The Jakarta Post, halaman 14
Sekolah menengah kejuruan (SMK) membutuhkan lebih banyak praktik ketimbang teori, karena para lulusannya mengalami kesulitan untuk memenuhi tuntutan pasar kerja akibat terbatasnya kemampuan mereka.
Seorang siswi jurusan jaringan IT, Sri Sulasih, mengatakan, di sekolahnya, yaitu SMK Tunas Teknogi, Bekasi, Jawa Barat, ia masih lebih banyak menerima pelajaran teori ketimbang praktik. Siswi berusia 18 tahun itu mengatakan, ia lebih banyak belajar teori di ruang kelas, yaitu selama 17 jam per minggu, dibanding belajar praktik di workshop yang hanya 8 jam per minggunya.
Hal serupa juga dialami siswa di SMK Teknik 10 Nopember, Jakarta Timur. Mereka harus menerima kenyataan belajar praktik dengan peralatan yang sudah ketinggalan zaman. Taryoto, ketua bidang kurikulum di SMK tersebut mengatakan, sekolah kadang-kadang menerima dana dari pemerintah, namun tidak pernah digunakan untuk membeli peralatan baru dari sejak berdirinya sekolah itu pada 2007. Karena, lanjutnya, ada hal lebih penting yang harus didahulukan dalam penggunaan dana tersebut.
Para Investor lokal dan asing sering mengeluh karena susahnya mendapatkan tenaga terlatih dengan kualifikasi mumpuni di bidang industri manufaktur, meskipun dari sisi jumlah sudah cukup untuk memenuhi permintaan.
Data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menunjukkan bahwa sektor manufaktur tiap tahunnya membutuhkan 600.000 tenaga kerja baru, dimana jumlah itu sesuai dengan angka lulusan yang juga mencapai 600.000 tiap tahunnya.
Untuk mengatasi masalah kesenjangan dalam keterampilan kerja, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah meminta untuk melakukan perombakan sistem pendidikan kejuruan, terutama dalam hal keterampilan kerja di bidang industri manufaktur. Sektor-sektor yang saat ini tengah menjadi fokus pemerintah antara lain garmen, animasi, pemrosesan makanan dan minuman, otomotif dan pengolahan bahan kimia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dari 2017 hingga 2019 akan diadakan pelatihan keterampilan kerja di bidang manufaktur yang menghubungkan para lulusan SMK dengan dunia industri, disamping memberikan lebih banyak waktu untuk melakukan praktik di worskshop-workshop.
Pada Desember lalu, pemerintah juga meluncurkan Program Magang Nasional yang bertujuan untuk membantu dunia industri dalam menyerap dan melatih siswa SMK.
Namun demikian, perbaikan sistem tersebut terkendala oleh terbatasnya anggaran. Saat ini, menurut data Kemendikbud, ada 6.000 SMK yang memfokuskan untuk peningkatan kemampuan di bidang manufaktur, dengan jumlah siswa sebanyak 1,8 juta.
Direktur pengembangan SMK Kemendikbud, Mustaghfirin Amin, mengatakan, masing-masing sekolah tersebut membutuhkan anggaran hingga Rp 40 miliar untuk tiap enam tahun guna memperbarui peralatan praktik mereka. Hal ini berarti dibutuhkan pengeluaran sebesar Rp 40 triliun jika SMK-SMK itu digabungkan.
Namun, lanjut Mustaghfirin, pemerintah hanya mengalokasikan dana sebesar Rp 1 triliun dalam anggaran Kemendikbud dan dana tambahan sebesar Rp 1,9 triliun dalam dana alokasi khusus (DAK) untuk membiayai 13.600 SMK di seluruh Tanah Air.