Ideologi Radikal Mulai Berkembang di Kampus

The Jakarta Post, halaman 1

Berkembangnya dukungan terhadap ideologi radikal, termasuk mereka yang menyerukan pembentukan kekhalifahan Islam trans-nasional, di beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan persatuan dan pluralisme di Tanah Air.

Kekhawatiran tersebut terlihat jelas pada Kamis (4/5) saat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengumpulkan puluhan wakil rektor bidang kemahasiswaan baik dari perguruan tinggi negeri maupun swasta se-Jabodetabek.

Dalam pertemuan itu, Wiranto mengatakan kepada para akademisi bahwa Indonesia tengah menghadapi ancaman non-konvensional baru terhadap keamanan nasional, yaitu bangkitnya ideologi-ideologi radikal yang mengancam ideologi negara Pancasila. Ideologi ini, katanya, juga tengah berkembang di kampus-kampus.

Wiranto mengatakan, Pancasila adalah falsafah hidup bangsa Indonesia, dan ketika orang mulai membandingkannya dengan falsafah hidup lainnya, maka hal ini sudah dianggap sebagai sebuah peringatan. Sudah ada gejala-gejala untuk mengganti ideologi negara. Setiap ideologi yang menentang Pancasila, baik itu disebut sayap kanan, sayap kiri, ataupun ideologi ekstremis, tidak diperbolehkan untuk disebarkan di kampus-kampus.

Pertemuan tersebut digelar ditengah meningkatnya persepsi bahwa Islam radikal mulai mendapatkan tempat di seluruh Tanah Air. Hal itu dikaitkan dengan kelompok berbasis agama yang dulunya dianggap ormas pinggiran, namun kini menjelma menjadi ormas yang lebih keras dan bahkan memainkan peranan penting dalam Pilkada DKI Jakarta yang digelar baru-baru ini.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Yusron Razak mengakui bahwa ada sekelompok mahasiswa di universitas tersebut yang menunjukan ketertarikannya pada gagasan kekhalifahan atau pemerintahan Islam. Fenomena ini, lanjutnya, tidak hanya terjadi di universitas Islam, tetapi juga di universitas-universitas negeri dan swasta lainnya.

Baru-baru ini, sebuah video yang menampilkan ribuan mahasiswa IPB di kampus Darmaga tengah mengucap sumpah setia untuk pembentukan negera Islam di Indonesia telah menjadi viral. Video tersebut dikatakan sebagai bagian dari Simposium Nasional dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang diselenggarkan oleh Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) pada 2016. Namun pihak IPB telah mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak turut hadir dalam acara tersebut.

Fenomena tersebut telah menempatkan pihak manajemen universitas berada dalam posisi sulit, karena mereka tidak dapat melarang begitu saja mahasiswa menunjukkan minat atau mendiskusikan ideologi-ideologi tertentu. Yusron menekankan bahwa meskipun beberapa mahasiswa menyatakan ketertarikannya dalam kekhalifahan, namun hal itu tidak berarti juga mereka akan terlibat kekerasan dalam menentang Pancasila. Yusron menambahkan, atas nama kekebasan intelektual, wacana dan diskusi mengenai ideologi apapun tidak boleh dilarang.

Senada dengan Yusron, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Achmad Sofyan Hanif mengatakan, pihak akademisi kampus tidak dapat melarang mahasiswa mereka yang menunjukan ketertarikannya terhadap ideologi kekhalifahan selama mereka tidak terlibat dalam tindak kekerasan.

Namun demikian, Wiranto mewacanakan kemungkinan untuk mengambil langkah-langkah drastis guna membendung naiknya gelombang ideologi radikal di kampus, meskipun dikatakan bahwa hal tersebut harus didiskusikan  terlebih dahulu dengan pimpinan univeritas.

Radical ideologies thrive on campuses

The Jakarta Post, page 1

The growing support for radical ideologies, including those calling for the establishment of a transnational Muslim caliphate, at Indonesian universities has raised alarm over the future of the country’s unity and pluralism.

Such concern was evident on Thursday when Coordinating Political, Legal and Security Affairs Minister Wiranto gathered dozens of vice rectors of student affairs from state and private universities in Greater Jakarta.

During the gathering, the minister told the members of academia that Indonesia was facing a new nonconventional threat to national security: the rise of radical ideologies that threaten the state ideology of Pancasila. These ideologies, he said, were also thriving on campuses.

Wiranto said Pancasila is our nation’s way of life, and when people begin comparing it to other philosophies, this already serves as a warning. There’s already an early attempt to obstruct out state ideology. He also added that any ideology that opposes Pancasila, may it be called right-wing, left-wing, or an extremist ideology, cannot be disseminated on university campuses.

