The Jakarta Post, halaman 4
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendesak pemerintah untuk segera menerapkan peraturan-peraturan yang ada di dalam Undang-undang (UU) Anti-Diskriminasi untuk diadopsi kedalam UU Pemilu di tengah sentimen suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) yang berkepanjangan menyusul Pilkada DKI Jakarta yang menyebabkan terpolarisasinya masyarakat.
Peneliti bidang politik LIPI, Irine Hiraswari Gayatri, dalam sebuah diskusi pada hari Rabu (3/4) mengatakan, eksploitasi sentimen SARA selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), seorang keturunan Tionghoa pemeluk agama Kristen, tidak bisa dianggap remeh.
Masalah tersebut, ungkap Irine, telah menimbulkan kerugian bagi negara, sebab tidak hanya berpengaruh terhadap pemilih di Jakarta, tetapi juga masyarakat di daerah lain, termasuk anak-anak. Karena, ucapan-ucapan diskriminatif terhadap gubernur itu tersebar luas melalui media sosial, spanduk dan masjid di beberapa kota.
Irine memberikan sebuah contoh ujaran kebencian yang dilakukan seorang anak sekolah dasar (SD) di Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang dituangkan dalam sebuah pantun yang isinya mengatakan bahwa umat Islam seharusnya tidak memilih Ahok.
Terlepas apa pun hasilnya, imbuhnya, Pilkada DKI Jakarta berpengaruh kurang baik terhadap masyarakat, karena mengajarkan bahwa keberagaman itu buruk. Rasa persatuan semakin luntur saat orang-orang terpengaruh untuk mempercayai bahwa seorang pemimpin harus beragama Islam, meskipun hal tersebut dalam kontek untuk memilih seorang gubernur, bukan seorang imam shalat.
Pada Selasa kemarin, Yayasan Cahaya Guru, sebuah lembaga swasta yang fokus di bidang pelatihan guru, menyampaikan, Pilkada DKI Jakarta telah memengaruhi siswa di beberapa daerah. Hal itu terlihat ketika diadakannya pemilihan ketua OSIS (organisasi siswa intra sekolah).
Mengutip laporan resmi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan(Kemdikbud), Ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo, mengatakan, sejumlah siswa di beberapa sekolah di Singkawang, Kalimantan Barat, dan Salatiga, Jawa Tengah, mengatakan bahwa mereka tidak ingin memiliki ketua OSIS yang non-Muslim.
Irine menambahkan, eksploitasi SARA tersebut dapat terus berlanjut pada Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019, terutama di wilayah-wilayah mayoritas Muslim seperti Jawa Barat, jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat. Untuk itu, lanjut Irine, pemerintah perlu segara mengadopsi peraturan-peraturan yang ada di dalam UU No. 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi dan Ras ke dalam UU Pilkada dan Pemilu.