT) Indonesia jangan hanya mencetak sarjana. Diharapkan PT pun bisa menumbuhkan budaya riset. Pasalnya, jumlah hasil riset Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain masih jauh tertinggal. Tercatat, Indonesia berada di peringkat 43 dunia. Hal ini sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Korea Selatan yang berada di peringkat empat dunia, Malaysia ke-29, Singapura ke-30, dan Thailand ke-34.

Nasir menyebutkan, minimnya jumlah riset terjadi karena minat masyarakat untuk jadi peneliti sangat rendah. Terbukti dari rasio jumlah peneliti yang ada yakni 1.070/1 juta penduduk. Perbedaan tersebut terlihat jelas jika dibandingkan dengan negara seperti Korea Selatan (Korsel) atau Singapura. Semisalnya Korsel, rasio peneliti sangat tinggi yakni 8.000/1 juta penduduk.

Selanjutnya, Nasir menuturkan, meningkatkan budaya riset pada anak bangsa bukan hal yang mudah. Pasalnya Indonesia berada di urutan 47 dari 140 negara. Hal ini turut mempengaruhi tingkat kesiapan teknologi atau technology readiness level (TRL).

Untuk itu, dirinya akan terus mendorong mahasiswa S2 dan S3 untuk wajib menghasilkan serta mempublikasikan jurnal internasional, agar kompetitif Indonesia meningkat. Pasalnya, saat ini tingkat kesiapan teknologi (TRL) yang indikator 1-9 di Indonesia baru berada di tingkat 6 dan 7, yakni baru masuk tahap demonstrasi prototipe sistem dalam lingkungan. Sebab angka ideal kesiapan berada di angka sembilan yang menunjukan tingkat sistem benar-benar siap dan teruji melalui keberhasilan pengoperasian.

Menristekdikti: Research Culture in Indonesia Still Behind

Suara Pembaruan, page 16

Minister of Research Technology and Higher Education (Menristekdikti) Mohammad Nasir hoped Indonesian Higher Education does not only generate undergraduates. PT is also expected to foster a culture of research. Because the number of Indonesia’s research results is still far behind other countries. Noted, Indonesia is ranked 43rd in the world. It is very far behind when compared to South Korea, which is ranked fourth in the world, Malaysia 29th, Singapore 30th, and Thailand 34th.

Nasir said the inadequate number of research occurred because the public interest to become researchers is very low.   It is evident from the ratio of the number of existing researchers which is 1,070 / 1 million inhabitants. The differences are obvious when compared to countries such as South Korea (ROK) and Singapore. For example, South Korean researcher ratio is very high which is 8,000 / 1 million inhabitants.

Furthermore, Nasir said, fostering a culture of research in the nation is not an easy thing. Indonesia ranks 47th of 140 countries. This also affects the degree of readiness of technology or the technology readiness level (TRL).

For that, he would continue to push for the S2 and S3 students to be required to produce and publish in an international journal, in order to improve Indonesia’s competitiveness. Because the current technology readiness level (TRL) whose indicator is 1-9, Indonesia is still in the 6 and 7 level, namely only in the stage of system prototype demonstration in the environment. For the ideal readiness level stands at nine that indicates the system level is completely ready and tested through a successful operation.

suara-pembaruan_budaya-riset-di-indonesia-masih-tertinggal

Koordinasi yang Buruk Sebabkan Gagalnya Program Deradikalisasi

The Jakarta Post, halaman  3

Efektivitas program deradikalisasi di Tanah Air mendapat perhatian khusus ketika sebuah gereja di Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (6/11), mendapat serangan.  Pelaku yang menjadi tersangka dalam serangan tersebut merupakan mantan narapidana kasus terorisme.

Badan Penanggulangan Terorisme Nasional (BNPT) menyalahkan buruknya koordinasi antar lembaga karena telah gagal melakukan pemantauan terhadap gerak-gerik narapidana terorisme di masyarakat setelah mereka keluar dari penjara.

BNPT mendapat kritikan keras karena Johanda, pelaku yang diduga melakukan serangan di Samarinda dan menyebabkan tewasnya seorang balita dan tiga orang lainnya terluka, telah kembali bergabung dengan kelompok-kelompok radikal setelah dia dibebaskan secara bersyarat pada Juli 2014.

Data dari Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan (Ditjen LP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) menunjukkan bahwa pada September tahun ini, ada sebanyak 242 narapidana kasus terorisme di 70 lembaga pemasyarakatan dan dua rutan di seluruh Tanah Air, yang sebagian besar akan dibebaskan, cepat atau lambat.

Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius berdalih bahwa lembaganya tidak bisa sendirian melakukan program deradikalisasi dan melakukan pemantauan terhadap narapidana setelah bebas dari penjara. Menurutnya, BNPT telah mendapatkan komitmen dari 17 instansi terkait yang ikut mendukung program pemantauan narapidana pasca bebas guna memastikan para mantan narapidana kasus terorisme tidak akan bergabung kembali dengan kelompok-kelompok radikal setelah mereka bebas.

Terkait Johanda, Suhardi mengatakan, pihaknya mengalami kesulitan melakukan pemantauan karena dia sering berpindah-pindah tempat setelah kebebasannya. Johanda kemudian kembali bergabung dengan kelompok-kelompok radikal setelah ia ditolak oleh keluarganya di Sulawesi Selatan. Dia kemudian dilaporkan bergabung dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terhubung dengan gerakan Negara Islam (IS) cabang Kalimantan Timur.

