Anak-Anak Korban Konflik Atasi Trauma Melalui Seni

The Jakarta Post, halaman 2

Irfan Ramli mengingat kejadian pada 1999, bagaimana pagi itu pukul 3.30 ia melarikan diri dari rumah bersama dua saudara perempuan dan ibunya, yang saat itu tengah mengandung 6 bulan. Ia masih berumur 10 tahun ketika konflik antara umat Islam dan Kristen melanda kampung halamannya di Ambon, Ibukota Provinsi Maluku. Dalam konflik itu ia menyaksikan kedua belah pihak saling membunuh.

Saat menjadi pembicara di Makassar Internasional Writers Festival 2017, Kamis (18/5), Irfan mengatakan, ia dan keluarganya kala itu selama berminggu-minggu hanya bisa menunggu. Mereka tidur sambil mengenakan jaket dan kaus kaki, serta sepatu yang ditaruh di samping tempat tidur, karena mereka harus siap untuk pergi kapan saja.

Dari atas bukit, Irfan waktu itu melihat rumahnya dan seluruh desa dikepung serta dibakar oleh umat Kristen. Ia tumbuh besar di lingkungan dan sekolah dengan keragaman suku dan agama, dan memiliki banyak teman beragama Kristen. Namun, ketika di lokasi penampungan, ia hanya memiliki teman sesama Muslim saja. Sebagai anak kecil, pengalaman tersebut menyisakan bekas luka yang mendalam.

Irfan merupakan penulis skenario sebuah film berjudul Cahaya dari Timur: Beta Maluku, yang meraih penghargaan film terbaik pada 2014. Film itu mengisahkan tentang anak-anak di lingkungan konflik Muslim dan Kristen di Ambon yang berlatih bersama dalam tim sepak bola meskipun orang tua mereka masih saling membenci satu sama lain. Dalam cerita itu dikisahkan, tim sepak bola tersebut berhasil memenangkan pertandingan hingga kejuaraan nasional, dan dua kubu yang dulu saling bermusuhan itu dapat bersama-sama merayakan kemenangan.

Irfan adalah satu dari tiga anak korban konflik masa lalu yang menjadi pembicara pada festival itu. Ia tampil dalam sebuah sesi narasi tentang konflik dan pemecahan masalahnya yang membahas bagaimana mereka mengalihkan perhatian mereka ke bidang seni guna menciptkan sebuah ruang bersama bagi para korban konflik untuk menjalin perdamaian dan sembuh dari trauma.

Dua pembicara lainnya adalah produser film Andi Burhamzah, yang mengalami peristiwa kerusuhan anti-Tionghoa di Makassar pada 1998, dan Erni Aladjai, seorang jurnalis dan novelis dari Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Selatan, dimana pada 1998 juga terjadi perselisihan antara dua penduduk untuk memperebutkan hak mendirikan kantor kecamatan.

Andi Burhamzah, produser film yang telah menghasilkan beberapa film pendek dan memenangi berbagai penghargaan itu mengatakan, ia kehilangan teman dan tetangganya yang keturunan Tionghoa ketika terjadi kerusuhan anti-Tionghoa di kota asalnya, Makassar. Ia kemudian mengetahui bahwa temannya itu telah pindah dan tinggal di Jakarta. Andi mengatakan, Kedua temannya itu sekarang terlibat dalam film yang mengisahkan tentang kerusuhan itu, dimana ceritanya berdasarkan pengalaman mereka sendiri dan seputar perkembangan anak-anak di daerah konflik.

Erni menggali tradisi lama Kepulauan Banggai Laut yang dikenal dengan Paupe, yaitu lagu atau puisi tentang perdamaian, dan membuat tempat berkumpul bagi anak-anak dari desa yang terlibat konflik untuk belajar seni bersama. Dia menyalahkan modernitas atas hilangnya ruang kebersamaan yang pernah menyatukan orang-orang dari berbagai pulau itu.

Ketiga pembicara itu berpendapat bahwa kebanyakan orang yang pernah menjadi korban konflik enggan untuk membicarakan pengalaman mengerikan yang mereka alami itu karena takut akan membuka luka lama. Namun demikian, mereka semua setuju bahwa kejadian tersebut harus didiskusikan agar dapat dihasilkan sebuah pemecahan masalah.

