The Jakarta Post, halaman 5
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki alasan kuat untuk menekan tingginya angka pernikahan dini di wilayah tersebut, karena hal itu ditenggarai menjadi penyebab meningkatnya angka perceraian dan kemiskinan.
Pada 2014, Pemerintah provinsi NTB kemudian mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur batas usia perkawinan untuk lelaki dan perempuan yaitu 21 tahun. Batas usia tersebut lebih tinggi dari yang ditetapkan dalam UU Perkawinan tahun 1974, yaitu 16 tahun.
Namun, peraturan daerah tersebut belum menunjukkan hasil yang positif. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Privinsi NTB, Lalu Makripuddin, belum lama ini menuturkan bahwa berdasarkan data yang dikumpulkan dari 10 kabupaten di Provinsi NTB pada tahun lalu, diketahui bahwa sebanyak 58 persen dari 1.4 juta pasangan ternyata menikah sebelum usia 19 tahun.
Makripuddin mengatakan, jumlah pasangan yang menikah sebelum usia 19 tahun diperkirakan sebanyak 500.000 hingga 700.000 pasangan. Persentase ini lebih tinggi dari rata-rata nasional, yaitu sebesar 34 persen. Ia menambahkan bahwa dari 58 persen pasangan yang menikah muda tersebut, sebanyak 20 persennya menikah sebelum usia 15 tahun.
Tingginya angka persentase tersebut membuat NTB menduduki posisi ketiga tertinggi sebagai provinisi dengan tingkat angka pernikahan dini setelah Provinsi Kalimantan Selatan dan Jawa Barat.
Makripuddin mengatakan, tingginya angka pernikahan dini tersebut telah menjadi masalah di NTB, karena memiliki andil akan tingginya jumlah kasus perceraian dan meningkatnya angka kemiskinan. Hal itu menyebabkan banyaknya perempuan muda menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Makripuddin juga menyebut bahwa pernikahan dini juga berdampak negatif bagi kesehatan, ketahanan keluarga, pendidikan dan ekonomi. Karena, secara fisik dan mental, mereka belum siap menjadi dewasa.
Pasangan yang menikah muda juga dikatakan memiliki tingkat resiko perceraian enam kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang menikah dalam usia yang lebih matang. Kesulitan ekonomi sering disebut sebagai faktor yang menyebabkan retaknya pernikahan para pasangan muda di NTB, karena hal itu memaksa mereka untuk bekerja di luar negeri dan meninggalkan pasangan mereka sendirian. Pada akhirnya, ia menambahkan, kaum perempuanlah yang paling menderita akibat perceraian ini karena biasanya merekalah yang mengambil alih hak asuh anak-anaknya. Hal itu semakin membuat mereka sulit untuk bekerja.
Tingginya tingkat pernikahan dini di NTB disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor budaya, rendahnya tingkat pendidikan dan status ekonomi.