The Jakarta Post, halaman 5
Di dalam ruang bercat hijau di ujung penjara di Lembaga Pemasyarakatan Klaten di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, delapan remaja laki-laki mengenakan seragam biru duduk membentuk lingkaran. Para remaja tersebut menghabiskan waktu luang mereka dibawah pengawasan Sahabat Kapas, sebuah LSM yang mendedikasikan diri membantu para remaja pelaku kejahatan dan memperjuangkan keadilan restoratif untuk para tahanan remaja.
Dalam pertemuan mingguan, Sahabat Kapas melibatkan para remaja dalam berbagai kegiatan termasuk diskusi, permainan interaktif, dan membuat barang kerajinan seperti vas bunga dan bingkai foto. Sahabat Kapas juga menyediakan mereka novel dan juga komik untuk mendorong mereka untuk gemar membaca.
Koordinator Sahabat Kapas Dian Sasmita mengatakan apa yang mereka butuhkan adalah yang konstruktif yang dapat berfungsi untuk tempat penyembuhan trauma mereka. Sahabat Kapas fokus pada konseling untuk para remaja dan mereka percaya bahwa kegiatan kreatif adalah cara untuk menjangkau mereka.
Tahun 2014, Undang-Undang Pengadilan Remaja mengeluarkan peraturan yang mengharuskan para pelaku tindak kejahatan ringan yang dihukum maksimum dibawah 7 tahun penjara akan diproses melalui program pengalihan, dimana para pelaku remaja dapat mengindari hukuman penjara dan sebagai gantinya berkomitmen untuk menjadi pekerja sosial. Namun, program ini tidak dapat dilaksanakan jika korban atau keluarga korban menolaknya.
Para pelaku remaja yang menolak program tersebut, akan ditempatkan di pusat penahanan remaja untuk narapidana dibawah umur. Namun, kurangnya penjara remaja seringkali mereka ditempatkan dengan orang dewasa di lembaga pemasyarakatan umum yang kurang mendukung program untuk rehabilitasi anak.
Berdasarkan pada hasil laporan UNICEF pada tahun 2016, total jumlah para pelaku remaja di penjara antara Januari sampai dengan November 2016 sekitar 3.000 anak – terjadi penurunan dari tahun sebelumnya yang berjumlah diatas 5.500.
Meski terdapat kemajuan yang positif, jumlah remaja yang dipenjara masih tinggi, dengan sekitar 30 persen remaja yang berhadapan dengan hukum yang telah dijebloskan ke penjara.
Selain kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya program pengalihan, masyarakat juga masih memberikan label mereka sebagai narapidana remaja, bahkan label tersebut melekat kepada mereka yang sudah keluar dari penjara, kata Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klaten Budi Priyanto.