Children of Conflict Find Resolution through the arts

The Jakarta Post, page 2

Irfan Ramli recalls how he fled his home with two sister and mother, who was six month pregnant at the time, at 3:30 a.m. in 1999. He was 10 when his hometown Ambon, the capital of Maluku province, was embroiled in conflict that saw Muslims and Christians killing one another.

Irfan said at the Makassar International Writers Festival 2017 on Thursday that he and his family waited weeks for the moment. They slept with jackets and socks on, and shoes by the bed. They ready to leave anytime.

From the hill, Irfan saw his home and entire village coming under siege and burned down by Christians. He had grown up in a mixed neighborhood and school and had many Christian friends. But for next three years living in the shelters, he only had Muslims friends. The experience left him with a deep scar as a child.

Irfan was the screenwriter of the award-winning 2014 movie Cahaya Dari Timur: Beta Maluku about children from the Muslim and Christian quarters in Ambon training together on soccer team, even as their parents were still hating on another. In the story, the team went on to win the national championship that saw both to former warring camps celebrating together.

Irfan is one of three children of past conflicts to speak at the festival session on narrations about conflict and resolution discussing how they have turned to the arts to create a common space for people who had been locked in conflicts to come to terms and heal the trauma.

The other two speakers were movie producer Andi Burhamzah, who lived through the bloody anti-Chinese riot in Makassar in 1998, and Erni Aladjai, a journalist and novelist, who comes from Banggai Laut regency in South Sulawesi, an area that saw two villagers engaging in a fight over the right to host the subdistrict office, also in 1998.

Andi Burhamzah, who has produced several award-winning short movies, said he missed his Chinese-Indonesian buddy and neighbor when his hometown Makassar was embroiled with anti-Chinese riot. And later he learned that his friend had moved and settled in Jakarta. The two buddies are now working on movie related to the riot, presumably based on their own personal experience, as Andi said it would be about children growing up in conflict.

Erni delved into the Banggai Laut Isles old tradition known as Paupe, of reciting verses of peace, and organized a residency for children form the conflicting village to learn the art together. She blamed modernity for the loss of space that once had brought people from different islands together.

All three speakers found that most people who been in conflict were reluctant to talk about the horrible experience because of fears of opening old wounds. But they agree these should be discussed to bring about a resolution.

India Tawarkan beasiswa bagi Siswa NTB

www.republika.co.id

Pemerintah India menawarkan beasiswa pendidikan bagi siswa dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang ingin melanjutkan ke jenjang S1, S2 dan S3 di negara itu. Hal itu diungkapkan Konsulat Jenderal India di Bali, R.O Sunil Babu saat menemui Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi di ruang kerjanya di Mataram, Rabu (17/5).

Sunil Babu mengatakan, hubungan India dan Indonesia sangat dekat, hal itu diwujudkan dengan kerja sama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Selain itu, hubungan antar masyarakat kedua negara juga terjalin erat.

Dalam sektor pariwisata, lanjutnya, kunjungan masyarakat India yang berkunjung ke Indonesia dan juga sebaliknya mengalami peningkatan.  Selain bertemu dengan Gubernur NTB, Babu juga berkesempatan untuk mengunjungi Universitas Muhammadiyah Mataram.

Sementara itu, Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi mengapresiasi kunjungan Konjen India tersebut, termasuk penyediaan program beasiswa pendidikan dari Pemerintah India.

Gubernur mengatakan, pendidikan merupakan aspek yang mendasar dalam pembangunan bangsa, termasuk di NTB. Karena itu, Pemprov NTB saat ini terus mendorong sektor pendidikan, dengan mengembangkan berbagai inovasi untuk mempercepat progres atau kemajuan pendidikan.

Sementara itu, Gubernur Majdi menghargai kunjungan Konsul Jenderal India dan program beasiswa pendidikan yang diberikan oleh Pemerintah India. Gubernur juga mengaku kagum pada kemajuan pendidikan di India dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembangan dengan sangat cepat.

Indonesia dan India, tambahnya, telah memiliki hubungan erat sejak sebelum kemerdekaan. Bahkan, masyarakat Indonesia dan India dalam beberapa hal memiliki banyak kesamaan.

