Sekolah Internasional Tumbuh di Asia Timur dan Asia Tenggara

www.jakartaglobe.id

Di antara negara-negara di wilayah Asia Timur, negara di Asia Tenggara mendominasi daftar negara yang memiliki jumlah sekolah internasional berbahasa Inggris terbanyak. Hal itu mengemuka dalam laporan terbaru yang diterbitkan oleh International School Consultancy Research atau ISC Research.

Indonesia berada di peringkat pertama di kawasan ASEAN dengan total 190 sekolah internasional berbahasa Inggris. Thailand, Hongkong dan Malaysia berada di peringkat selanjutnya dengan total masing-masing 181, 177, dan 170 sekolah. Di Asia Timur sendiri, Tiongkok menduduki peringkat puncak dengan 567 sekolah internasional. Hal ini dua kali lipat lebih banyak dari sekolah internasional di Jepang, yang saat ini berjumlah 257.

Data ini dirilis oleh ISC Research, sebuah perusahaan riset global yang mengumpulkan informasi pasar di sekolah internasional, menjelang konferensi International Private School Education Forum (IPSEF) yang akan berlansgung pada 22-24 Maret di Kuala Lumpur, Malaysia.

Mengutip dari data yang dirilis oleh ISC, IPSEF co-founder Rhona Greenhill menjelaskan bahwa jumlah sekolah internasional di Asia Timur pada tahun ini telah mengalami peningkatan menjadi 1.125 yang sebelumnya, pada tahun 2013, hanya sebesar 828. Peningkatan terjadi hampir 32 persen. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara jumlah sekolah internasional baru meningkat menjadi 1.008 dari 725 sekolah dalam kurun waktu periode yang sama.

Tingkat pertumbuhan yang menakjubkan dari sekolah internasional di Asia menunjukan bahwa Asia berupaya terus menerus dalam mengembangkan dan menyetarakan diri dengan negara lain dunia dalam hal pendidikan, tambah Rhona Greenhill.

Sementara itu, Malaysia memimpin Asia Tenggara dengan jumlah tertinggi siswa yang saat ini terdaftar di sekolah internasional dengan 71.589, diikuti oleh Thailand dengan 64.982 dan Singapura dengan 63.789.

Indonesia dan Vietnam saat ini memiliki 57.402 dan 40.003 mahasiswa yang terdaftar di sekolah internasional pada masing-masing negara.

Di Asia Tenggara, pendaftaran siswa di sekolah internasional telah meningkat sebanyak 33,9 persen dalam empat tahun terakhir.

Sami Yosef, Kepala Penelitian ISC Research Asia Tenggara, akan menyajikan data terbaru dan informasi pada perkembangan dan peluang untuk investasi di sekolah internasional di Asia Timur dan Tenggara pada forum IPSEF akhir bulan ini.

International Schools Poised for Growth in East, Southeast Asia

www.jakartaglobe.id

Southeast Asian nations dominated the list of countries with the highest number of premium English-language international schools in the greater East Asia region, according to the latest report published by International School Consultancy Research, or ISC Research.

Indonesia leads the Asean region with the highest number of English-language international schools, totaling 190. Thailand, Hong Kong and Malaysia trail Indonesia with 181, 177 and 170 respectively. In East Asia, China tops the list with 567 international schools, more than double the number of international schools in Japan, which currently sits at 257.

The data was released by ISC Research, a global research firm that gathers market intelligence on international schools, ahead of the forthcoming International and Private Schools Education Forum (IPSEF) conference which will take place on March 22-24 in Kuala Lumpur, Malaysia.

Quoting the data released by ISC, IPSEF co-founder Rhona Greenhill explained that amount of international schools in East Asia has increased to 1,125 this year from 828 in 2013, an increase of nearly 32 percent. New international schools in Southeast Asia increased to 1,008 from 725 over the same time period.

The astonishing growth rate of international schools in Asia underscores the region’s continuing quest to develop and be on par with the rest of the world in regards to education, she added.

Meanwhile, Malaysia leads Southeast Asia with the highest number of students currently enrolled in international schools with 71,589, followed by Thailand with 64,928 and Singapore with 63,789.

Indonesia and Vietnam currently have 57,402 and 40,0003 students enrolled in international schools, respectively.

Across Southeast Asia, student enrollment in international schools has increased 33.9 percent in the last four years.

Sami Yosef, Head of Southeast Asia Research at ISC Research, will present the latest data and intelligence on developments and opportunities for international school investment in East and Southeast Asia at the IPSEF forum later this month.

Link: http://jakartaglobe.id/news/international-schools-poised-growth-east-southeast-asia/

KIP Bantu Atasi Anak Putus Sekolah

Jawa Pos, halaman 30

Berdasarkan data pemerintah yang dikutip dari survei sosial ekonomi nasional (susenas) 2014, sebanyak 4,7 juta anak usia 7-18 tahun tidak bersekolah. Lebih dari 50 persen anak tidak sekolah karena faktor eknonomi.

