Pengedar Narkoba Incar Siswa Sekolah Dasar

The Jakarta Post, halaman 2

Ditengah meluasnya peredaran ganja, baik yang berasal dalam negeri atau pun impor, pihak berwajib memperingatkan atas maraknya konsumsi narkoba, termasuk di kalangan siswa sekolah dasar di Jayapura, Papua.

Hasil pemeriksaan kepolisian Jayapura yang dilakukan secara acak menemukan bahwa para siswa memakai dan membeli ganja dari para pengedar di lingkungan sekitar sekolah mereka.

Kepala Badan Narkotika Nasional daerah Papua (BNN Papua) Inspektur Jendral Budi Bambang Santoso, mengatakan, para siswa SD di Jayapura sedang menjadi target distribusi ganja dan jenis narkoba lainnya yang dijual dalam paket kecil dengan harga sekitar Rp 50.000 (US $ 3,75) untuk tiap satu ons-nya. Harga tersebut, lanjut Budi, tergolong terjangkau untuk anak-anak sekolah. Dengan menyimpan uang saku mereka, mereka akan mampu membeli satu paket ganja.

Dalam sebuah sesi konseling narkoba di sebuah SD, dimana para siswa diwajibkan menjalani tes urin, BNN menemukan dari hasil pengujian salah satu siswa kelas empat yang berumur delapan tahun kedapatan positif menggunakan narkoba. Pihak BNN kemudian memanggil orang tuanya, namun tidak menahan siswa tersebut.

Kepala divisi narotika Polda Papua, Kombes. IGK Komang, mengatakan, terdapat total 32 siswa SD dan SMP di daerah Nimbokrang, Kabupaten Jayapura yang baru-baru ini tertangkap dalam sebuah “pesta ganja”.

Komang mengatakan ganja yang didistribusikan di Jayapura dan seluruh provinsi Papua dibawa dari negara tetangga yaitu Papua Nuguni, yang masuk melalu beberapa titik yaitu Skow di kota Jayapura, Waris di Kabupaten Jayapura dan Oksibil di Pegunungan Bintang. Pihak berwenang juga menemukan banyaknya penduduk setempat di daerah perbatasan yang menanam ganja.

Seorang ibu di Jayapura menyatakan keprihatinannya akan semakin banyaknya siswa yang mengkonsumsi ganja. Hermina, seorang warga Abepura mengatakan, ia selalu mengawasi anaknya dan mencari tahu siapa teman-temannya disekolah dan di rumah. Masalah tersebut sangat memperihatinkan dan telah menjadi topik hangat dikalangan ibu-ibu yang selalu menjemput anak-anak mereka dari sekolah. Para ibu-ibu sangat khwatir apabila anak-anak mereka bisa menjadi salah satu target pengedar narkoba.

BNN Papua mengatakan, pihaknya akan melakukan kampanye dan konseling kepada para siswa seputar narkoba di sekolah-sekolah dan di tempat-tempat kumpul populer. Selain itu, BNN juga melakukan razia di tempat-tempat yang diduga menjadi target para pengedar narkoba.

Drug dealers target elementary school students

The Jakarta Post, page 2

Amid ample supply of cannabis, both home-grown and imported, authorities are warning about rampant consumption of the drug, including among elementary school students in Jayapura, Papua.

Random checks by the Jayapura Police have found students using marijuana bought from dealers around their schools.

Insp. Gen. Budi Bambang Santoso, the head  of the Papua Narcotics Agency (BNN Papua), said elementary school students in Jayapura were being targeted for marijuana distribution, with the drug being sold in small packages of one ounce priced at Rp 50,000 (US$3.75) each. He said the price is affordable for the school children. By saving their pocket money, they would be able to buy a package of marijuana.

In one case, he said, the agency had conducted a counseling session on drugs at an elementary school, during which students also underwent a urine test. The agency found an eight year-old fourth grader testing for drugs. They summoned the student’s parents but did not detain the student.

