Para Pelajar Ingin Lebih Banyak lagi Buku Bacaan

The Jakarta Post, halaman 4

Muhammad Ridho Aziz, 10 tahun, bergegas mendekati mobil van berwarna putih dan ungu yang diparkir di dekat sekolahannya, SDN 03 Lebak Bulus di Jakarta Selatan, dan mengambil salah satu buku dari rak di dalam mobil tersebut untuk dibaca. Dia bahkan tidak berusaha mencari tempat duduk dan lebih memilih untuk berdiri sembari bersandar di dinding sambil membaca komik yang diambilnya. Ridho merasa sangat bahagia ketika perpustakaan keliling tersebut datang ke sekolahnya, karena ia bisa membaca komik kesukaannya.

Ridho tidak sendirian, karena ada juga puluhan siswa lainnya yang duduk di bangku plastik yang telah disediakan oleh perpustakaan keliling, yang diparkir di sebelah pintu gerbang sekolah. Para siswa kebanyakan menyukai bacaan buku-buku bergambar.

Sebenarnya SDN 03 memiliki perpustakan sendiri, namun ruangnya kecil dan hanya memiliki sedikit buku-buku bergambar yang banyak disukai anak-anak. Wakil Kepala Sekolah Nurjanah mengatakan, siswa-siswinya sangat antusias dalam membaca dan memiliki minat baca yang cukup tinggi. Dia menyambut baik kehadiran perpustakaan keliling tersebut, dan mengakui bahwa perpustakaan yang dimiliki sekolahnya kurang memiliki buku-buku bergambar yang menarik.

Secara terpisah, siswa-siswi SMPN 75 Kebon Jeruk, Jakarta Barat, juga tampak terlihat gembira dengan adanya perpustakaan keliling. Beberapa dari mereka terlihat bertanya kepada pustakawan untuk judul-judul buku tertentu, sementara yang lainnya bertanya apakah mereka diperbolehkan atau tidak untuk meminjam buku-buku tersebut.

Seorang siswi kelas delapan, Tri Puspitaningrum, terlihat sedang duduk dengan mata terpaku pada buku misteri yang dibacanya. Tri mengatakan, saat ini ia sebenarnya sedang mengikuti kelas musik di luar ruangan bersama teman-temannya. Ia diberikan waktu luang untuk membaca buku karena sudah menyelesaikan tugas pentasnya hari ini. Ia berharap perpustakaan keliling tersebut bisa lebih sering berkunjung ke sekolahannya.

Keberadaan perpustakaan keliling telah menjadi alternatif bagi para siswa yang sekolahnya tidak dapat memenuhi keinginan mereka untuk membaca buku. Dari ratusan taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di seluruh wilayah DKI Jakarta, kebanyakan memiliki masalah yang sama mengenai perpusatakaan sekolah mereka.

Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) DKI Jakarta saat ini mengoperasikan 33 perpustakaan keliling, yang masing-masing menyediakan sekitar 500 buku. Kepala BPAD, Tinia Budiati, mengatakan, sejak digalakkan pada 2015, perpustakaan keliling sangat bergantung pada donasi masyarakat karena mereka tidak memiliki cukup dana untuk pengadaan buku-buku baru.

Tinia menjelaskan, sumbangan buku biasanya berasal yayasan, individu, maupun penerbit buku. Tahun ini, BPAD telah mengalokasikan dana untuk melakukan pengadaan buku, namun semuanya diperuntukan untuk perpustakaan yang ada di ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) yang baru-baru dibangun di seluruh Jakarta.

Student Wish for More Books

The Jakarta Post, page 4

Muhammad Ridho Azis, 10, scurried to ward a white-and-purple painted van parked near his school, SD 03 Lebak Bulus in South Jakarta, and took one of the books from the van’s shelves to read. He did not even bother looking for a seat, opting instead to stand and lean against a wall while reading a comic book. He really happy when the library comes over to his school because he could read comic books.

Ridho was not alone as dozens of students sat on plastic stools provide by the library van, which was parked next to the school’s gate. Those students mostly read picture books.

The SD 03 school itself has its own library, but the room is small and has few illustrated books, which the children tended to prefer. The school’s deputy principal Nurjanah said our students are very enthusiastic in reading. Their reading interest is quite high. She welcomed the presence of the mobile library, admitting that the school’s library was short of interesting illustrated books.

Separately, students of junior high school SMP 75 in Kebon Jeruk, West Jakarta, also appeared to be excited about the mobile libaray. Some of them asked the librarian about certain book titles, while others asked whether or not they could borrow the books.

