Amerika Serikat Sambut Pelajar Indonesia

Kompas, halaman 12, Rabu, 15 Februari

Pendidikan internasional membuat pelajar mudah untuk memahami keragaman budaya dan hidup saling menghargai. Pemerintah Amerika Serikat menawarkan peluang itu kepada pelajar dari Indonesia yang hendak belajar di negeri tersebut.

Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia Joseph R Donovan Jr dalam pembukaan Pameran Pendidikan AS 2017 di Jakarta, Selasa (14/2), mengatakan, komunitas perguruan tinggi (PT) AS menyambut berbagai keragaman lewat mahasiswa internasional. Kesempatan belajar di AS memberi pengalaman untuk memahami multikulturalisme dan toleransi.

Mahasiswa Indonesia di AS saat ini sekitar 9.000 orang. Total mahasiswa internasional di AS hampir 1 juta orang dan terbanyak dari Asia. Ada sekitar 4.500 PT di AS. AS tetap yakin jadi tujuan belajar mahasiswa asing karena menawarkan pengajar, fasilitas, dan program berkualitas. Joseph mengatakan penting baginya untuk memberikan informasi tentang pilihan perguruan tinggi di AS lewat Pameran Pendidikan AS.

Selain itu, Joseph juga meyakinkan bahwa tidak ada kendala dalam pengajuan visa belajar ke AS oleh pelajar Indonesia. Sebagian besar pengajuan visa pelajar dari Indonesia memenuhi syarat dan disetujui.

Pameran pendidikan tahunan ini juga digelar di Surabaya dan Medan. Ada 52 PT dan sejumlah lembaga pemberi beasiswa yang terlibat. Layanan yang diberikan kepada calon mahasiswa antara lain memilih institusi, konsultasi pendanaan, pendaftaran, ujian masuk, hingga orientasi prakeberangkatan.

US Welcoming Indonesian Students

Kompas, page 12, Wednesday, February 15

International education is a great way for people to understand diverse cultures and respect each other, through a shared learning experience. The United States Government offers these opportunities to Indonesian students who want to pursue their studies in the US.

US Ambassador for Indonesia Joseph R Donovan, on the inauguration of Education USA Indonesia Fair 2017, in Jakarta on Tuesday (14/2), said, US higher education community welcomes the diversity around the world through international students. The students` opportunity while studying in US will give them a precious experience to understand multiculturalism and tolerance.

The number of international students studying in the US has surpassed one million; with nearly 9,000 of them being Indonesians. There are about 4,500 universities in the US. The country remains confident of becoming an even greater desired destination for foreign higher education students destination as it offers high quality lecturers, facilities, and programs. Joseph said, it is important to him to provide information about the quality of higher education in the US through the education fair.

Josep was also convinced that Indonesia students will be able to meet the entry requirements, such as visas. Most visa applications from Indonesian students are accepted and approved.

Education USA also hosted a session in Surabaya, East Java, with a further session scheduled for Medan, North Sumatra. Representatives of 52 local US universities attended the event. Services provided to prospective students includes selecting a university, financing consultation, registration and entrance exams right through to pre-departure orientation.

kompas_amerika-serikat-sambut-pelajar-indonesia

Indonesia dan Belanda Kerjasama Untuk Tingkatkan Pendidikan Vokasi

www.antaranews.com

Pemerintah Indonesia dan Belanda memperkuat kerjasama dalam pendidikan vokasi dan budaya melalui penandatanganan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU), Letter of Intent (Lol), dan Technical Arrangement (TA). Kerjasama ini ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Muhadjir Effendy dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Sains Belanda, Jet Bussemaker.

Mendikbud mengatakan bahwa kerjasama ini sangat penting bagi kedua negara dan akan memperkuat pengembangan sumber daya manusia. MoU bertujuan untuk meningkatkan kerjasama dalam kebudayaan, sedangkan Lol adalah kerjasama kemitraan komperhensif dibidang pengembangan pelatihan dan pendidikan vokasi. Sedangkan, TA bertujuan untuk mengidentifikasi proyek-proyek percontohan potensial di Indonesia dan merevitalisasi pendidikan kejuruan dalam bidang pertanian.

Muhadjir mengatakan, kerjasama mengenai kebudayaan sangatlah penting, mengingat fakta bahwa Belanda merupakaan partner strategis Indonesia di kawasan Eropa. Sementara itu, kerja sama di bidang kebudayaan dilakukan karena kedua negara memiliki hubungan masa lalu yang panjang sehingga satu sama lain memberikan pengaruh, termasuk kebudayaan. Kedua negara juga memiliki keunggulan masing-masing yang bisa dikembangkan. Belanda memiliki keunggulan di bidang pengelolaan museum dan arsip, sementara Indonesia kaya akan tradisi dan keragaman budayanya, tambah Muhadjir. Sementara itu, dengan penandatanganan pada Lol, kedua negara akan mengembangkan pendidikan vokasi dan pelatihan di bidang pertanian, kelautan, pariwisata, dan industri kreatif lainnya.

