Kompas, halaman 11
Turunnya peringkat indeks pembangunan manusia Indonesia dari peringkat ke-110 menjadi peringkat ke-113 akibat ketimpangan jender adalah buah dari pembangunan yang terlampau memprioritaskan aspek fisik. Pembangunan yang tidak terencana akan merugikan masyarakat, terlebih kaum perempuan.
Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Yuniyanti Chuzaifah, perempuan kian terpinggirkan dan paling terdampak jika beban ekonomi keluarga semakin meningkat. Selain itu, angka kematian ibu di Indonesia sulit diturunkan karena simplifikasi sebagai masalah kesehatan saja. Belum lagi, lanjutnya, perspektif kultural yang mendorong pernikahan dini untuk mengurangi pertanggungan ekonomi.
Dalam Laporan Pembangunan Manusia 2016 yang dikeluarkan Program Pembangunan PBB (UNDP), kesenjangan jender menyebabkan nilai IPM Indonesia berkurang 18,2 persen dari 0,689 (2015) menjadi 0,563 (2016). Kesenjangan itu terlihat dari harapan hidup, lama bersekolah, dan kaitannya dengan pendapatan nasional.
Direktur Pendidikan Tinggi, Iptek, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amich Alhumami mengatakan, meski pemerintah sudah berupaya memastikan akses pendidikan bisa merata, salah satunya melalui Kartu Indonesia Pintar dan dana bantuan operasional sekolah. Namun, kerap desakan ekonomi jauh lebih kuat daripada intervensi kebijakan pemerintah.
Sementara, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Hamid Abidin mengatakan, pemberdayaan perempuan belum dilihat sebagai bagian penting dari penggalangan dana untuk sumbangan dari kebanyakan lembaga filantropi. Perempuan juga belum banyak dilibatkan dalam penggalangan dana. Padahal, berdasar laporan survei Public Interest Research Advocacy Center pada 2007, tingkat kedermawanan perempuan sangat tinggi, yakni 99,7 persen dengan jumlah rata-rata sumbangan Rp 287.242 per tahun, lebih tinggi dari laki-laki (99,5 persen) meski nominalnya bisa Rp 360.736 per tahun.