The gathering came amid growing perception that Islamic radicalism is gaining ground across the country, with religious groups once considered as fringe now becoming more assertive and even playing a prominent role in the recent Jakarta election.

State Islamic University (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta vice rector of student affairs Yusron Razak acknowledged there were groups of students at the university that showed interest in the idea of caliphate or Muslim rule. He said this phenomenon did not only occur at Islamic university, but also at other state and private universities.

Recently, a video showing thousands of students at IPB Darmaga Campus pledging allegiance to the establishment of an Islamic state in Indonesia went viral. The video is said to be part of the National Symposium of Campus Propagation Institute (LDK) held by LDK Coordinator Agent (BLDK) in 2016. IPB officials said they had not attended the event.

The phenomena have put university administrations in a difficult position as they cannot ban students for simply showing interest in or discussing certain ideologies. Yusron stressed that even though some students expressed interest in creating a caliphate it did not mean they would engage in violence against Pancasila. He explained that in the name of intellectual freedom, discourses and discussions on any ideology should be allowed.

Similarly, Jakarta State University (UNJ) vice rector of students affairs Achmad Sofyan Hanif said the academics in universities could not ban their students for showing interest in caliphate ideology as long as they did not commit violence.

Wiranto, however, raised the possibility of taking drastic measures to stem the tide of radical ideologies on campuses, but said they would have to be discussed with university leaders first.

Kemendikbud-Kemenko Maritim Kerja Sama Terapkan Kurikulum Kemaritiman

www.antaranews.com

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman menjalin kerja sama dalam pengembangan dan penerapan kurikulum muatan kemaritiman. Penandatanganan kerja sama dua institusi itu dilakukan oleh Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan dan Mendikbud Muhadjir Effendy di Jakarta, Kamis (4/5).

Muhadjir mengatakan, sudah seharusnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengarusutamakan isu kemaritiman ke dalam kurikulum. Tentunya tidak harus menjadi mata pelajaran, namun dapat disisipkan di hampir semua mata pelajaran dan kegiatan di sekolah. Dalam kesempatan yang sama, Luhut mengapresiasi Kemendikbud yang mendukung isu kemaritiman. Salah satu yang ditekankannya adalah mengenai penanganan sampah plastik yang mengancam laut Indonesia.

Ada pun pokok kerja sama meliputi pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum pendidikan muatan kemaritiman yang dilaksanakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai wadah dan/atau sarana mengembangkan perubahan pengetahuan, wawasan, nilai, kepedulian, sikap dan perilaku yang mendukung pembangunan kemaritiman.

Sosialisasi melalui kampanye dan pemberian penghargaan kepada individu dan lembaga pendidikan yang menerapkan kurikulum bermuatan kemaritiman juga menjadi pokok kerja sama antara Kemendikbud dan Kemenko Kemaritiman. Selain itu, peningkatan kapasitas pemangku kepentingan di bidang pendidikan dilakukan untuk menjaga komitmen dan partisipasi dari semua pihak.

Kemendikbud-Kemenko Maritim Cooperate in Applying a Maritime Curriculum

www.antaranews.com

The Ministry of Education and Culture (Kemendikbud) and the Coordinating Ministry of Maritime have established cooperation for the development and application of maritime load curriculum. The MoU between these two institutions was signed by Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan and Mendikbud Muhadjir Effendy in Jakarta, on Thursday (4/5).

Muhadjir said that the Ministry of Education and Culture should mainstream the maritime issue to the curriculum. This should not be a subject by itself, but could be inserted in almost all subjects and activities at schools. On the same occasion, Luhut expressed appreciation that Kemendikbud supported the maritime issue. The issue highlighted was in regard to the management of plastic waste that threatens Indonesia waters.

The basis for cooperation consists of the development, implementation, and evaluation of maritime load education curriculum in all lines, levels, and educational types as a place and/or a facility to develop the change of knowledge, insight, value, concern, attitude and behavior in support of the maritime development.

Socialization through a campaign and award to a person and an educational institution applying maritime load curriculum has also become a basis for the cooperation between Kemendikbud and Kemenko Kemaritiman. In addition, upgrading the capacity of stakeholders in the field of education is being implemented to maintain the commitment and participation of all parties.

Link: http://www.antaranews.com/berita/627472/kemendikbud-kemenko-maritim-kerja-sama-terapkan-kurikulum-kemaritiman

Guru Honorer Masih Terabaikan

Koran Sindo, halaman 2

Berdasarkan penelitian USAID melalui program Prioritas tentangs supply and demand guru baru di sekolah dasar diketahui jika Indonesia masih kekurangan guru kelas PNS (pegawai negeri sipil) sebanyak 282.224. kekurangan itu diisi dengan guru non-PNS termasuk para honorer.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rasyidi menilai pemerintah belum menunjukkan niat baik untuk memperbaiki kesejahteraan honorer. Upah guru honorer masih jauh dari layak, bahkan tidak ada standar upah minimum untuk melindungi kepentingan mereka. Upah mereka masih bergantung pada kebijakan sekolah masing-masing. Para guru honorer itu dibutuhkan tapi tidak diperhatikan.

