The Jakarta post, halaman 3
Mahmud Zaeni, 38 tahun, mulai merokok saat masih usia remaja dan sekarang ia tengah berjuang untuk berhenti merokok. Ia sudah merokok sejak duduk di bangku SMA, dan telah berhasil berhenti merokok selama kurang lebih enam bulan, yaitu dari bulan Maret sampai Agustus tahun lalu. Namun, usahanya tersebut akhirnya gagal karena ia berada di lingkungan para perokok. Ia mengaku sulit untuk berhenti merokok bila lingkungan sekelilingnya tidak mendukung usahanya tersebut.
Mahmud, yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta itu adalah satu dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang mulai merokok sejak usia muda dan tidak dapat menghentikan kebiasaannya tersebut ketika mereka sudah menginjak usia dewasa.
Para aktivis anti-tembakau dan pejabat di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) merasa khawatir Indonesia tidak dapat menikmat manfaat bonus demografi karena banyaknya anak muda yang gagal dan tidak bisa menghentikan kebiasaan merokok mereka.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015 menunjukan bahwa sekitar 20 persen penduduk Indonesia dalam rentang usia 14 hingga 24 tahun adalah perokok. Jumlah terbesar usia perokok berada pada rentang usia 25 hingga 44 tahun, yaitu sebanyak 35 persen.
Dalam sebuah konferensi pers pada hari Jumat, dua hari sebelum Konferensi Tembakau Indonesia ke-4 di Jakarta, para aktivis anti-tembakau dan pejabat Kemenkes menyebut bahwa tingginya jumlah perokok muda tersebut dapat mengganggu pembangunan di Tanah Air.
Sumarjati Arjoso, Ketua Tobacco Control Support Center-IAKMI, mengatakan, secara khusus, tingginya jumlah perokok dalam usia produktif tersebut dapat menjadi rintangan bagi Indonesia untuk memperoleh manfaat bonus demografi yang diperkirakan akan terjadi pada 2035.
Ia menjelaskan, bonus demografis adalah ketika jumlah penduduk dengan usia produktif lebih tinggi dibanding penduduk dengan usia tidak produktif. Hal ini akan terjadi pada 2035. Akan tetapi, lanjutnya, jika jumlah perokok dalam usia produktif tersebut terus meningkat, kemudian mereka sakit dan menjadi tidak produktif, maka Indonesia dipastikan tidak akan menikmati manfaat bonus demografi tersebut.
Dedi Kuswenda, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kemenkes, mengatakan, meningkatnya jumlah perokok di usia produktif justru dapat menyebabkan bencana demografis. Hal ini, lanjutnya, diperparah dengan usia perokok yang semakin muda. Sementara, angka kematian bayi dan ibu di Indonesia juga masih tinggi.