Berkenaan dengan TA, pemetaan dan analisis akan dilaklukan di dua sekolah menengah kejuruan negeri (SMKN), seperti SMKN 2 Subang di Jawa Barat dan SMKN 5 Jember di Jawa Timur, sebagai proyek percontohan kerjasama revitalisasi pendidikan kejuruan pertanian di Indonesia. Muhadjir berharap pemetaan dan analisis kebutuhan akan menawarkan solusi untuk Indonesia dalam memenuhi kesenjangan dan kebutuhan antara sekolah dan pasar.

Hasil kerja sama itu diharapkan dapat lebih memperluas skala promosi dan membuka peluang kerja sama yang lebih luas lagi dalam berbagai sistem pendidikan kejuruan di antara kedua negara. Sementara itu, Menteri Bussemaker menyatakan bahwa sekolah kejuruan di Belanda merupakan salah satu sekolah yang terbaik di dunia. Sekolah-sekolah tersebut hanya mendorong siswa untuk maju, dengan cara membiarkan mereka memperoleh pengetahuan melalui praktek belajar mandiri. Dalam waktu satu minggu, sekolah juga memberikan waktu kepada para siswanya untuk mendapatkan ilmu dari tangan pertama di pabrik-pabrik.

Indonesia, Netherlands Enhance Cooperation in Vocational Education

www.antaranews.com

The governments of Indonesia and the Netherlands intensified vocational education and cultural cooperation through the signing of a memorandum of understanding (MoU), Letter of Intent (LoI), and Technical Arrangement (TA).  The cooperation documents were inked between Indonesian Education Minister Muhadjir Effendy and Dutch Minister of Education, Culture, and Science Jet Bussemaker.

Minister Effendy said that the cooperation is important for both countries and will strengthen human resource development. The MoU aims to boost cultural cooperation, while the LoI is a comprehensive cooperation partnership in the field of developing education and vocational training. The TA aims to identify potential pilot projects in Indonesia and revitalize vocational education and training in the agricultural sector

Muhadjir said, the MoU on culture is very important, given the fact that the Netherlands is a strategic partner of Indonesia in the European region. In addition, the two countries have a long-standing relationship that has yielded positive impacts for each other, including in the field of culture. Both countries also have their respective advantages that can be developed. The Netherlands has an edge in the field of management of museums and archives, while Indonesia is rich in tradition and cultural diversity, he added. Meanwhile, with the inking of the LoI, the two countries will develop vocational education and training in the agriculture, marine, tourism, and creative industries sectors.

With regard to the TA, mapping and analysis will be conducted at two public vocational high schools, such as SMK Negeri 2 Subang in West Java and SMK Negeri 5 Jember in East Java, as a pilot project of cooperation on the revitalization of agricultural vocational education in Indonesia. Muhadjir hopes the mapping and analysis of the needs will offer solutions to Indonesia to meet the gaps and needs between the schools and the market.

These collaborations are expected to further expand the scale of promotion and job opportunities in addition to also opening a wider scope for vocational education cooperation between the two countries. Meanwhile, Minister Bussemaker stated that the Dutch vocational schools are one of the best in the world. The schools merely encourage the students, as they gain knowledge through self-learning practices. Within a week, the school also gives time to the students to gain first-hand knowledge in factories.

Link: http://www.antaranews.com/en/news/109405/indonesia-netherlands-enhance-cooperation-in-vocational-education

antaranews_indonesia-netherlands-enhance-cooperation-in-vocational-education

Mengeluarkan Pelaku Bullying dari Sekolah merupakan hal yang tidak Bertanggung Jawab

The Jakarta Post, halaman 6, Rabu, 15 Februari

Oleh: Rizky Raditya Lumempaw (Pengacara dari Jakarta)

Dalam debat kampanye Gubernur DKI lalu, Petahana Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama menyampaikan pandangannya tentang bullying. Pandangannya ketika itu adalah, siswa yang melakukan praktek bullying akan dikeluarkan dari sekolah negeri. Ahok yakin bahwa kebijakan seperti itu bila diterapkan di sekolah-sekolah negeri maka praktik bullying di Jakarta akan semakin menurun. Hal itu mungkin bisa saja benar. Namun, ada hal yang perlu dipertimbangkan kembali oleh Ahok.

