Republika, halaman 5
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengatakan, kurikulum SMK belum sesuai dengan dunia industri. Direktur Jendral (Dirjen) Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kemenaker Bambang Satrio Lalono menjelaskan, tidak sedikit SMK dan SMEA. Sebab, sejumlah sekolah menengah itu memiliki kualifikasi berubah menjadi SMK.
Namun, dia mengatakan, perubahan itu tidak disesuaikan dengan kualifikasi guru pengajar SMK. Selain itu kurikulumnya masih lemah, sarpras (sarana prasarana) masih kurang mendukung.
Menurut dia, hal itu salah satu penyebab banyaknya lulusan SMK yang menganggur. Ia mengatakanm berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2016, sebanya 11,11 persen lulusan SMK menjadi pengangguran terbuka. Posisi kedua ditempati lulusan SMA sebanyak 8,73 persen.
Padahal kata dia, Kemenaker memiliki grand design peluang kebutuhan tenaga kerja. Masing-masing peluang tenaga kerja, lebih banyak dibandingkan lulusan SMK pada tahun 2016.
Menurut dia, pendidikan itu didirikan untuk memenuhi kebutuhan industri. Selama ini, kata dia, kurikulum SMK masih banyak mempelajari hal umum dibandingkan pendidikan vokasi. Ia mengatakan, sebanyak 25 persen kurikulum SMK hanya mempelajari pendidikan vokasi, semanata 30 persen hanya teori. Kondisi itu, kata dia, berbanding terbalik dengan negara Jerman yang memprioritaskan 70 persen kurikulum untuk pendidikan vokasi, sementara 30 persen hanya teori.
Ia mengatakan, salh satu fakta kurikulum SMK belum mampu menyiapkan lulusannya di dunia kerja, yakni adanya Balai Latihan Kerja (BLK). Ia menyebutkan, kurikulum BLK lebih fleksibel menyesuaikan kebutuhan industri. Sementara kurikulum SMK, tidak bisa cepat merespons kebutuhan industri karena memiliki regulasi yang panjang.