Pendidikan berkualitas belum dapat diakses secara merata oleh masyarakat tidak mampu. Peneliti SMERU Research Institute, Heni Kurniasih, mengatakan ada indikasi perbedaan kualitas pendidikan antara siswa miskin dan siswa kaya. Tingkat ekonomi berkorelasi positif dengan kemampuan terhadap akses pendidikan berkualitas.
Hal itu salah satunya tampak dari akreditasi sekolah dan hasil Ujian Nasional (UN). Kelompok masyarakat dengan pengeluaran perkapita lebih tinggi, lanjutnya, dari sisi ujian nasional cenderung hasilnya lebih tinggi, itu terjadi untuk SD, SMP, sampai SMA. Mereka mendapat akses pendidikan lebih baik. Dari data 1997-2000an, tidak ada banyak perubahan.
Menurut Heni, masih ada beberapa tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ia mengatakan standar pelayanan minimum pendidikan belum tercapai. Dalam prakteknya, masih banyak sekolah yang mengalami kekurangan buku-buku teks, keterbatasan laboratorium, guru yang tidak memenuhi kualifikasi, serta kurangnya guru mata pelajaran.
Sementara itu, pakar pendidikan Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto juga menyebutkan akses siswa miskin terhadap pendidikan berkualitas masih kurang. Peningkatan mutu sekolah harus menjadi prioritas agar kesenjangan kualitas antarsekolah semakin kecil. Bentuk-bentuk, seperti charter school, entrusted school dan bundled school dapat menjadi alternatif yang dipertimbangkan.
Totok menilai perlunya akuntabilitas dan transparansi kuota siswa tidak mampu dalam penerimaan siswa baru karena sangat rawan penyimpangannya. Bantuan pemerintah dalam bidang pendidikan lebih efektif meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kualitas guru perlu ditingkatkan untuk menunjang pembelajaran disamping pembenahan masalah distribusi guru di Indonesia yang belum merata.