Eight grader Tri Puspitaningrum was sitting with eyes glued to mystery books. Tri said she was in an outdoor music class with her classmates. Since they had completed their performance for the day, they were granted free time to read books. She hopes the library van could visit us more often.

The presence of the mobile library has become an alternative for students whose schools fail to provide books to satisfy their thirst for knowledge. Of the hundreds of kindergartens, elementary and junior high schools across Jakarta, many face similar problems with their libraries.

Jakarta Library and National Archives (BPAD) currently operates 33 mobile libraries. Each provide around 500 books. BPAD head Tinia Budiati said the library vans have relied heavily on donations since 2015, as they lacked the funds to procure new books.

The book donations were from foundations, individuals or book publisher. The BPAD has allocated funds to procure books this year, she said, but all of them would be for libraries at the newly built child-friendly integrated public space across the city.

Alokasi Gaji Guru Honorer 15% Dari BOS

Koran Sindo, halaman 2

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencabut larangan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk menggaji guru honorer.  Dalam Permendikbud menyebutkan, guru honorer harus sarjana S-1/D-4 dan bukan guru yang baru direkrut setelah proses pengalihan kewenangan. Hal itu diungkapkan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Hamid Muhammad, kemarin (13/3).

Hamid menjelaskan, Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 8/ 2017 tentang Petunjuk Teknis (Juknis) BOS, Kemendikbud menekankan batas maksimum penggunaan BOS untuk honor bulanan guru honorer hanya 15% di sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah. Sementara sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat maksimal 50% dari total BOS yang diterima.

Sementara itu, lanjutnya, guru honor pada sekolah di daerah wajib mendapat penugasan dari pemda dan disetujui Kemendikbud berdasarkan usulan dinas provinsi dengan menyertakan daftar data guru hasil pengalihan kewenangan. Kebijakan ini berlaku untuk guru SD, SMP, SMA, dan SMK.

Hamid menambahkan, urusan kesejahteraan dan gaji guru honorer di daerah seharusnya dialokasikan anggarannya oleh pemerintah daerah, di luar transfer dari pusat. Karena, selain membayar gaji guru honorer, dana BOS digunakan untuk membiayai 12 komponen kegiatan lainnya, diantaranya perpustakaan, pembiayaan penerimaan siswa baru, kegiatan ekstrakurikuler dan perawatan sekolah.

Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti sangat setuju guru honorer digaji melalui BOS. Sebab mayoritas sekolah negeri kekurangan guru PNS sehingga terpaksa mempekerjakan guru honorer. Meski demikian, dia mengkritisi syarat guru harus S- 1/D-4 dan keterangan penugasan dari pemerintah daerah karena itu sangat menghambat guru honorer di sekolah negeri untuk sertifikasi.

Allocating 15 percent of BOS for Teachers’ Salaries

Koran Sindo, page 2

The Ministry of Education and Culture has eliminated the prohibition on School Operational Assistance (BOS) being used to pay honorary teachers. In Permendikbud, the honorary teachers must be S-1/D-4 scholars, not those who have just been recruited after transferring to the authority. This was stated by Directorate General on Elementary and Secondary Education (Dikdasmen) Kemendikbud Hamid Muhammad, yesterday (13/3).

Hamid explained, based on Regulation of The Minister of Education and Culture (Permendikbud) Number 8/2017 regarding Technical Guide (Juknis) of BOS that the maximum use of BOS for monthly salary of honorary teachers is only 15 percent for the local government schools, while for private schools it is a maximum of 50 percent of the total BOS received.

Meanwhile, the honorary teachers at schools in the regions have to receive their duties from the regional government and this must be accepted by Kemendikbud based on the promotion by the provincial office with data on inclusion of the teachers who face transfer between authorities. This policy is applied for SD, SMP, SMA, and SMK schools.

Hamid added that the budget for the welfare and salary of honorary teachers in regional schools should be allocated by the regional government, outside of transfers from the central government. As well as paying honorary teachers, the BOS fund is also used to pay 12 components of other activities, such as library, finance of new student admission, extracurricular activity, and building infrastructure.

The General Secretary of Indonesian Teachers Federation, Retno Listyarti, welcomed the honorary teachers being paid from BOS. This is because in the main state schools have fewer PNS teachers, thus the schools must recruit honorary teachers. However, she criticized the requirement that the teachers must be S-1/D-4 scholars and receive their assignment information from the regional government, because she finds that the requirement obstructs the certification of honorary teachers in public schools.

