Para Orang Tua Sibuk di Batam Kirimkan Anak Mereka ke Pesantren

The Jakarta Post, halaman 5

Banyak orang tua di Batam, Kepulauan Riau, mengirimkan anak-anaknya ke pondok pesantren setelah mereka lulus sekolah dasar (SD) karena tidak memiliki banyak waktu di rumah untuk merawat anak-anak mereka.

Tingginya minat masuk pesantren di kota industri yang jaraknya sangat dekat dengan Singapura tersebut, memaksa beberapa sekolah top di sana menutup pendaftaran lebih awal untuk tahun akedemik berikutnya karena sudah penuh.

Khairul Akbar, salah satu orang tua siswa, memutuskan untuk mengirimkan putrinya ke pondok pesantren modern Hidayatullah di Batu Aji, Batam, dengan biaya masuk sebesar Rp 15 juta dan SPP perbulannya sebesar Rp 1 juta. Khairul menjemput putrinya tersebut sebulan sekali untuk bisa berkumpul dengan keluarga di rumah. Ia mengatakan, pesantren menjadi alternatif di tengah padatnya jadwal dan terbatasnya waktu untuk merawat anaknya itu.

Ketua Forum Pondok Pesantren Batam, Zein Zaunuddin, mengatakan, tidak seperti rekan-rekan mereka di Jawa, para orang tua di Batam memilih untuk mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren agar dapat menjaga moral anak-anaknya. Hal ini, lanjutnya, berbeda dengan kebanyakan orang tua di Jawa yang mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren agar mereka dapat menguasai ilmu agama. Ia menambahkan, para lulusan pesantren di Batam masih bisa bersaing di tengah ketatnya persaingan untuk mendapatkan pekerjaan di kota tersebut.

Darul Falah yang terletak di Nongsa dan didirikan pada tahun 1995 merupakan pesantren yang pertama kali didirikan di Batam. Pada 2015, Batam memiliki 43 pesantren dan menampung sekitar 3.000 siswa.

Kepala Kemenag Batam, Zulkifli AKA. mengatakan, selain pesantren-pesantren yang terdaftar itu, ada juga beberapa pesantren yang tidak terdaftar yang mengajarkan pendidikan Islam secara tradisional.

 

Busy Batam parents send their teens to ‘pesantren’

The Jakarta Post, page 5

Having little time at home to look after their children, more parents in Batam, Riau Islands, are sending them to Islam boarding schools – or pesantren – after they finish their final year of elementary school.

The demand of pesantren is high in the industrial city, which is a stone’s throw away from Singapore, forcing some of its top schools to close admission early for the upcoming academic year because they are fully booked.

Parents Khairul Akbar decided to send his daughter to Hidayatullah modern pesantren in Batu Aji, Batam, with an admission fee of Rp 15 million (US$ 112.78) and monthly tuition fee of Rp 1 million. He picks her up once a month so she can gather with the whole family at home. He said amid his tight schedule and limited time to take care of her growing up, the pesantren has become an alternative.

Chairman of the Batam Pesantren Forum Zein Zaunuddin said, unlike their counterparts in Java, the parents of Batam choose to send their children to boarding schools because they are regarded as trusted moral guardians. He said that this is different from the parents in Java, who mostly send their children to pesantren because they want them to master religion. He added, Batam’s pesantren graduates could still compete in the city’s tight labor market.

The first pesantren in Batam, Darul Falah in Nongsa, was established in 1995. By 2015, the city was home to 43 pesantren, accommodating some 3,000 students.

Batam Religious Affairs Agency head Zulkifli AKA said, in addition to these registered institutions, there were also unregistered ones that provided Islamic education in traditional ways.

Para Korban Berusaha Akhiri Pernikahan Usia Anak

The Jakarta Post, halaman 3

Tidak adanya manfaat yang diperoleh dengan menjadi pengantin anak dan malah dapat menggiring para gadis muda kedalam jurang kemiskinan dan kesehatan yang buruk adalah gambaran posisi ketiga korban yang menikah dalam usia anak. Atas dasar itu, mereka menggugat Undang Undang (UU) Perkawinan Tahun 1974 sebagai upaya untuk mengakhiri praktik-praktik pernikahan dini yang masih marak terjadi.