Untuk itu, lanjut Unifah, PGRI sudah menawarkan dialog untuk menyelesaikan persoalan ini. Namun, hal ini belum ditanggapi baik oleh pemerintah. Jika hal itu tidak diselesaikan, Unifah khawatir kualitas pendidikan Indonesia akan terganggu.

Sementara itu, Ketua Forum Honorer Kategori Dua (K2) Indonesia, Titi Purwaningsih, mengatakan, upah guru honorer tergantung kebijakan kepala daerah dan kapasitas fiskal tiap daerah. Masih sedikit daerah yang memberikan upah yang layak kepada guru honorer.

Terkait hal itu, Deputi Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara (LAN) Muhammad Taufiq mengatakan, persoalan tenaga honore harus dituntaskan. Pengabdian tenaga honorer harus dihargai tanpa merusak sistem merit yang sedang dibangun. Hak dan kewajiban guru honorer harus berjalan beriringan. Ketika mereka memenuhi kualifikasi maka harus juga diberikan kesejahteraan yang baik.

Honorary Teachers still not Receiving Attention

Koran Sindo, page 2

According to USAID research through the Prioritas program regarding supply and demand of new teachers in elementary schools, Indonesia is still short of some 282,224 PNS (civil servant) classroom teachers. This shortage has been filled by non-PNS teachers including honorary teachers.

In the view of the Head of Indonesian Teachers Union (PGRI), Unifah Rasyidi, the Government seems to have no serious concern in regard to upgrading the honorary teachers’ welfare. The honorary teachers’ salaries are still very low, plus there is no minimum standard salary to protect their interests. Their salaries still depend on the respective school’s policies. In short, honorary teachers are needed but they do not receive any attention.

In this regard, Unifah said that PGRI had offered dialogue to resolve the problem. However, the government has not responded in a proper manner. If this is left unresolved, Unifah worries about interruptions to the quality of education in Indonesia

Meanwhile, the Head of Two Category Honorary Forum (K2) Indonesia, Titi Purwaningsih, said that the salaries of honorary teachers depended on the the policies of the regional heads and the fiscal capacity of each region. There are still a few regions providing a worthy salary to honorary teachers.

Relating to this, the Deputy of Policy Review of National Institute of Administration (LAN), Muhammad Taufiq, said that the matter regarding honorary personnel should be resolved. Their dedication should receive appreciation without interrupting the merit system that has been established. The rights and duty of honorary teachers should run in tandem. When they met the required qualifications, they should receive good welfare.

Tangkal Radikalisme Pelajar OSIS Ikuti KKP

Media Indonesia, halaman 22

Kekhawatiran pada ancaman kebinekaan dan pengaruh radikalisme serta intoleransi di lembaga pendidikan, khususnya lingkungan sekolah, mesti dibarengi dengan rangkaian kegiatan yang mampu menumbuhkan penguatan karakter para pelajar. Terkait itu, Direktur Pembinaan SMA Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar kegiatan Kawah Kepemimpinan Pelajar (KKP) yang diikuti 272 peserta dari pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) di 34 povinsi yang berlangsung 1 hingga 6 Mei di Bogor, Jawa Barat.

Direktur Pembinaan SMA Kemendikbud, Purwadi, mengatakan kegiatan KKP ini merupakan salah satu program dalam gerakan penguatan pendidikan karakter anak bangsa. Kegiatan yang diikuti pelajar terpilih dari pengurus OSIS ini diharapkan memupuk keberagaman dan kebinekaan, serta menangkal pengaruh radikalisme dan intoleransi yang mempengaruhi pelajar Indonesia.

Menurut Purwadi, melalui metode yang dirancang sedemikian rupa, KKP menjadi sebuah wadah harapan dalam rangka mempersiapkan generasi berkarakter tangguh yang akan menjadi wajah Indonesia pada masa mendatang. KKP yang diikuti para calon pemimpin masa depan ini diharapkan juga mampu mencetak pribadi-pribadi unggul, penuh percaya diri, terampil, dan menghargai kebinekaan yang telah terjalin.

Sementara itu, Kasubdit Peserta Didik Direktorat Pembinaan SMA Kemendikbud Suharlan menambahkan, para peserta KKP merupakan pengurus OSIS di sekolah dan merupakan wakil terbaik dari provinsi masing-masing. Ada 8 siswa dan 2 guru pendamping dari tiap provinsi. Adapun materi KKP yang disampaikan yakni mengaplikasikan sikap kerja sama, menguatkan nasionalisme, jujur, peduli, berpikir positif dan kritis, serta menumbuhkan sikap hormat dan saling menghargai dalam keberagaman.