The narcotics division head at the Papua Police, Sr. Comr. IGK Komang, said a total of 32 elementary and junior high school students in the Nimbokrang district of Jayapura regency had recently been caught at a “marijuana party”.

Komang said the marijuana distributed in Jayapura and the entire province of Papua was brought into the country from neighboring Papua New Guinea, entering Indonesian territory through several points: Skow in Jayapura city, Waris in Jayapura regency and Oksibil in the Bintang Mountains. Authorities have also found many locals in the border area planting marijuana.

Mother in Jayapura expressed their concern about the many students consuming marijuana. Hermina, a resident of Abepura said she always supervise her child, finding out who the friends are in school and at home. This problem is very alarming and has been a topic among mothers picking up their children from school. We are very worried that our children could be targeted by drug dealers.

The BNN Papua said it was carrying out an information campaign and counseling students on drugs at schools and at popular hangout places, aside from conducting raids in places suspected to be targeted by dealers.

Yogyakarta Dibayangi Meningkatnya Kasus Kekerasan di Kalangan Muda

The Jakarta Post, halaman 8

Tiga orang siswa berumur 17 tahun, anggota geng Grixer di sebuah SMA, saat itu tengah nongkrong di sebuah warung makan pinggir jalan di kawasan Bantul, Yogyakarta. Mereka tidak tampak seperti preman yang suka melakukan tindak kekerasan. Namun, mereka semua mengklaim sering melakukan tindak kekerasan terhadap sesama siswa lainnya.

DW, salah seorang dari mereka mengatakan, ia pernah berkelahi dengan siswa dari sekolah lain karena telah menyakiti temannya.

Akhir-akhir ini, Yogyakarta telah mengalami peningkatan dalam hal jumlah kasus kekerasan di kalangan siswa. Penduduk setempat menjuluki pelaku tindak kekerasan di kalangan remaja dengan klitih. Dari 2014 hingga Maret tahun ini, setidaknya telah ada enam siswa tewas dan puluhan luka-luka akibat tindakan kekerasan yang dilakukan klitih.

Korban terakhir adalah Ilham Bayu Fajar, seorang siswa berusia 16 tahun yang meninggal setelah ditikam dengan sabit, diduga dilakukan oleh sesama siswa lainnya yang bernama  FF pada 12 Maret.

Kala itu, Ilham tengah mengendarai sepeda motor dengan saudaranya ketika ia bertemu seorang anggota geng bernama FF. Kemudian, FF dilaporkan marah karena mendapatkan kata-kata kasar dari Ilham, lalu ia membunuhnya. Akibat kejadian itu, FF dan tersangka lainnya sejak Senin diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sekelompok warga mendukung keluarga Ilham menggelar unjuk rasa di pengadilan dan menuntut FF menerima hukuman yang berat.

Sebagian besar tindak kekerasan Kilith berasal dari persaingan antar geng yang telah ada selama bertahun-tahun di hampir setiap sekolah di Yogyakarta. Tindak kekerasan antar geng tersebut sering dihubungkan dengan ketegangan antara kelompok dengan latar belakang etnis berbeda atau afiliasi keagamaan. Selain itu, terkadang dapat dipicu juga oleh kekalahan dalam kompetisi olahraga atau bahkan berasal dari perseteruan yang diwariskan para anggota geng senior.

Kapolda DIY Brigjend Pol. Ahmad Dofiri, mengatakan, istilah klitih menjadi populer pada 2014, ketika sekelompok siswa terlibat dalam empat kasus tindak kekerasan di Sleman dalam satu malam. Mereka tidak memiliki motif untuk melakukan tindak kekerasan itu, tapi hanya meluapkan kemarahan setelah dimarahi oleh orang tua mereka.