Praktik bullying memang salah dan tidak seharusnya didukung. Praktik bullying muncul dari adanya budaya senioritas, hal yang cukup umum terjadi di sekolah swasta atau negeri. Praktik bullying bukan hanya tindakan kekerasan oleh sekelompok orang, melainkan sebuah budaya yang sudah terstruktur. Di kalangan siswa, bahkan ada Sebuah tingkatan sosial: (i) siswa baru adalah binatang; (ii) siswa kelas dua adalah manusia; (iii) siswa kelas tiga ada raja; dan (iv) para alumni adalah dewa.

Biasanya para senior mencuci otak para junior. Keyakinan  seperti “seorang lelaki tidak seharusnya menjadi seorang pengecut” sudah cukup umum. Menceritakan bahwa kita telah menjadi korban praktik bullying kepada orangtua adalah tindakan pengecut. Kemudian, keyakinan-keyakinan lain yang ditanamkan kepada para junior, diantaranya “seorang lelaki harus bisa memecahkan masalahnya sendiri”; “melawan praktik bullying berarti harus juga berani menghadapinya”; “Praktik bullying membuat kamu lebih dekat dengan para senior”.

Keyakinan-keyakinan tersebut kemudian berubah menjadi sebuah aturan hukum. Yang pertama adalah “senior selalu benar”; yang kedua, “junior selalu salah”, dan yang ketiga; “jika senior berbuat salah, maka aturan kembali ke nomor pertama”. Dalam budaya senioritas yang ekstrim ini, jika junior tidak bisa menerima praktik bullying yang dilakukan senior, maka junior dapat mengajukan pertarungan satu lawan satu dengan senior, atau disebut partai.

Kebanyakan korban praktik bullying yang mampu bertahan dan tidak menentang budaya senioritas tersebut maka ia akan diakui oleh para senior dan bahkan dijadikan teman; selebihnya dianggap gagal atau menjadi pengkhianat. Banyak dari junior yang dianggap gagal tersebut harus pindah sekolah karena tidak diakui oleh para senior dan teman-teman lainnya yang mampu bertahan selama praktik bullying.

Ironisnya, mereka semua tidak menyadari bahwa mereka semua adalah korban juga. Satu hal yang terlintas dalam debat gubernur DKI yang lalu adalah apakah mengeluarkan siswa dari sekolah merupakan solusi tepat untuk mencegah terjadinya praktik bullying. Meski hal itu terlihat efektif, namun tidak sepenuhnya benar karena beberapa alasaan.

Pertama, siswa yang melakukan praktik bullying mungkin juga adalah seorang korban. Dalam budaya senioritas ekstrim, masyarakat harus ingat bahwa siswa senior tersebut semuanya adalah korban praktik bullying ketika masih menjadi junior.

Siswa tersebut mungkin saja secara mental telah rusak ketika duduk di bangku SMA. Siswa yang telah menjadi korban tidak seharusnya menjadi korban untuk kedua kalinya. Sebaliknya, mereka harus dibantu karena pada dasarnya mereka tersesat.

Kedua, sekolah merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pendidikan, termasuk pendidikan moral dan etika. Dalam keadaan normal dimana siswa adalah bukan korban, mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah mungkin sah-sah saja.

Namun, ketika seorang siswa dengan mental yang rusak karena telah menjadi korban praktik bullying, sesungguhnya yang mereka butuhkan adalah seseorang yang dapat membantu mereka menemukan jalan pulang melalui pendidikan tentang moral dan etika.

Oleh karena itu, mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah hanya akan menggagalkan tujuan dari pendidikan itu sendiri.

Pada akhirnya, siswa tidak sepenuhnya harus disalahkan karena adanya praktik bullying. Karena, siswa SMA masih berada di bawah umur menurut hukum Indonesia. hal ini berarti bahwa seorang siswa tidak memiliki tingkat pola pikir yang sama dengan orang dewasa.

Mengeluarkan siswa dari sekolah seharusnya hanya dilakukan dalam situasi-situasi khusus dan telah menyebabkan dampak-dampak yang tidak dapat diperbaiki, seperti menyebabkan kematian atau cacat bagi para korban. Jika sekolah atau pemerintah menganggap bahwa mengeluarkan siswa dari sekolah adalah jalan terbaik, maka seharusnya sekolah atau pemerintah membuat program pendidikan khsusus bagi siswa yang dikeluarkan dari sekolah.