Selain itu, banyak mantan narapidana kasus terorisme juga menjadi pengurus masjid. Dalam situasi seperti itu, BNPT akan bekerja dengan Kementerian Agama, yang memiliki akses ke masjid di seluruh negeri.

Dihubungi terpisah, juru bicara Kementerian Agama Muharram Marzuki menegaskan bahwa Kemenag tengah bekerja sama dengan BNPT untuk program pemantauan terhadap narapidana kasus terorisme pasca bebas dari penjara.

Kemenag ditugaskan untuk bekerja sama dengan organisasi-organisasi Islam di seluruh Tanah Air untuk menyambut para mantan narapidana terorisme kembali ke masyarakat dan melibatkan mereka dalam setiap kegiatan organisasi di masyarakat.

Failure of Deradicalization Blamed On Poor Coordination

The Jakarta Post, page 3

The effectiveness of the country’s deradicalization program has been put under scrutiny in the wake of the attack at a church in Samarinda, East Kalimantan, on Sunday, the chief suspect in which is a former terrorism convict.

The National Counterterrorism Agency (BNPT) has blamed poor coordination among related institutions for the failure to monitor terrorism convicts in society after they have finished their prison sentences.

The BNPT has become the subject of criticism since it became known that Johanda, the suspected perpetrator of the Samarinda attack, which claimed the life of a toddler and left three others injured, had returned to join radical groups after he was released on parole in July 2014.

Data from Law and Human Rights Ministry’s Directorate General of Penitentiaries show that, as of September this year, there were 242 terrorist convicts in 70 penitentiaries and two detention centers across the country, most of whom will be released back into society sooner or later.

BNPT chief Comr. Gen. Suhardi Alius maintained his office alone could not conduct de-radicalization and post-release monitoring programs. According to him, the BNPT had secured commitments from 17 relevant institutions to support post-release monitoring programs in order to ensure that former terrorism convicts would not rejoin radical groups after release.

As for Johanda, Suhardi cited difficulties in monitoring his activities as a result of his frequent moves from island to island after his release. Suhardi said Johanda turned back to radical groups after he was rejected by his family in South Sulawesi. He then reportedly joined an East Kalimantan branch of the Islamic State (IS) movement-linked Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

In addition, many former terrorism convicts also become mosque caretakers. In such a situation, the BNPT will work with the Religious Affairs Ministry, which has access to mosques across the country.

Contacted separately, Religious Affairs Ministry spokesman Muharram Marzuki confirmed that the ministry was working with the BNPT on post-release monitoring programs for terrorism convicts.

The ministry is tasked with cooperating with Islamic organizations across the country to welcome former terrorism convicts back into society and involving them in any organizational activities among the public.

the-jakarta-post_failure-of-deradicalization-blamed-on-poor-coordinator

Mahasiswa Indonesia Raih Penghargaan Teknologi Level Internasional

www.antaranews.com

Mahasiswa Indonesia dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Ramadhan Chairan Maulana, meraih penghargaan dalam The 6th International Symposium on Technology for Sustainability 2016. Ramadhan mengatakan dirinya mengajukan paper tentang alat yang membantu pendaki dalam mengakses informasi cuaca di sekitar gunung.

Alat yang dinamai dengan Arduino based Safety Information Guidance for Climber menampilkan informasi cuaca disekitar gunung, termasuk suhu, kelembaban, dan tekanan udara. Alat ini juga bisa menampilkan informasi level keamanan dan dampak kesehatan untuk pendaki.

Ramadhan menambahkan bahwa alat ini, atau yang disebut juga “Duo Serigala” ini dilengkapi degan sistem navigasi yang menunjukkan ke titik awal pendakian ataupun titik puncak. Selain itu terdapat tomboh S.O.S yang berfungsi untuk memanggil bantuan darurat. Fitur ini bekerja dengan menggunakan frekuensi radio sebagai alat komunikasinya. Dirinya berharap dengan alat ini nantinya akan membantu para pendaki dalam menyelesaikan pendakian mereka dan dapat meminimalkan terjadinya insiden saat pendakian.

The International Symposium tahun ini diikuti sekitar 200 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seperti Jepang, Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Indonesia. Acara ini merupakan kerja sama antara Univeristas Gadjah Mada dan National Institute of Technology (NIT) Jepang.

Indonesian Student Wins Int`l Technology Award

www.antaranews.com

An Indonesian student from the Gadjah Mada University in Yogyakarta, Ramadhan Chairan Maulana, has won an award at the 6th International Symposium on Technology for Sustainability 2016. Ramadhan said he is proposing a paper on a technology that helps climbers in getting information on weather around the mountain.

The technology named Arduino based Safety Information Guidance for Climbers displays weather information around the mountain, including temperature, humidity, and air pressure. Also, the tool displays a security level and health impacts that are possible to occur to climbers according to the data.

Ramadhan added that the tool, which is also called “Duo Serigala” or two wolves has a navigation system that shows the starting point and the peaks.
There is also a S.O.S button that functions to call an emergency help. This feature works based on radio frequency. I hope this equipment helps climbers in completing their climbing and prevent accidents.

The international symposium has been participated in by 200 university students from Japan, the Philippine, Malaysia, Singapore, Thailand and Indonesia. It was a collaboration of the Gadjah Mada University and Japan National Institute of Technology (NIT).

Link: http://www.antaranews.com/en/news/107813/indonesian-student-wins-intl-technology-award

antaranews_indonesia-student-wins-intl-technology-award