Suhaeni Kudus, spesialis pendidikan UNICEF Indonesia, mengungkapkan, banyak orang tua yang memutuskan anaknya tidak melanjutkan sekolah karena kemiskinan dan persepesi bahwa pendidikan tidak memberikan nilai tambah terhadap masa depan anak. Selain itu, banyak remaja perempuan yang menikah dini yang angkanya mencapai 10 persen.

Suhaeni menjelaskan, pemerintah sudah mengatasi anak yang putus sekoalah secara signifikan dibanding sebelumnya yang melaksanakan program bantuan siswa miskin (BSM) yang tidak memprioritaskan anak putus sekolah. Sementara, melalui kartu Indonesia pintar (KIP), ada kuota khusus untuk anak putus sekolah. Namun, tantangannya adalah mengindentifikasi siapa dan dimana anak-anak yang tidak bersekolah.

Untuk itu, lanjutnya, UNICEF menggunakan program sistem informasi pendidikan berbasis masyarakat (SIPBM) untuk mencari data anak-anak yang putus sekolah. Data yang terkumpul akan dikembalikan ke desa masing-masing. Jadi, mereka bisa turut berpartisipasi mengurangi angka siswa yang putus sekolah.

UNICEF pun menggandeng mitra-mitra untuk turut berkontribusi guna membantu semakin banyak anak mengenyam pendidikan. Dari 4,7 juta anak yang tidak bersekolah itu, 60 persen berada di Pulau Jawa.

KIP Helps to Overcome School Dropouts

Jawa Pos, page 30

Based on government data as cited from the national socio-economic survey (susenas) 2014, a total of 4.7 million children aged 7-18 years dropped out of school. More than half of these children do not attend the school due to economic reasons.

Suhaeni Kudus, education specialist from UNICEF Indonesia said the reasons would be the parents’ low expectations on education bringing added value to improve their children’s future and the family’s poverty, as well as early marriage, which remains common among girls and accounts for up to 10 percent of the dropout rate.

Suhaeni explained the government has made significant progress in overcoming the dropout rate through Indonesia smart card (KIP), which provides a special quota for dropouts. Previously, there was no quota for dropouts in the government’s poor students program (BSM), but this has been introduced following identification of the problem from the dropout data.

Therefore, she continued, UNICEF had utilized community-based education information system (SIPBM) to collect data of dropout children, which are then returned to each village to participate in decreasing dropout rate. UNICEF has also instigated cooperation with certain partners to contribute in helping more children have access to education, with 60 percent of 4.7 million dropouts being in Java.

5 Sekolah di Jayapura Terancam Tutup

Republika, halaman 5

Sebanyak lima sekolah tingkat SD, SMP hingga SMA di Kota Jayapura, Provinsi Papua, terancam ditutup. Ini karena pihak sekolah tidak mengalami perubahan perbaikan terhadap kegiatan belajar mengajar di sekolah. Lima sekolah yang terancam ditutup itu diantaranya adalah SD Yapen 45 Jayapura dan SMA 45 Jayapura. Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, I Wayan Mudiyasa.

Mudiyasa mengatakan, jika tidak ada perubahan di semester empat ini, pihaknya pun akan memanggil pakar-pakar pendidikan, para pemangku kepentingan, dan pimpinan lima sekolah itu untuk dievaluasi ulang kemudian ditutup. Ia tidak menginginkan anak-anak menjadi korban karena kurang baiknya pelayanan pendidikan.

Namun, jika kedepan sekolah-sekolah itu bisa menunjukkan pelayanan pendidikan yang baik, maka pihaknya tidak akan menutupnya. Ia berharap para siswa dapat dididik dengan baik, sehingga bisa mengharumkan nama Kota Jayapura.

Five Schools Threatened with Closure in Jayapura

Republika, page 5

Head of Jayapura City Education and Culture Agency, I Wayan Mudiyasa revealed that five schools consisting of primary school (SD), junior high school (SMP) and high school (SMP) in the city are threatened with closure. This is due to the minimal improvement in teaching and learning activities in the schools, which include SD Yapen 45 and SMA 45 Jayapura.

Mudiyasa said, if these schools cannot find improvement in this fourth semester, his department will foster a discussion between education experts, stakeholders and the schools’ principals to reevaluate and close the schools. He does not want students to become the victims of sub-standard education services.

However, the department will not close these schools if they can maximize their education services. He hoped that students in this region obtained quality education services to further boost the city’s standing.

Literasi Tangkal Hoax

Republika, halaman 5

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ingin mendorong budaya literasi pada orang tua guna meredam hoax yang beredar di media sosial. Hal itu diungkapkan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud, Ari Santoso, dalam diskusi “Peran dan Kontribusi Penerbit dalam Pendidikan Anak Usia Dini” di Kemendikbud Jakarta, Kamis (9/3). Ari menyebut, Kemendikbud tidak hanya bertugas untuk mendukung pendidikan, tetapi juga budaya literasi di masyarakat. Dalam waktu dekat ini, lanjutnya, pihaknya akan meluncurkan gerakan literasi.