Masyarakat kita nampaknya cenderung bertindak terlalu cepat dan menilai langsung tanpa pertimbangan. Mungkin saja mengeluarkan siswa dari sekolah bisa secara signifikan mengurangi tingkat prakik bullying di Jakarta. Namun demikian, hal terpenting dari pendidikan bukan hanya hasilnya, namun juga prosesnya. Merupakan sebuah ironi besar jika hal itu dilupakan oleh masyarakat kita.

Expelling bullies from school is irresponsible

The Jakarta Post, page 6, Wednesday, February 15

By: Rizky Raditya Lumempaw (Jakarta-based Lawyer)

During the last gubernatorial campaign debate, the incumbent Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama declared his view on bullying. His view was, once bullying is done by a student, that student will be expelled from public schools. Ahok believes that such policies in the city’s public schools have caused bullying to decrease in Jakarta. Perhaps this is true. However, there is something that Ahok needs to reconsider.

Indeed bullying is wrong and no one should support bullying. Bullying, which is developed from a seniority culture, is quite common in both private and public schools in the capital. Bullying is not a simple act of violence done by a group of people, but rather a structured culture. A social caste is even created among students: (i) freshmen are animals; (ii) second year students are humans; (iii) third year students are kings; and (iv) alumni are gods.

Usually juniors are brainwashed by seniors. Beliefs such as “a man should never be a coward” are quite common. Telling parents about the fact that we are being bullied is cowardly. Further beliefs drilled into juniors include: “a man should solve his own problem”; “to withstand bullying is to face it”; “bullying makes you closer to seniors.”

These ideas successfully create a set of laws. The first is: “the senior is always right.” The second is: “the junior is always wrong.” The third law is: “if the senior is wrong, refer to the first rule.” In this extreme seniority culture, if a junior does not accept being bullied by a senior, the junior may propose a one-on-one fight with the senior — known as partai.

Most bullying victims who survive without challenging the culture will be acknowledged by seniors and even become friends; others are failures or traitors. Most of those failures left the school as they were not acknowledged by seniors and friends who survived bullying.

The irony was that all of them did not realize they were all victims. One thing that came during the last gubernatorial candidate debate was whether expelling students was the correct solution or remedy to bullying prevention. Although perhaps effective, expelling is not entirely correct for several reasons.

Firstly, the student who conducts bullying may also be a victim. In the extreme seniority culture, society should remember that the seniors had all been bullied as juniors.

Such students may be mentally corrupted during high school. Students who were victims should not be double-victimized, instead they should be helped as they are basically lost.

Secondly, the school is an institution responsible for education. This includes morality and ethics. In normal circumstances in which a student is not a victim, expulsion from school is perhaps a valid reason.

However, when a student is mentally corrupted due to being a victim of bullying, what they really need is for someone to help them find a way back through education on morality and ethics.

Therefore, expelling such students will defeat the sole purpose of education itself.

Finally, students should not be entirely blamed for bullying. High school students are underage according to Indonesian law. This means that a student does not have the same level of thinking compared to adults.

Expulsion should only be made in special circumstances that cause irreparable effects such as bullying leading to the death or defect to the victim. In the event that schools or the government considers that expulsion is the best way, perhaps a special education program should be applied by the government or school for the expelled student.

Our society seems prone to swift, direct measures without being considerate. Perhaps expulsion has indeed significantly reduced bullying in Jakarta. Nevertheless, the most important thing in education is not only the result, but also the process. It is a great irony that this is forgotten in our society.

the-jakarta-post_expelling-bullies-from-schools-is-irresponsible

Pendidikan Literasi Digital Ditingkatkan

Kompas, halaman 12, Rabu, 15 Februari

Media sosial Facebook mengupayakan peningkatan pendidikan literasi digital kepada penggunannya. Tujuannya, agar pengguna bisa memberi nilai positif kepada Facebook dan mengurangi pengunggahan konten negatif, seperti kekerasan, pornografi, dan berita palsu. Kepala Kebijakan Produk Facebook Monika Bickert mengatakan, sudah ada aturan mengenai standar komunitas yang bersikap global dan bisa diadaptasikan sesuai nilai dan norma tiap-tiap negara.

Bickert menjabarkan bahwa tim evaluasi di Facebook pusat selalu mencari konten-konten yang bersifat negatif dan membahayakan, terutama kepada perseorangan. Misalnya, ada akun yang menyatakan mendukung organisasi terorisme pasti Facebook akan blok permanen. Hal tersebut juga berlaku untuk akun yang berisi konten kekerasan, mengejek korban kekerasan, dan menyebar konten pornografi.

