The Jakarta Post, halaman 8
Tiga orang siswa berumur 17 tahun, anggota geng Grixer di sebuah SMA, saat itu tengah nongkrong di sebuah warung makan pinggir jalan di kawasan Bantul, Yogyakarta. Mereka tidak tampak seperti preman yang suka melakukan tindak kekerasan. Namun, mereka semua mengklaim sering melakukan tindak kekerasan terhadap sesama siswa lainnya.
DW, salah seorang dari mereka mengatakan, ia pernah berkelahi dengan siswa dari sekolah lain karena telah menyakiti temannya.
Akhir-akhir ini, Yogyakarta telah mengalami peningkatan dalam hal jumlah kasus kekerasan di kalangan siswa. Penduduk setempat menjuluki pelaku tindak kekerasan di kalangan remaja dengan klitih. Dari 2014 hingga Maret tahun ini, setidaknya telah ada enam siswa tewas dan puluhan luka-luka akibat tindakan kekerasan yang dilakukan klitih.
Korban terakhir adalah Ilham Bayu Fajar, seorang siswa berusia 16 tahun yang meninggal setelah ditikam dengan sabit, diduga dilakukan oleh sesama siswa lainnya yang bernama FF pada 12 Maret.
Kala itu, Ilham tengah mengendarai sepeda motor dengan saudaranya ketika ia bertemu seorang anggota geng bernama FF. Kemudian, FF dilaporkan marah karena mendapatkan kata-kata kasar dari Ilham, lalu ia membunuhnya. Akibat kejadian itu, FF dan tersangka lainnya sejak Senin diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sekelompok warga mendukung keluarga Ilham menggelar unjuk rasa di pengadilan dan menuntut FF menerima hukuman yang berat.
Sebagian besar tindak kekerasan Kilith berasal dari persaingan antar geng yang telah ada selama bertahun-tahun di hampir setiap sekolah di Yogyakarta. Tindak kekerasan antar geng tersebut sering dihubungkan dengan ketegangan antara kelompok dengan latar belakang etnis berbeda atau afiliasi keagamaan. Selain itu, terkadang dapat dipicu juga oleh kekalahan dalam kompetisi olahraga atau bahkan berasal dari perseteruan yang diwariskan para anggota geng senior.
Kapolda DIY Brigjend Pol. Ahmad Dofiri, mengatakan, istilah klitih menjadi populer pada 2014, ketika sekelompok siswa terlibat dalam empat kasus tindak kekerasan di Sleman dalam satu malam. Mereka tidak memiliki motif untuk melakukan tindak kekerasan itu, tapi hanya meluapkan kemarahan setelah dimarahi oleh orang tua mereka.
DW, yang bercita-cita menjadi seorang polisi tersebut mengatakan, ia sendiri adalah korban klitih. Suatu hari, ketika ia mengendarai sepeda motor, beberapa anggota geng sekolah yang berjuluk Morenza menendangnya hingga terjatuh dari motor.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yb. Cahya Widiyanto, mengatakan, meningkatnya tingkat kekerasan itu disebabkan adanya masa transisis Yogyakarta menjadi sebuah provinsi industri. Dalam kurun beberapa tahun terakhir ini, perekonomian telah tumbuh cepat dan menyebabkan adanya budaya “konsumerisme”
Situasi ini telah berpengaruh terhadap hubungan sosial, dimana para orang tua menekankan anak-anak mereka untuk unggul secara akademis, namun tidak meluangkan waktu untuk mendidik mereka. Anak yang gagal dalam akademis kemudian mencoba menemukan identitas dan eksistensi mereka. Anak yang mampu melakukan yang hal yang ditakuti kemudian mendapatkan pengakuan dan apresiasi dari teman-temannya.
Koordinator bidang hukum Komisi Perlindungan Anak Wilayah DI Yogyakarta, F. Pranawa, mengatakan, kasus hukum yang melibatkan kalangan muda kebanyakan seputar pelecehan seksual, pencurian dan penganiayaan. Masalah keluarga biasanya menjadi pemicu mereka untuk melakukan tindak kejahatan.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Agung Supriyanto, mengatakan, ada kemungkinan timbulnya masalah kekerasan yang terjadi di kalangan muda disebabkan pengaruh konsumsi narkoba yang tersebar luas di Yogyakarta.