Sebelumnya, pada 2015, Koalisi Indonesia untuk Mengakhiri Perkawinan Anak (Koalisi 18+) telah mengajukan permohonan untuk menaikkan batas usia minimum bagi anak perempuan untuk menikah, yaitu dari usia 16 menjadi usia 18 tahun. Namun, permohonan itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi  (MK) dengan dalih bahwa tidak ada jaminan dengan naiknya batas usia menikah menjadi 18 tahun tersebut akan dapat mengurangi tingkat perceraian atau dapat memecahkan masalah-masalah sosial dan kesehatan.

Kini, gugatan koalisi tersebut mewakili para penggugat yang juga korban, yaitu Endang Warsinah, 35 tahun, Maryanti, 30 tahun, dan Rasminah, 32 tahun. Mereka adalah mantan pengantin anak yang terpaksa menikah di usia muda akibat kemiskinan. Endang dan Maryanti menikah pada usia 14 tahun, sedangkan pernikahan pertama Rasminah terjadi ketika ia berusiaa 13 tahun.

Permohonan uji materi itu diajukan ke MK pada Kamis ini, bertepatan dengan Hari Kartini, yang diperingati setiap tanggal 21 April untuk menghormati perjuangan emansipasi wanita.

Pemohon secara spesifik menggugat Pasal 7 ayat 1 dalam undang-undang tersebut yang menetapkan bahwa batas usia minimum bagi perempuan untuk menikah adalah 16 tahun. Dalam gugatannya, mereka menuntut pengadilan untuk menaikkan batas usia menikah bagi perempuan menjadi 19 tahun, yang saat ini menjadi batas usia minimum untuk laki-laki.

Mereka berpendapat bahwa frasa “16 tahun” dalam pasal tersebut melanggar Pasal 27 ayat 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dian Kartika, kuasa hukum Koalisi 18+, mengatakan, frasa tersebut diskriminatif terhadap hak-hak perempuan dalam memperoleh pendidikan dan kesehatan serta dapat meningkatkan resiko adanya eksploitasi anak.

Para korban menggugat UU tersebut karena mereka merasa menderita telah menjadi pengantin dalam usia anak dan tidak ingin anak-anak mereka atau generasi bangsa ini mengalami penderitaan yang sama. Ketiga korban tersebut akan berbagi pengalaman mereka dalam dengar pendapat di pengadilan yang jadwal persidangannya belum ditentukan.

Mereka termasuk di antara 700 juta wanita di dunia yang telah mengalami pernikahan usia anak, sebuah fenomena global yang masih menjadi masalah serius di Indonesia. Berdasarkan data UNICEF tahun 2015, tiap tahunya sebanyak 50.000 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum mereka menginjak usia 15 tahun. Sedangkan, sekitar 340.000 atau satu dari enam anak perempuan di Indonesia tiap tahunnya menikah sebelum mereka berumur 18 tahun.

Koordinator kampanye Koalisi 18+, Freynia, menyayangkan sikap pemerintah yang tidak memberikan dukungan yang signifikan dalam memberantas angka pernikahan usia anak, meskipun untuk kasus-kasus pelecehan seksual terhadap anak, pemerintah dapat bertindak dengan cepat.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Supriyadi Widodo Eddyono, menyampaikan harapannya bahwa MK akan meluluskan permohonan penggugat dan menaikkan batas usia minimum pernikahan. Karena, para penggugat itu adalah korban sehingga MK harus mendengarkan suara para wanita yang tidak ingin menikah dalam usia muda karena dipaksa oleh orang tua mereka itu.

Victims seek to end child marriage

The Jakarta Post, page 3

No benefit could come from becoming a child bride and it could rather send young girls into poverty and poor health. Such was the position of three child-marriage victims seeking to challenge the 1974 Marriage Law in a bid to end the rampant practice.