Bickert juga mengharapkan partisipasi pengguna untuk melapor unggahan ataupun laman yang bersifat negatif amat penting. Kesadaran melapor merupakan salah satu bentuk literasi digital. Di Indonesia, Facebook bekerja sama dengan Universitas Airlangga, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Pendidikan Nasional untuk membuat mata kuliah satu semester. Dalam mata kuliah tersebut, mahasiswa diminta membuat kampanye, aplikasi, ataupun situs yang menyebar pesat melawan kekerasan.

Dalam pertemuan dengan Facebook, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informasi Samuel Abrijani mengatakan, pemerintah Indonesia juga memberi masukan mengenai konten lokal yang bersifat negatif agar tim evaluasi Facebook memiliki semakin banyak rujukan. Ada konten negatif yang dilaporkan, tetapi tidak dianggap melanggar aturan oleh Facebook karena mereka tidak memahami konteks lokal Indonesia.

Enhancing Digital Literacy Education

Kompas, page 12, Wednesday, February 15

Facebook Social Media strives to improve digital literacy education to its users. The goal is so the users could provide positive value to Facebook and reduce the uploading of negative content, such as violence, pornography, and false news. Head of Facebook Product Policy Monika Bickert said, there are existing rules regarding the global community standards and can be adapted according to the values and norms of each country.

Bickert outlined that the evaluation team on Facebook headquarters are always looking for content that is negative and harmful, especially to individuals. For example, there is an account that states it supports terrorist organizations certainly Facebook will block it permanently. This also applies to accounts that contain violent content, mocking the victims of violence, and the spreading pornographic content.

Bickert also expects the participation of users to report the uploading or pages that are negative to be very important.  Awareness to report is one form of digital literacy. In Indonesia, Facebook cooperates with Airlangga University, Bandung Institute of Technology, and the University of National Education to make a one semester course.  In the course, students are asked to create a campaign, application, or site that spreads rapidly against violence.

In a meeting with Facebook, Director  General of Applications and Information Technology Ministry of Communications and Information Samuel Abrijani said the Indonesian government also advised on local content that is negative in nature so that the Facebook evaluation team has an increasing number of referrals. There was negative content reported, but it was not considered by Facebook as violating the rules because they do not understand Indonesia’s local context.

kompas_pendidikan-literasi-digital-ditingkatkan

Forum Rektor Dukung Penguatan Vokasi

Media Indonesia, halaman 22

Forum Rektor Indonesia (FRI) mendorong penguatan pendidikan vokasi guna mendukung pembangunan bidang infrastruktur dan menyiapkan tenaga kerja yang siap bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA. Ketua FRI Suyatno mengatakan negara yang baik mempunyai keseimbangan antara angkatan kerja akademik dan vokasi. FRI menyambut program pemerintah dalam memperkuat atau memberikan porsi yang lebih pada pendidikan vokasi. Apalagi, ujarnya, pendidikan vokasi mengarah pada suatu keahlian tertentu yang dibutuhkan di era sekarang.

Lebih lanjut ia menjelaskan, di negara-negara maju, pendidikan vokasi lebih unggul. Karena itu, pada Rencana Strategi (Renstra) 2015-2019, pemerintah berupaya menciptakan keseimbangan antara akademik dan vokasi.

Namun, Suyatno mengingatkan pengembangan pendidikan vokasi masih terhambat oleh pemahaman masyarakat, terutama para orangtua yang cenderung ingin anak mereka memiliki gelar sarjana (S-1). Masyarakat menilai pendidikan vokasi hanya setaraf SMK, diploma 1 (D-1), dan D-2, padahal yang diinginkan sarjana. Hal Ini menjadi hambatan budaya Indonesia dalam pengembangan vokasi. Untuk itu, pendidikan vokasi harus terus disosialisasikan dan dipromosikan kepada masyarakat.

Rector Forum Supports Vocational Strengthening

Media Indonesia, page 22

Indonesian Rectors’ Forum (FRI) encourages the strengthening of vocational education to support the development of infrastructure and to prepare a workforce ready to compete in the era of the ASEAN Economic Community or AEC. Chairman FRI Suyatno said a good country has a balance between academic and vocational workforce. FRI welcomed the government programs to reinforce or provide extra portions on vocational education. Moreover, he said, vocational education leads to a certain skill required in the present era.

Furthermore, he explained, in developed countries, vocational education is superior. Therefore, in the Strategic Plan (Plan) 2015-2019, the government is creating a balance between academic and vocational.

However, Suyatno reminded that vocational education development is still hampered by the understanding of the community/ society, especially parents who tend to want their children to have an undergraduate degree (S-1). People consider that vocational education is only comparable to SMK, diploma 1 (D-1), and D-2, whereas what is desired is undergraduates. To that end, vocational education should continue to be familiarized and promoted to the public.

media-indonesia_forum-rektor-dukung-penguatan-vokasi