Baru 40% Kepsek di Jayapura Besertifikat

Media Indonesia, halaman 20

Hingga kini baru sekitar 40% kepala sekolah yang tesertifikasi dari total 243 sekolah jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga sekolah menengah atas (SMA) di Kota Jayapura, Papua. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura I Wayan Mudiyasa mengatakan masih sedikitnya kepala sekolah yang tesertifikasi antara lain karena sertifikasi dilakukan berdasarkan usulan dari jenjang pendikan masing-masing melalui kepala sekolah. Oleh karena itu, pihaknya akan menunggu usulan tersebut.

Wayan mengatakan dari 243 jenjang PAUD, sekolah dasar, sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK), baru 40% kepala sekolahnya yang miliki sertifikat. Jenjang kepangkatan mereka III/C sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 28 Tahun 2010.

Menurut Mudiyasa, dari 243 sekolah, 65 di antaranya jenjang PAUD, 103 SD, 33 SMP, 25 SMA dan 17 SMK. Setelah para kepala sekolah disulkan, barulah mereka menjalani proses perekrutan untuk sertifikas. Dijelaskan saat perekrutan itulah, dilakukan pula seleksi berkas atau seleksi administrasi. Setelah seleksi administrasi dilanjutkan dengan tes akademis dan tes psikologi.

Dalam seleksi, ujar Mudiyasa, ada enam kompetensi yang harus dikuasai. Di antaranya kewirausahaan, manajerial, kepemimpinan, dan sejumlah tambahan kompetensi yang harus dikuasai calon kepala sekolah. Kepala sekolah yang diusulkan untuk mengikuti sertifikasi itu pangkatnya minimal III/D, sesuai dengan peraturan.

Only 40 Percent of Headmasters Certified in Jayapura

Media Indonesia, page 20

Of the total 243 schools of early childhood education program (PAUD) until high school (SMA) in Jayapura, Papua, Only 40 percent of headmasters are certified. The Head of Jayapura I City Education and Culture Agency, Wayan Mudiyasa, said that low certification level of headmasters is due to it being based on promotion from headmasters, respectively. Therefore, the agency will wait for the promotion.

Wayan said that of 243 schools of elementary school, junior high school (SMP), senior high school (SMA), and vocational high school (SMK), there are only 40 percent headmasters certified. Their career ladder is III/C based on  Regulation of The Minister of Education and Culture (Permendikbud) No. 28 year 2010.

According to Mudiyasa, of 243 schools, there are 65 PAUD, 103 SD, 33 SMP, 25 SMA, and 17 SMK. After being promoted, the headmasters undertake the recruitment process. The document selection or administration test is conducted as the first part of the process, the next steps being the academic test and psychological test.

For the selection, there are six essential competencies for headmasters, namely entrepreneurship, managerial, leadership, and a number of desirable supplementary competencies. The promoted headmasters are minimal III/D in terms of their career ladder, based on the regulation.

 

Hapus Diskriminasi di Sekolah

Media Indonesia, halaman 21

Sikap diskriminatif dalam menyikapi keberagaman masih mewarnai dunia pendidikan, terutama di sekolah-sekolah negeri. Kebanyakan sekolah tersebut cenderung menguatkan keberagamaan ketimbang keberagaman. Hal itu dapat dilihat pada simbol-simbol yang muncul. Mayoritas sekolah negeri lebih sering menerapkan kebijakan pemakaian atribut pakaian dari agama mayoritas di lingkungan mereka.

Peneliti pendidikan dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anggi Afriansyah, dalam diskusi publik bertajuk Relasi Indeks Prestasi Pendidikan dan Dugaan Praktik Korupsi, di Jakarta, kemarin (Senin, 13/3), mengatakan apabila itu sekolah swasta, wajar saja. Akan tetapi, untuk sekolah negeri yang dibiayai negara, harusnya tidak seperti ini.

Masalah terkait dengan kebinekaan, lanjut dia, sudah disadari pemerintah dan dituangkan dalam Nawa Cita. Sekolah negeri seharusnya dapat mengakomodasi tujuan negara dan pemerintah pusat dalam mengembangkan toleransi di seluruh lapisan masyarakat.