Sementara, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Dirjen Paud Dikmas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Harris Iskandar mengatakan, pada abad 21, seseorang bisa survive (bertahan) dengan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK), tak hanya baca tulis saja. Sehingga setiap warga negara harus punya enam literasi dasar

Ia merinci, literasi dasar yang harus dimiliki warga negara, yakni, baca tulis, berhitung, literasi sains, literasi TIK, literasi keuangan dan literasi budaya dan kewarganegaraan. Harris mengamini salah satu upaya meredam hoax, yakni masyarakat harus mempunyai budaya literasi. Ia mengingatkan, Indonesia akan dihadapkan dengan bonus demografi beberapa tahun mendatang. Hal tersebut menjadi tantangan bagaimana menciptakan warga negara yang produktif, terdidik, terlatih, menghasilkan sesuatu.

Di lain pihak, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid memandang positif banyaknya peredaran berita hoax. Menurutnya, informasi berita hoax dibuat secara sengaja untuk membuka kesadaran dalam meninjau kembali suatu berita. Sehingga, seseorang harus mampu mengonfirmasi setiap informasi yang didapat.

Literacy Desists Hoax

Republika, page 5

The Ministry of Education and Culture (Kemendikbud) wants to encourage a culture of literacy in parents in order to reduce hoaxes that circulated on social media. This was expressed by Head of Communications and Public Service Bureau Kemendikbud, Ari Santoso, in a discussion on “The Role and Contributions of Publishers in Early Childhood Education” in Kemendikbud Jakarta, Thursday (9/3). Ari said Kemendikbud does not only serve to support education, but also the culture of literacy in the community/ society. In the near future, he added, he would launch a literacy movement.

Meanwhile, Director General of Early Childhood Education and Community Education (Dirjen Paud Dikmas) of the Ministry of Education and Culture (Kemendikbud), Harris Iskandar said that, in the 21st century, a person could survive with technology, information and communications technologies (ICTs), not only reading and writing.   So that every citizen should have six basic literacies.

He breaks down, the must-have basic literacy of citizens, are namely, reading and writing, numeracy, science literacy, ICT literacy, financial literacy and cultural & citizenship literacy. Harris agrees that one of the measures to prevent hoax, is that the people must have a culture of literacy. He reminded that Indonesia will be faced with a demographic bonus in the next few years. It is a challenge how to create citizens who are productive, educated, trained, produce things.

On the other hand, Director General of Culture Kemendikbud, Hilmar Farid holds a positive view on the many circulations of hoax news. According to him, information of hoax news was made intentionally to open awareness on reviewing a story.  So one must be able to confirm any information obtained.

Industri Garap Pendidikan Vokasi dapat Pengurangan Pajak

www.viva.co.id

Pemerintah akan mempersiapkan insentif fiskal kepada industri yang mendukung dan turut serta memfasilitasi pengembangan pendidikan vokasional. Pengembangan vokasi, memang saat ini menjadi kebijakan yang didorong untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas.

Direktur Jenderal Industri, Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawiryawan mengungkapkan, rencana untuk memberikan insentif fiskal berupa tax allowance kepada industri yang mendukung pendidikan vokasional sampai saat ini masih dalam kajian.

Tax allowance merupakan salah satu insentif berupa pemotongan pajak yang diberikan pemerintah untuk suatu kepentingan tertentu. Dengan kata lain, fasilitas ini akan mengurangi basis pengenaan pajak untuk bidang usaha yang selama ini telah disetorkan kepada negara. Putu mengatakan, pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait masih mengkaji kriteria pelaku industri mana saja yang nantinya berhak mendapatkan fasilitas fiskal tersebut. Namun, Putu mengakui, hal ini akan tetap bergantung pada keputusan akhir di Kementerian Keuangan.

Industry Working on Vocational Education Gets Tax Deduction

www.viva.co.id

The government will prepare fiscal incentives to industries that support and contribute to facilitating the development of vocational education. Vocational development is currently a policy that is driven to form sources of qualified human resources.

Director General of Industry, Metal, Machinery, Means of Transportation and Electronics of the Ministry of Industry, I Gusti Putu Suryawiryawan revealed plans to provide fiscal incentives such as tax allowance to industries that support vocational education to date is still under study.

Tax allowance is one of the incentives in the form of tax cuts provided by the government for certain purposes. In other words, this facility will reduce the tax base for the line of business that had been paid to the state. Putu said the government together with the relevant stakeholders is still reviewing the criteria of which industry players would be eligible for such fiscal facilities. However, Putu admitted, it would still depend on the final decision in the Ministry of Finance.

Link: http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/891656-industri-garap-pendidikan-vokasi-dapat-pengurangan-pajak