Suara Pembaruan, halaman 17
Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Sumarna Surapranata mengatakan, menjaga toleransi merupakan tugas bersama semua pihak. Khusus untuk lingkungan pendidikan, hal itu telah diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20/2003 Pasal 12 Ayat 1a, tentang mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Dijelaskan Pranata, merujuk pada pasal tersebut, maka tidak bisa sekolah dengan siswa mayoritas salah satu agama memaksa siswa minoritas untuk berdoa sesuai dengan ajaran agama mayoritas. Jika itu terjadi, maka sekolah tersebut melanggar Undang-undang.
Pranata mengatakan mendapatkan pengajaran agama di sekolah merupakan hak dasar siswa. Sekolah harus menyediakan guru agama sesuai dengan agama yang dianut siswa. Jadi jika satu siswa di sekolah mayoritas, sekolah harus menyediakan guru agama sesuai dengan ajaran agama yang dianut siswa tersebut.
Pranata juga menambahkan, khusus sekolah umum, jika ada anak dari agama minoritas dengan jumlah hanya satu orang dan tidak ada guru yang disediakan, anak itu harus keluar dari kelas saat pelajaran agama berlangsung. Sekolah tidak boleh memaksa anak itu unutk mengikuti agama mayoritas.
Bagi guru yang tidak toleran dan tidak menjalankan Undang-undang Sisdiknas, Pranata mengatakan, pemerintah akan melakukan peringatan, teguran lisan, dan sanksi bahkan hingga dipecat. Pasalnya, sekolah merupakan wadah tepat untuk mengajar toleransi, keberagaman, dan Pancasila untuk menangkal masuknya paham radikalisme dan terorisme.
Ia menyebutkan, sebagai pihak yang menangani guru, konsep dasar toleransi telah dimasukkan atau disisipkan dalam modul-modul dalam konsep dasar program penguatan karakter (PPK). Selain itu pihaknya juga melakukan pendekatan hingga menurunkan tim jika ditemukan sikap intoleransi di sekolah.