The Indonesian Coalition to End Child Marriage (Koalisi 18+) had previously filed a request to raise the minimum age for girls to marry from 16 to 18 in 2015. But it was rejected by the Constitutional Court on the grounds that there was no guarantee that if the age requirement was increased to 18 it would reduce divorce rates or solve health and social problems.

Now the coalition is representing the plaintiffs; Endang Warsinah, 35, Maryanti, 30, and Rasminah, 32, former child brides who were forced to marry at a young age as a result of poverty. Endang and Maryanti married at the age of 14, while Rasminah’s first marriage was at the age of 13.

The judicial review request was filed with the Court on Thursday, to mark Kartini Day, which is observed every April 21 to honor women’s emancipation.

The petitioners specifically challenge Article 7 paragraph 1 of the law, which sets the minimum age of marriage for women at 16, they have demanded the court raise the age requirement to 19, which is the minimum age of marriage for men.

They argue that the phrase “16 years old” in the article violates Article 27 paragraph 1 of the 1945 Constitution, which stipulates all citizens have equal status before the law. The phrase discriminated against girls’ rights to health and education and increased the risk of child exploitation, Dian Kartika, a lawyer for Koalisi 18+, said.

The survivors are challenging the article because they claim they suffered from being child brides and do not want their children and the nation’s future generations to experience underage marriage. The three women would share their experiences with the Court in hearings that have not been scheduled yet.

They are among 700 million women in the world who have experienced child marriage, a global phenomenon that remains a serious problem in Indonesia, which sees 50,000 girls marry before the age of 15 every year, UNICEF data in 2015 revealed. One in six Indonesian girls, about 340,000, are married before their 18th birthday every year, according to UNICEF.

Koalisi 18+ campaign coordinator Freynia condemned the government for not providing significant support in eradicating child marriage despite its fast response to address cases of sexual violence against children.

Meanwhile, Institute for Criminal Justice Reform executive director Supriyadi Widodo Eddyono expressed his expectation that the court would rule in favor of the plaintiffs and raise the minimum age of marriage given that in the current petition as it was the survivors who were filing the request. He said, the Constitutional Court should hear the voice of these women who did not want to marry at a young age but they did anyway because they were forced to by their parents.

Tingkatkan SDM, Kemdikbud Kirimkan Guru SMK ke Prancis

Suara Pembaruan, halaman 16

Dalam rangka menindak lanjuti Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2016 tentang revitalisasi sekolah menengah kejuruan (SMK) untuk meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Nasional, Pendidikan T inggi dan Penelitian Prancis (MENSR) melakukan pelatihan kepada guru produktif SMK. Para guru dikirim belajar vokasi di Prancis selama dua bulan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, pelatihan ini bertujuan memberikan kesempatan bagi guru produktif SMK untuk meningkatkan kompetensi dengan menggali pengetahuan dan keterampilan dari sekolah dan industri di Prancis.

Muhadjir berharap para guru tidak hanya membawa pengalaman untuk diri sendiri saja tetapi juga membawa pengalaman belajar yang cocok dengan kondisi Indonesia, termasuk peruntukan kepentingan menyiapkan tenaga terampil yang diharapkan. Selain itu, dengan belajar di Prancis, para guru juga dapat memahami budaya serta nilai-nilai positif yang dianut dalam kerja dan pendidikan negara maju.

Dijelaskan Muhadjir, pengiriman guru ini merupakan hasil kerja sama dua negara. Kemdikbud menargetkan akan mengirim 100 orang yang terdiri dari guru dan widyaiswara pusat pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan (P4TK).

Mendatang, SMK akan didesain dengan komposisi 60%:40%. SMK akan ditingkatkan namun harus tetap memperhatikan kemampuan fiskal negara. Makan untuk mengoptimalkan SDM dalam menyediakan guru dan pendidikan SMK, pemerintah juga menggunakan sistem program pendidikan ganda. Dalam hal ini, guru mata pelajaran seperti IPA, IPS, dan lainnya diberikan kesempatan untuk dapat belajar mata pelajaran sistem pendidikan vokasi sesuai dengan minat dan bakat.