Anggi menerangkan, sikap diskriminatif di sekolah negeri itu jelas merupakan kesalahan. Kalau (kejadiannya) di sekolah swasta pasti masih terkait dengan kebijakan internal. Sementara sekolah negeri ini yang seharusnya dapat menghilangkan dinding antara mayoritas dan minoritas. Seharusnya, lanjut Anggi, sekolah-sekolah negeri mengembangkan sikap yang mendukung keberagaman. Para siswa harus diajari untuk melihat keberagaman di lingkungan mereka dan bekerja sama untuk menganalisis serta menyelesaikan masalah-masalah terkait dengan keberagaman yang muncul di sekitar mereka.

Remove Discrimination in Schools

Media Indonesia, page 21

Discriminatory attitudes in addressing diversity still characterize the world of education, especially in state schools. Most of these schools tend to reinforce religious affairs rather than diversity. It can be seen in the symbols that appear. The majority of state schools often apply policies in the use of clothing attributes of the majority religion in their environment.

Education researcher from the Center for Population Research Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Anggi Afriansyah, in a public discussion entitled Relation of Educational Achievement Index and Alleged Corruption, in Jakarta, yesterday (Monday, 13/3) said that if it were a private school, it is only normal. However, for state-funded public schools, it should not be like this.

Problems related to diversity, he continued, the government has recognized them and is set forth in Nawa Cita.   State schools should be able to accommodate the objectives of the state and central government in developing tolerance throughout society.

Anggi explained discriminatory attitudes in public schools are clearly a mistake.   If it (happened) in private schools it must still be associated with internal policies.   Meanwhile, these state schools should be able to eliminate the wall between the majority and minority. Anggi continued that state schools should develop attitudes that support diversity.  Students should be taught to see the diversity in their environment and work together to analyze and resolve issues related to diversity that arise around them.

Prioritaskan Lulusan SMA Setempat

Kompas, halaman 11

Penyelenggaraan program studi di luar kampus utama yang dijalankan sejumlah perguruan tinggi negeri diharapkan menerapkan sistem kuota lulusan SMA setempat dalam penerimaan mahasiswanya. Prioritas bagi lulusan setempat itu penting guna memperbaiki ketimpangan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan perguruan tinggi. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir menyatakan, APK pendidikan perguruan tinggi di Jawa Barat baru mencapai 8 persen dan merupakan APK pendidikan perguruan tinggi terendah di Jawa.

Nasir optimis ketertinggalan APK di Jawa Barat itu akan teratasi jika penyelenggaraan program studi di luar kampus utama (PSDKU) memprioritaskan lulusan SMA setempat dalam penerimaan mahasiswa. Menurut Nasir, jumlah perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa Baray, termasuk enam PTN yang dibawahkan Kemristek Dikti terlalu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya.

Hari Senin kemarin, Kemristek Dikti menandatangani nota kesepahaman dengan sejumlah pihak. Salah satunya menyangkut PSDKU Universitas Padjajaran Pangandaran, yang menandai penyerahan 30 hektar lahan kampus PSDKU Unpad di Desa Cikembulan dari Pemerintah Kabupaten Pangandaran kepada Kemristek Dikti. Dengan penandatanganan nota kesepahaman itu, PSDKU di Jawa Barat telah mencapai tiga program. Sebelumnya, Institut Teknologi Bandung telah membuka PSDKU di Cirebon. Selain itu, ada juga penyelenggaraan PSDKU Institut Pertanian Bogor di Sukabumi.

Prioritize Local High School Graduates

Kompas, page 11

Implementation of the program of study outside the main campus run by a number of state universities are expected to apply the quota system of local high school (SMA) graduates in the admission of students. Priority for local graduates is important to correct imbalances in the gross enrollment rate (APK) of higher education. Minister of Research, Technology and Higher Education Muhammad Nasir stated, the APK of higher education in West Java reached 8 percent and is the lowest higher education APK  in Java.

Nasir is optimistic the lagging APK in West Java would be settled if the implementation of the study program outside the main campus (PSDKU) prioritizes local high school graduates in student admissions. According to Nasir, the number of state universities (PTN) in West Java, including six PTN under Kemristek Dikti is too few when compared to its population.

On Monday, Kemristek Dikti signed a memorandum of understanding with a number of parties. One of them involves PSDKU of Padjadjaran University Pangandaran, which marked the handover of 30 hectares of land in the Padjadjaran University campus PSDKU in Cikembulan Village of Pangandaran Regency Administration to Kemristek Dikti. By signing the memorandum of understanding, PSDKU in West Java has reached three courses/study programs. Previously, the Bandung Institute of Technology had opened PSDKU in Cirebon. In addition, there is also PSDKU implementation at the Bogor Agricultural Institute in Sukabumi.