DW, yang bercita-cita menjadi seorang polisi tersebut mengatakan, ia sendiri adalah korban klitih. Suatu hari, ketika ia mengendarai sepeda motor, beberapa anggota geng sekolah yang berjuluk Morenza menendangnya hingga terjatuh dari motor.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yb. Cahya Widiyanto, mengatakan, meningkatnya tingkat kekerasan itu disebabkan adanya masa transisis Yogyakarta menjadi sebuah provinsi industri. Dalam kurun beberapa tahun terakhir ini, perekonomian telah tumbuh cepat dan menyebabkan adanya budaya “konsumerisme”

Situasi ini telah berpengaruh terhadap hubungan sosial, dimana para orang tua menekankan anak-anak mereka untuk unggul secara akademis, namun tidak meluangkan waktu untuk mendidik mereka. Anak yang gagal dalam akademis kemudian mencoba menemukan identitas dan eksistensi mereka. Anak yang mampu melakukan yang hal yang ditakuti kemudian mendapatkan pengakuan dan apresiasi dari teman-temannya.

Koordinator bidang hukum Komisi Perlindungan Anak Wilayah DI Yogyakarta, F. Pranawa, mengatakan, kasus hukum yang melibatkan kalangan muda kebanyakan seputar pelecehan seksual, pencurian dan penganiayaan. Masalah keluarga biasanya menjadi pemicu mereka untuk melakukan tindak kejahatan.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Agung Supriyanto, mengatakan, ada kemungkinan timbulnya masalah kekerasan yang terjadi di kalangan muda disebabkan pengaruh konsumsi narkoba yang tersebar luas di Yogyakarta.

Yogyakarta sees rising violence among youths

The Jakarta Post, page 8

Three 17-year-old students, members of a high school gang called Grixer, were hanging out at a traditional street food stall in Bantul, Yogyakarta. None of them look like violent thugs, but they all claim to have committed violence against fellow students.

DW, one of the three, said that he once beat a student from another school for having hurt his friend.

Recently, Yogyakarta has seen a rising number of cases of violence among students. The locals have a name for violence among students: klitih. From 2014 to March this year, at least six students died and dozens were injured due to klitih.

The latest victim was Ilham Bayu Fajar, a 16-year-old student who died after being stabbed with a sickle, allegedly by fellow student FF, on March 12.

Ilham was riding a motorcycle with his brother when he met FF’s gang members. FF reportedly got furious about harsh words from Ilham and killed him.

FF and other suspects are standing trial at the Yogyakarta District Court since Monday. A group of residents supporting Ilham’s family held a rally at the court, demanding that FF receive a heavy punishment.

Acts of Klitih result mainly from competition among school gangs, which have existed for many years at almost every school in Yogyakarta. Violence among gangs is often connected to tensions between groups of different ethnic background or religious affiliation, but it may also be provoked by a defeat in a sports competition or simply be the result of a feud inherited from senior gang members.

Yogyakarta Police chief Brig. Gen. Ahmad Dofiri said the term klitih became popular in 2014, when a group of students committed violence in four cases in Sleman during one night. “They had no motive. They simply did it out of anger after being scolded by their parents,” he said recently during a discussion on klitih.

DW, who hopes to become a policeman, said he had been a victim of klitih himself. He was riding a motorcycle one day when members of a school gang called Morenza kicked him until he fell.

Yb. Cahya Widiyanto, the head of the Psychology Department at Sanata Dharma University, attributed the rising level of violence to Yogyakarta’s transition to an industrial province. During the last few years, the economy had been growing fast, leading to a culture of “consumerism.”

This situation had affected social relations, with parents putting pressure on their children to excel in education but failing to spare their time to educate them. “The children who fail [academically] will try to find their identity and existence. A student who is able to do “cruel” things to his peers would “gain recognition and respect that way.

Pranawa, the legal coordinator at the Yogyakarta Child Protection Agency, said legal cases involving youths were mostly about sexual abuse, theft and persecution. Problems in the family usually instigated them to commit crime.