Kemdikbud Sending SMK Teachers to France to Upgrade Their Competence

Suara Pembaruan, page 16

In regard to Presidential Decree Number 9 Year 2016 concerning the revitalization of vocational high schools (SMK) to upgrade the quality and competitiveness of Indonesian human resources (SDM), the Ministry of Education and Culture (Kemdikbud) is cooperating with the French Ministry of National Education, Higher Education and Research (MENSR) in the implementation of training for productive SMK teachers. The teachers are sent to study the vocational subjects in France for two months.

The Minister of Education and Culture (Mendikbud), Muhadjir Effendy, said that this training was intended to give productive SMK teachers an opportunity to upgrade their competences. They will be able to explore knowledge and skill from the schools and industry in France.

Muhadjir believes that the teachers will not only gain experiences for themselves but also gain values suitable to the Indonesia situation. The purpose of the program is to raise the skill levels of the personnel. In addition, through studying in France, the teachers will also gain understanding the culture as well as the positive values of working and the educational field in the developed countries.

Muhadjir explained that this program is a result of bilateral cooperation and Kemdikbud is targeting the sending of 100 people consisting of teachers and widyaiswara of the Center of Development and Empowerment of Teachers and Education Personnel (P4TK).

In the future, SMK is going to be designed with a 60/40 theory/practical split. SMK should be concerned with the country fiscal capability, although SMK is going to be upgraded. Therefore, to optimize the human resources by providing teachers and SMK education, the government is also introducing multiple education programs. In this regard, teachers of non-vocational subjects such as natural science (IPA), social science (IPS), etc. will be provided with the chance to study the subject of vocational education based on their interests and talents.

 

1.750 Alokasi Beasiswa Afirmasi Diperebutkan

Republika, halaman 5

Ribuan siswa mengikuti seleksi nasional peserta Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) tahun 2017. Kegiatan ini secara serentak dilaksanakan di 6 lokasi di Provinsi Papua, 10 lokasi di Provinsi Papua Barat, dan 34 lokasi di daerah 3T, dengan jumlah peserta total sebanyak 4675 peserta, termasuk lulusan Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM) 2017.

Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, Intan Ahmad, menyatakan beasiswa ini memberikan kesempatan kepada anak Papua dan Daerah 3T lulusan SMA/SMK/sederajat yang berprestasi akademik untuk memperoleh pendidikan tinggi di PTN unggulan, dan menyiapkan sumber daya manusia anak-anak Papua dan Daerah 3T yang berkualitas untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional.

Intan Ahmad menerangkan program yang digagas sejak 2012 ini diluncurkan karena secara faktual masih terdapat putra-putri bangsa tidak memperoleh akses untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi. Mereka tidak mampu bersaing dengan siswa dari daerah lainnya melalui jalur SNMPTN-SBMPTN.

Mereka direkrut atas rekomendasi sekolah, berdasarkan pertimbangan prestasi akademik yang tercatat dalam buku laporan pendidikan siswa. Namun, sebagian besar penerima beasiswa tidak mampu beradaptasi dengan kondisi pembelajaran di perguruan tinggi negeri. Alhasil, mereka mengalami kegagalan atau prestasi akademiknya sangat buruk.

Pada tahun 2017 ini program ADik-3T sudah mencakup 50 Kab/Kota daerah 3T. Rekruitmen peserta ADEM ke perguruan tinggi negeri diputuskan harus melalui seleksi ujian tulis yang dilaksanakan di 10 lokasi tes. Kuota yang tersedia sebanyak 1.750 kursi, untuk program ADEM 400 kursi, ADik 3T 750 kursi, dan ADik PAPUA 600 kursi.

 

Siswa yang dapat mengikuti program ADik Papua dan 3T harus berasal dari sekolah yang direkomendasikan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, serta mendapatkan rekomendasi dari kepala sekolah dan pemda kabupaten/Kota. Mereka bisa melanjutkan pendidikan ke 48 PTN dan 22 politeknik di seluruh Indonesia.