India offers scholarship for West Nusa Tenggara students

www.republika.co.id

The Government of India has offered educational scholarships for students from West Nusa Tenggara Province for undergraduate, master and doctoral degrees in the country. It was expressed by Consul General of India in Bali, R.O Sunil Babu, said when meeting with West Nusa Tenggara’s Governor TGH Muhammad Zainul Majdi here, Wednesday (17/5).

He noted that the relationship between India and Indonesia was very close, and it was embodied in the field of educational and cultural cooperation, as well as people to people contact.

In the tourism sector the number of tourists visiting Indonesia from India and vice versa has continued to increase, he added.  In addition to meeting the Governor, Babu also visited Muhammadiyah University of Mataram.

Meanwhile, Governor Majdi appreciated the visit of the Consul General of India and the educational scholarship program provided by the Government of India.

Education is a fundamental aspect of national development, the Governor noted. The governor admired the advancements made in education by India, which has made rapid developments in science and technology.

According to him, Indonesia and India share a close relationship since before Indonesia’s independence. Even the people of Indonesia and India in some ways have many similarities, he added.

link: http://en.republika.co.id/berita/en/national-politics/17/05/18/oq4jft414-india-offers-scholarship-for-west-nusa-tenggara-students

Nawacita Dorong Anak Tak Sekolah Kembali ke Satuan Pendidikan

www.republika.co.id

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari, saat menjadi pembicara kunci Seminar Nasional Nawacita dan Gerakan Revolusi Mental: Implementasi dan Kebijakan Pembangunan Bidang Pendidikan di Unversitas Muhammadiyah Sukabumi, Sukabumi, Kamis (18/5), mengatakan, Nawacita, Trisakti dan Revolusi Mental yang ditetapkan pemerintahan Jokowi-JK sangat membutuhkan dukungan dalam bentuk program riil di masing-masing kementerian. Hajriyanto mengapresiasi kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy sebagai upaya terbaik menerjemahkan visi tersebut.

Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, R Alpha Amirrachman mengungkapkan, Mendikbud Muhadjir Effendy berupaya menjalankan visi-misi pembangunan pendidikan yang ditetapkan pemerintahan Jokowi-JK, yang fokusnya pada tiga hal yaitu Program Indonesia Pintar, penguatan pendidikan karakter dan revitalisasi SMK.

Menurut dia, Program Indonesia Pintar (PIP) merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk memenuhi keadilan sosial ekonomi kepada masyarakat dengan pembangunan pendidikan. Secara nasional, kata Alpha, ada sekitar 2,9 juta anak yang sudah didata berdasarkan nama dan alamatnya. Anak usia sekolah Tidak Sekolah (ATS) yang terdaftar di Dapodikmas sebagai peserta pendidikan kesetaraan baru 485.829 ribu orang, dan peserta didik kursus 60 ribu orang.

Di tempat yang sama, Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono menyatakan, identitas dan karakter bangsa Indonesia sudah final, yaitu Pancasila. Pada implementasinya, kata dia, kelima sila Pancasila itu harus dilaksanakan secara seimbang.

Nawacita Supports Return of Out-of-School Children to School

www.republika.co.id

The Head of Central Leader of Muhammadiyah, Hajriyanto Y Thohari, as main speaker of Nawacita National Seminar and Mental Revolution Movement: Implementation and Policy of Educational Field Development in Muhammadiyah University Sukabumi, on Thursday (18/5), said that Nawacita, Trisakti and Mental Revolution as stipulated by Jokowi-JK government are in need of support in the form of real programs in each respective ministry. Hajriyanto appreciates the policy of the Ministry of Education and Culture (Mendikbud) Muhadjir Effendy as the best effort to implement such a vision.

Special Staff of the Minister of Education and Culture RI, R Alpha Amirrachman, revealed that Mendikbud Muhadjir Effendy struggled to implement the vision-mission of educational development as stipulated by Jokowi-JK government focusing on three points: Smart Indonesia Program, strengthening character education, and SMK revitalization.

He viewed Smart Indonesia Program (PIP) as a government’s commitment to provide economic and social justice for community through the development of education. Alpha said that nationally, the names and addresses of some 2.9 million children had been input. The school age Children Out-of-School (ATS) who are registered in Dapodikmas as participants of equivalency education had reached 485,829 people, and 60,000 people were taking course learners.