To Ward Off Radicalism OSIS Students Follow KKP

Media Indonesia, page 22

Concerns over diversity threats and the influence of radicalism as well as intolerance in educational institutions specifically the school environments must be accompanied by a series of activities that can foster the strengthening of students’ character. Related to that, Director of High School Development, Directorate General of Primary and Secondary Education of the Ministry of Education and Culture held a Student Leadership Crater (platform) (KKP) event followed by 272 participants from the board of Intra-School Student Organizations (OSIS) in 34 provinces held from 1 to 6 May in Bogor, West Java.

Director of SMA Development, of Kemendikbud, Purwadi, said that the KKP activity is one of the programs in the movement of strengthening character education of the nation’s children.  The activity followed by selected students from OSIS management is expected to foster multiplicity and diversity, as well as counteract the influence of radicalism and intolerance affecting Indonesian students.

According to Purwadi, through a method which is designed in such a way, KKP becomes   a platform of hope in order to prepare a generation of strong character that will reflect Indonesia in the future. The KKP attended by aspirant future leaders, is expected to be able to generate individuals that are excellent, confident, skilled and respectful of the diversity that has been established.

Meanwhile, Head of Subdirectorate of Learners, Directorate of SMA Development of Kemendikbud, Suharlan added that the KKP participants are members of OSIS in schools and are the best representatives of the respective provinces. There are 8 students and accompanied by 2 teachers from each province. The KKP material presented is applying cooperative attitude, strengthening nationalism, honesty, caring, positive and critical thinking, as well as growing deference and mutual respect in diversity.

Layanan Pendidikan di Daerah Belum Capai Standar Nasional

www.kompas.id

Layanan pendidikan di daerah-daerah masih jauh dari standar nasional. Karena itu, komitmen pada peningkatan layanan pendidikan berkualitas yang memenuhi standar nasional harus dipastikan yang dimulai dari terpenuhinya standar pelayanan minimal.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemdikbud, Thamrin Kasman mengatakan, dalam layanan pendidikan ada dua acuan, yakni standar pelayanan minimal dan standar pendidikan nasional. Harapannya tentu delapan standar nasional yang dicapai, tapi daerah-daerah umumnya baru di level tiga dari level enam yang mesti dicapai. Hal itu disampaikan Thamrin dalam acara Kongkow Pendidikan Diskusi dan Tukar Pendapat alias Kopi Darat yang digelar ACDP Indonesia di Jakarta, Rabu (4/5). Tema kali ini adalah “Standar Pelayanan Minimal Pendidikan: Bukan Sekadar Pemenuhan Sarana dan Prasarana”.

Menurut Thamrin, daerah jangan puas dengan standar minimal. Sebab, pendidikan merupakan investasi bangsa untuk semua warga negara. Pemerintah daerah harus punya komitmen kuat dalam menyediakan layanan pendidikan yang tinggi standarnya untuk membuat masyarakat mampu kompetitif.

Bob Sagala, Kepala Subdirektorat Perencanaan Wilayah Jawa-Bali, Ditjen Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, mengatakan, pemerintah daerah harus memastikan semua warga negara, termasuk dari keluarga miskin, terpenuhi kebutuhan dasarnya. Pendidikan termasuk salah satu kebutuhan dasar untuk hidup layak yang harus dipenuhi negara.

Education Services in the Regions Yet to Reach National Standards

www.kompas.id

The education services in the regions are still far from national standards. Therefore, a commitment to the improvement of quality education services that meet national standards must be ensured starting from the fulfillment of minimum service standards.

Secretary of the Directorate General of Primary and Secondary Education, Kemdikbud, Thamrin Kasman said that in education services there are two references, namely minimum service standards and national education standards. The expectation is of course the achievement of eight national standards, but generally in the regions they have only reached level three of level six that must be achieved. This was conveyed by Thamrin in the Education Discussion and Exchange of Opinions Gathering also known as Kopi Darat held by the ACDP Indonesia in Jakarta, Wednesday (4/5). The theme this time is “Education Minimum Service Standards: Not Just Fulfillment of Facilities and Infrastructure”.

According to Thamrin, the regions should not settle for minimum standards.  This is because education is the nation’s investment for all citizens. Local administrations should have a strong commitment to providing high standard of education services to make people competitive.

Bob Sagala, Head of Sub-Directorate of Java-Bali Regional Planning, Directorate General of Regional Development, Ministry of Home Affairs, said that the local administrations should ensure all citizens, including from poor families, to have their basic needs fulfilled.  Education is one of the basic needs for decent living that the state must fulfill.

Link: https://kompas.id/baca/dikbud/2017/05/03/layanan-pendidikan-di-daerah-belum-capai-standar-nasional/