The Jakarta Post, halaman 2
Di akhir tahun masa kuliahnya Sinatrian Lintang Rahardjo, 22 tahun, seorang mahasiswa Universitas Telkom Bandung, Jawa Barat, tengah menghadapi tuduhan dari kampusnya karena mempromosikan paham komunis.
Bersama teman sesama mahasiswanya yang bernama Fidocia Wima Adityawarman dari jurusan bisnis telekomunikasi, Lintang dianggap pihak universitas menjadi propagandis paham komunis. Dalam sebuah penyelenggaraan bazar buku yang digelar 9 November lalu, ia didapati menjual buku yang dianggap pihak kampus mengandung muatan ajaran komunis.
Pihak universitas menskors Lintang dan Fidocia masing-masing selama enam dan tiga bulan.
Wakil Rektor Universitas Telkom M. Yahya Arwiyah menyita tiga buku dari kios buku milik Lintang yang berjudul Manifesto Partai Komunis yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, dan dua buku lainnya yang diterbitkan oleh majalah Tempo berjudul Njoto-Peniup Saksofoon di Tengah Prahara dan Musso Si Merah di Simpang Republik.
Dalam sebuah wawancara dengan The Jakarta Post tahun lalu, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Intan Achmad mengatakan, ajaran komunis dan Marxis dilarang di kampus-kampus. Sementara, di sekolah-sekolah filsafat terkemuka, seperti Driyarkara Jakarta dan Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan filsafat telah memasukkannya kedalam kurikulum mereka.
Juru bicara Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah Putra, mengatakan, pihak kampus telah menerapkan sanksi skors sesuai dengan kebijakan pemerintah. Universitas Telkom adalah sebuah institusi yang mengikuti peraturan negara dimana penyebaran ajaran komunis dilarang di negeri ini.
Pihak Universitas Telkom juga menuduh Lintang dan teman-temannya yang tergabung dalam Lingkaran Studi Komunikasi untuk bertanggung jawab atas demonstrasi yang dilakukan oleh puluhan mahasiswa, buntut dari penyitaan buku tersebut.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan, penerapan sanksi skors terhadap Lintang dan Fidocia merupakan bukti bahwa negara itu masih dicekam rasa takut terhadap komunis yang diciptakan Order Baru. Kebebasan akademik yang merupakan pilar intekeltualisme, lagi-lagi menjadi korban akibat adanya mitos konyol.