The Jakarta Post, halaman 23
Meningkatnya jumlah penyandang tunanetra yang ingin mendapatkan gelar sarjana seiring dengan tingginya harapan mereka untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik dibanding rekan-rekan mereka yang berpendidikan lebih rendah. Pada 2005, jumlah lulusan perguruan tinggi penyadang tunanetra hanya 250 orang. Saat ini, jumlahnya telah meningkat hingga 30 persen.
Namun, gelar sarjana saja tidak akan cukup untuk bersaing di dunia nyata. Para aktivis dari Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) menyadari bahwa meskipun lulusan tunanetra memiliki beberapa kompetensi dalam disiplin ilmu yang relevan, namun mereka juga tetap harus dibekali dengan kemampuan soft skill yang diperlukan guna mendapatkan pekerjaan. Awal bulan ini, Pertuni akan mengadakan pelatihan soft skill pra-kerja di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
Dalam sesi pelatihan, Ketua Umum Pertuni Aria Indrawati mengatakan, para penyandang tunanetra memiliki banyak peluang untuk bersaing, dan keterbatasan penglihatan seharusnya tidak mencegah mereka untuk berkontribusi kepada masyarakat. Pelatihan tersebut, lanjutnya, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan dan keberanian untuk menawarkan kemampuan mereka ketika melamar pekerjaan atau mengembangkan bisnis mereka sendiri. Para penyandang tunanetra tersebut akan termotivasi untuk lebih melihat pada sisi positifnya, tidak terganggu dengan keterbatasan mereka, bahkan mampu menampilkan bakat mereka dengan lebih percaya diri. Sesi-sesi pelatihan yang diadakan meliputi cara belajar untuk hidup mandiri, melakukan debat dan diskusi kelompok, hingga simulasi dan permainan.
Dalam sebuah permainan, para peserta akan diminta untuk memilih bermacam-macam jenis bola atau telur, yang masing-masing mewakili penghasilan yang akan diperoleh dan resiko yang harus dihadapi. Aria menjelaskan, pesan dari permainan tersebut adalah mereka harus mampu mengisi posisi mereka dengan tepat tanpa memaksakan diri mereka sendiri.
Sementara itu, dalam permainan lainnya yang disebut dengan Alcatraz, peserta diminta untuk melangkah ke dalam kotak seperti yang diperintahkan oleh pemandu pelatihan. Hal itu dimaksudkan untuk mendorong mereka agar terus maju terlepas dari segala kegagalan, dan pada saat bersamaan menjaga pola pikir positif mereka serta mengubah kegagalan tersebut menjadi sebuah pelajaran untuk bertahan hidup. Debat dan diskusi juga dilakukan guna menambah rasa percaya diri mereka dan dapat memahami situasi saat wawancara kerja.
Dalam sesi pelatihan tersebut, para peserta digembleng oleh seorang instruktur bernama Albanyo Brebaham, seorang dosen psikologi di Universitas Yarsi, Jakarta, yang juga memiliki keterbatasan penglihatan. Aria menjelaskan, Alabanyo yang juga menyandang gelar Master Psikologi dari Universitas Indonesia (UI), ditunjuk sebagai instruktur untuk dapat memberikan motivasi dan menjadi panutan bagi para peserta.
Pelatihan serupa sebelumnya digelar di Jakarta, Yogyakarta dan Bandung, Jawa Barat. Setelah Malang, pelatihan nantinya akan diadakan di Surabaya, Jawa Timur dengan target 100 mahasiswa. Setelah mereka mendapatkan pelatihan selama empat hari, mereka diharapkan memiliki sikap interapersonal yang baik dan kemampuan interpersonal yang dibutuhkan dalam dunia kerja.
Aria mengatakan, pelatihan pra-kerja ini juga akan diadakan untuk para mahasiswa tunanetra di Medan, Sumatera Utara, Manado, Sulawesi Utara, dan Aceh, Banda Aceh. Sementara itu, pihaknya juga tengah mempersiapkan program pelatihan untuk persiapan masuk universitas untuk para siswa SMA. Aria berharap pemerintah bisa membangun sistem pendidikan untuk para penyandang tunanetra dengan menyediakan layanan konseling, dukungan psikologis dan sekolah inklusi.