Agung Supriyanto, head of the Agency for Nation Unity and Politics (Kesbangpol), said the problem of violence among youths might be caused by drug consumption, which was widespread in Yogyakarta.

Kecurangan Masih Warnai UNBK

The Jakarta Post, halaman 8

Kemajuan teknologi tidak dapat menghapuskan ketidakjujuran. Pemerintah mungkin telah mempelajarinya setelah sekian lama melakukan upaya untuk meningkatkan pelaksanaan ujian akhir bagi para siswa. Meski telah dilakukan secara desentralisasi dan daring, namun tetap saja masih ada dugaan kecurangan yang dilaporkan oleh siswa dan orang tua.

Salah seorang siswa SMA di Jakarta Timur memberitahukan orangtuanya kalau ia dan teman-teman sekelasnya telah ditawari kunci jawaban ujian sekolah berstandar nasional (USBN) oleh guru mereka dengan harga Rp 25.000 (US $ 1,87) untuk tiap mata pelajaran yang diujikan.

Para orangtua tentu terkejut mengetahui adanya dugaan praktik seperti itu di sekolah, terlebih lagi mereka sudah mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk les anak mereka guna menghadapi ujian tersebut.

Kasus semacam itu merupakah salah satu dari banyak praktik korupsi yang ditemukan Ombudsman di wilayah Jabodetabek selama pelaksanaan USBN tingkat SMA yang digelar 20-23 Maret. Pelaksanaan USBN yang ditujukan untuk menentukan kelulusan siswa di semua jenjang pendidikan itu baru pertama kali diadakan di Tanah Air dan pelaksanaannya dikelola oleh pemerintah daerah.

Naskah soal USBN tidak lagi dibuat oleh Kemendikbud, melainkan oleh para guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di tingkat kabupaten/kota.

Koordinator tim bidang Pendidikan Ombudsman, Rully  Amrullah, mengatakan, Ombudsman telah menemukan 33 kasus pelanggaran yang dilakukan oleh pengawas ujian. Sebanyak 34 persen dari kasus yang melibatkan pengawas ujian tersebut adalah menggunakan ponsel saat mengawasi ujian.

Ombudsman juga menemukan kasus dimana guru memperbolehkan siswa untuk menyontek dan meninggalkan ruangan ketika ujian berlangsung. Beberapa menit ketika ujian akan dimulai, ditemukan juga para guru yang membagikan kunci jawaban dan menjadi pengawas ujian untuk mata pelajaran yang mereka ajarkan di sekolah.

Ombudsman berpendapat bahwa masih adanya masalah dalam pelaksanaan ujian tersebut dikarenakan minimnya pengawasan dari Kemendikbud. Hal itu terjadi karena Kemendikbud telah memberikan wewenang penuh kepada pemerintah provinsi sebagai pengelola ujian.

Komisaris Ombudsman, Ahmad Suaedy, mengatakan, Kemendikbud seharusnya perlu melakukan pengawasan ketat terkait pelaksanaan ujian, bukan hanya menyerahkan begitu saja pengelolaannya kepada pemerintah provinsi.

Sementara itu, Inspektur jenderal Kemendikbud, Daryanto, mengatakan, Kemendikbud akan menggunakan temuan-temuan adanya dugaan kecurangan tersebut sebagai bahan evaluasi. Ia menegaskan, Kemendikbud telah memiliki standar operasional prosedur terkait penyelenggaraan ujian, namun ia mengakui bahwa pihaknya tidak bisa menghindari adanya praktik kecurangan selama pelaksanaan ujian.

Cheating still plagues computer-based exams

The Jakarta Post, page 8

Technology does not cure dishonesty. This is what the government may have learned after going the extra mile to improve the implementation of exams for final year students. Decentralized and conducted online, students and parents continue to report alleged cheating.

A senior high school student in East Jakarta told his parents that he and his classmates had been offered the answer keys for their standardized school exam by their teachers for Rp 25,000 (US$1.87) per school subject.