1,750 Affirmation Scholarship Allocations Vied For

Republika, page 5

Thousands of students take part in the national selection of Higher Education Affirmation Scholarship (ADIK) 2017 participants. This activity is simultaneously conducted in 6 locations in Papua Province, 10 locations in West Papua Province, and 34 locations in 3T areas, with a total of 4,675 participants, including the 2017 Secondary Education Affirmation (ADEM) graduates.

Director General of Learning and Student Affairs Kemenristekdikti, Intan Ahmad, said this scholarship provides opportunities for children of Papua and 3T Regions; graduates of SMA/SMK/equivalents who are academic achievers to obtain higher education in top state universities (PTN), and prepare the human resources of quality Papua and 3T Region children to contribute to national development.

Intan Ahmad explained the program initiated since 2012 was launched because in fact there are still sons and daughters of the nation who do not have access to continue their education to higher education level. They are unable to compete with students from other regions through the SNMPTN-SBMPTN paths.

They are recruited on the recommendation of schools, based on considerations of academic achievement recorded in the student education report book. However, most scholarship recipients are unable to adapt to the learning conditions in state universities. As a result, they experience failure or very poor academic achievement.

In this year 2017 the ADik-3T program already includes 50 Regencies/Cities of 3T regions. The recruitment of ADEM participants to state universities is decided to be through a selection of written examinations conducted at 10 test sites. The available quota of 1,750 seats, for the ADEM program 400 seats, ADIK 3T 750 seats, ADIK PAPUA 600 seats.

Students who can follow the Papua and 3T ADik program must come from schools recommended by the Regency/City Education Agency, and obtain recommendations from the school principal and regency/ city regional administrations (pemda). They can continue their education to 48 state universities (PTN) and 22 polytechnics throughout Indonesia.

Hasil UN Tetap Syarat Utama Ikut SNMPTN

www.kompas.com

Ketua Panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) Ravik Karsidi mengatakan bahwaUjian Nasional (UN) tetap menjadi syarat penerimaan mahasiswa baru. SNMPTN adalah Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan menggunakan nilai rapor, namun Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret ini menegaskan penggunaan nilai UN diserahkan kepada masing-masing rektor PTN.

Ravik mengatakan, sejauh mana, penggunaan nilai UN tersebut sangat tergantung pada rektor masing-masing. Tidak bisa disamakan antara perguruan tinggi satu dengan yang lain.

Seperti diberitakan, tahun ini jadwal Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dimulai 15 Maret sampai 15 April 2017. Pengumuman hasil seleksinya dilaksanakan pada 26 April 2017 nanti. Ketua SNMPTN dan SBMPTN 2017 Ravik Karsidi mengatakan, pelaksanaan SNMPTN memiliki syarat sekolah berdasarkan akreditasi. Untuk sekolah akreditasi A, siswa yang dapat mengikuti SNMPTN merupakan 50 persen terbaik di sekolahnya.

UN Results Still Main Requirement for SNMPTN

www.kompas.com

Committee Chairman of the State Higher Education Entrance National Selection (SNMPTN) and the State Higher Education Entrance Joint Selection (SBMPTN) Ravik Karsidi said that the National Examination (UN) remains a requirement for admissions of new students. SNMPTN is the State Higher Education (PTN) Entrance National Selection using report card grades, but this Rector of State University Sebelas Maret confirmed the use of UN scores is up to the respective PTN rectors.

Ravik said the extent to which, the use of the UN scores is highly dependent on the respective rectors.   It cannot be equated between one higher education institution to another.

As reported, this year’s State Higher Education Entrance National Selection (SNMPTN) began March 15 to April 15, 2017. Announcement of the selection results will be conducted next April 26, 2017.  Chairman of SNMPTN and SBMPTN 2017 Ravik Karsidi said the implementation of SNMPTN has a school requirement based on accreditation. For accreditation A schools, students who can follow SNMPTN are the best 50 percent in their school.

Link: http://edukasi.kompas.com/read/2017/04/11/15143011/hasil.un.tetap.syarat.utama.ikut.snmptn