The parents were shocked to learn of such alleged practices at the school, especially when they had paid millions of rupiah for exam courses for their son.

It was one of many corrupt practices found by the Ombudsman in Greater Jakarta during the implementation of standardized tests for high schools on March 20 to 23. This is the country’s first year implementing standardized school exams managed by regional administrations to determine graduation of students at all education levels.

The content of the exams are no longer designed by the Culture and Education Ministry, but instead designed by teachers grouped under the Teacher Development Networks (MGMP) in regencies and municipalities.

Indonesian Ombudsman education team coordinator, Rully Amrullah said the Ombudsman had found 33 cases related to violations by invigilators, 34 percent of which involved cases of invigilators using cellphones while supervising the exams.

The Ombudsman also found cases of teachers allowing students to cheat and leave the classroom while taking the exams. It also found there were teachers who had allegedly distributed answer keys just minutes before the exams commenced and supervised exams that covered the same subject they taught at school.

The Ombudsman suggested that the exams had been plagued by problems partly due to minimal supervision by the Culture and Education Ministry, which had given full authority to provincial administrations to manage the exams.

Ombudsman commissioner Ahmad Suaedy said there should be tighter supervision of the exams, instead of just handing over the implementation to provinces.

Meanwhile, The ministry’s inspector general, Daryanto, said the ministry would use the findings to evaluate the implementation of the exams. Daryanto claimed the ministry had created the standard operating procedures for the exams, but acknowledged it could not prevent any corrupt practices from happening during the implementation.

Listrik Padam UNBK Ditunda 2 Jam

Media Indonesia, halaman 22

Akibat listrik padam, pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2017 di SMK Annuqayah dan SMK Alhidayah Bragung, Kecamatan Guluk-guluk, Sumenep, Jatim, dihentikan sementara. Listrik padam selama 2 jam dari pukul 11.40 WIB dan baru menyala pukul 13.40. Akibatnya, sesi kedua UNBK di dua sekolah itu dihentikan sementara.

Penanggung Jawab UNBK SMK Annuqayah, Riyadi  mengatakan tidak mungkin melanjutkan ujian dengan kondisi jaringan internet yang tidak normal. Karena itu, ujian di tunda hingga listrik kembali normal.

Manajer PLN Rayon Sumenep Slamet membenarkan terjadi pemadaman di daerah Kecamatan Guluk-guluk akibat gangguan trafo karena faktor cuaca. Kejadian yang sama pernah terjadi di hari pertama UNBK pada Senin (3/4) di beberapa sekolah di Kabupaten Banyumas. Para siswa terpaksa menunggu listrik menyala sehingga UNBK baru rampung pada sore hari.

Asisten Bidang Pencegahan Ombudsman RI Sumbar Adel Wahidi kemarin mengatakan, akibat gangguan pada server, UNBK tertunda 20 menit. Ia mengatakan gangguan akibat server menjadi salah satu temuan Ombudsman saat melakukan pengawasan pelaksanaan UNBK pada tiga SMK di Padang.

UNBK postponed for 2 hours due to Power Outage

Media Indonesia, page 22

Due to a power outage, implementation of the Computer-Based National Exam (UNBK) 2017 at SMK Annuqayah and SMK Alhidayah Bragung, Guluk-Guluk Sub-district, Sumenep, East Java, was delayed. The two-hour delay was due to the power going off at 11:40 and not coming back on until 13.40. As a result, the second session of UNBK at these schools was delayed.

The person responsible for overseeing the UNBK at SMK Annuqayah, Riyadi, said that it was impossible to continue the exam without the internet network and thus the exam was postponed until the power resumed working normally.

The Manager of PLN of Sumenep Region, Slamet, confirmed the outage in Guluk-guluk Sub-district was due to an electrical transformer problem due to the weather. A similar incident happened on the first day of UNBK on Monday (3/4) at several schools in the Banyumas Regency. On this occasion, the students were unwilling to wait for the power to return and thus completed the UNBK in the evening.

The Assistant of Prevention Division of Ombudsman RI of West Sumatra, Adel Wahidi, said that UNBK was postponed for 20 minutes because of a server problem. He said that the server problem was one of the findings while the Ombudsman was supervising the implementation of UNBK at three SMK in Padang.

Masih Diwarnai 383 Pengaduan

Suara Pembaruan, halaman 16

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2017 hari pertama mata pelajaran bahasa Indonesia, untuk sekolah menengah kejuruan (SMK) berjalan aman. Hal ini disampaikan Irjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kembidkbud) Daryanto berdasarkan laporan dari sejumlah titik pelaksanaan UN SMK di Tanah Air. Meski begitu, Daryanto tidak menutupi jika UN hari pertama ini juga masih diwarnai penagduan dari berbagai daerah. Bahkan Posko Kemdikbud menerima pengaduan sejak H-1 UN. Tercatat hingga Senin (3/4) ada 383 penagduan.

Daryanto mengatakan UN SMK hari pertama ini berdasarkan hasil sidak di empat SMK di daerah DKI Jakarta tidak ada yang aneh. Namun Kemendikbud tetap menerima masukan saran dan pengaduan dari berbagai daerah.

Daryanto menyebutkan, dari laporan yang diterima, timnya langsung bergerak menyelesaikan masalah, yakni menyelesaikan masalah seperti infrastruktur sekolah (148), infrastruktur pusat (4), sumber daya manusia (40), aplikasi (40), standar operasional prosedur (SOP), lain-lain (33), dan belum ada keterangan (52) sehingga totalnya ada 383 pengaduan.

Masih adanya pengaduan, kata Daryanto karena jumlah sekolah dan siswa yang mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) meningkat pesat. Tercatat dari 1.327.246 siswa SMK yang mengikuti UN, 88,6% atau 1.176.391 siswa mengikuti UNBK. Bahkan ada enam provinsi yang 100% menjalankan UNBK yakni, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kalimantan Selatan (Kalsel, Jawa TImur (Jatim), dan Sulawesi Selatan (Sulsel). Sementara yang menjalankan UN Pensil Kertas (UNPK) ada 150.855 siswa.

Still Tainted with 383 Complaints

Suara Pembaruan, page 16

The implementation of the first day of the 2017 National Examination (UN) with the subject of Bahasa Indonesia went smoothly for the vocational high schools (SMK). This was conveyed by the Inspector General of the Ministry of Education and Culture (Kemdikbud), Daryanto based on reports from a number of implementation points of the UN SMK in the country.  Even so Daryanto also admits that this first day was still marked by complaints from various regions. The Kemdikbud command post even received complaints since Day 1 of the national exam (UN). It is recorded that until Monday (3/4) there were 383 complaints.

Daryanto said that on the first day of UN SMK nothing was abnormal based on unannounced inspection results in four vocational schools in the Jakarta area. However the Kemendikbud still accepted/ received feedback of suggestions and complaints from various regions.

Daryanto said that  of the reports received, his team immediately took actions to  resolve the problems namely  school infrastructure problems (148), central infrastructure (4), human resources (40), applications (40), standard operating procedures (SOP) and others (33), and with no description/information (52) so it totaled 383 complaints.

The reason for the presence of the complaints according to Daryanto is because the number of students and schools that participated in the Computer Based National Examinations (UNBK) had increased rapidly. It has been recorded that out of 1,327,246 SMK students taking the UN, 88.6% or 1,176,391 students are taking the UNBK. In fact there are six provinces with 100 percent participation in UNBK namely, Bangka Belitung, DKI-Jakarta, Yogyakarta (DIY), South Kalimantan (Kalsel), East Java (Jatim), and South Sulawesi (Sulsel). While for the Paper Pencil National Exam (UNPK) totaled 150,855 students.