On the same occasion, the President Special Staff, Diaz Hendropriyono stated that the Indonesian identity and character was final: Pancasila. He said that all of Pancasila principles should be implemented equally.

link: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/17/05/18/oq5o0n372-nawacita-dorong-anak-tak-sekolah-kembali-ke-satuan-pendidikan

     

 

Dosen PTN Baru Tuntut Jadi PNS

Suara Pembaruan, halaman 16

Ketua Ikatan Lintas Pegawai  Perguruan Tinggi Negeri Baru (PTNB) Fadillah Sabri mengatakan, hingga kini nasib 5.252 dosen dan tenaga kependidikan di 35 PTNB di seluruh Indonesia masih belum jelas. Oleh sebab itu, tak kurang dari 1.000 dosen dan tenaga kependidikan yang tergabung dalam PTNB akan mengadakan aksi penyempaian aspirasi di depan istana negara.

Fadillah mengatakan, dalam asprirasi itu, PTNB akan menyampaikan tiga tuntutan yang ingin disampaikan kepada pemerintah. Pertama mendesak pemerintah menyelesaikan masalah peralihan status pegawai di 53 PTNB dengan diangkat langsung menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Kedua, mendesak pemerintah mencabut Permenristekdikti No.38 tahun 2016 yang menyebutkan bahwa pegawai PTNB dapat diangkat melalui Pengadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Dan ketiga, mendesak pemerintah mengevaluasi penegerian PTNB jika masalah SDM tidak dapat diselesaikan.

Menyikapi tuntutan tersebut, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) M Nasir mengatakan, tidak ada aturan yang melandasi pemerintah untuk mengangkat para dosen dan pegawai pada PTNB untuk menjadi PNS.  Selain itu, sebelumnya tidak ada masalah ketika mereka ditawari menjadi P3K. Namun demikinan, pihaknya memberi ruang bagi pihak yang ingin menyampaikan aspirasi mereka.

New State University Lecturers Demand Civil Servant Employee Status

Suara Pembaruan, page 16

Chairman of the Association of Cross Employees of New State Universities (PTNB), Fadillah Sabri said that to date the fate of 5,252 lecturers and educational personnel in 35 PTNB throughout Indonesia is still unclear. Therefore, no less than 1,000 lecturers and educational staff joined in PTNB will hold acts of conveying aspirations in front of the state palace.

Fadillah said that in the aspiration, PTNB will submit three demands to be conveyed to the government. First urging the government to resolve the employment issue of lecturers in 53 state universities by directly appointing (them) as civil servant employees (PNS).

Secondly, to urge the government to revoke the Permenristekdikti No.38 of 2016 stating that the PTNB employees can be appointed through the Procurement of Government Employees with Work Agreement (P3K). And thirdly, to urge the government to evaluate PTNB entries if the human resource issues cannot be resolved.

Responding to these demands, the Minister of Research, Technology and Higher Education (Kemenristekdikti), M Nasir said, there is no rule underlying the government to appoint the lecturers and employees at PTNB to become civil servant employees. In addition, previously there was no problem when they were offered to be Government Employees with Work Agreement (P3K).  However, he provides space for parties who wish to express their aspirations.

Riset Harus Ditopang Regulasi

Media Indonesia, halaman 24

Hasil riset tidak bisa berhenti hanya sebatas publikasi, tetapi harus dapat menghasilkan inovasi dan diupayakan sampai pada tahap hilirisasi dan komersialisasi. Karena, penguatan riset merupakan kebangkitan dari industri dalam negeri. Untuk itu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) saat ini tengah mengupayakan penguatan riset dengan menambah dana.

Menristek Dikti M Nasir mengatakan, selain anggaran, pemerintah perlu membuat kebijakan-kebijakan yang mendorong tumbuhnya riset-riset baru termasuk cara mengakomodasi hasil produk dari riset yang telah dikembangkan menjadi inovasi. Kebijakan, lanjutnya, sangat penting karena inovasi yang dihasilkan tanpa ada kebijakan sangat sulit, khususnya dengan menggandeng Kementerian Perindustrian.

Sementara itu, Rektor Universitas Tarumanagara (Untar) Agustinus Purna Irawan mengatakan target jangka panjang dari Untar ialah dapat menjadi salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) papan atas di Indonesia. Untuk mewujudkan itu, Untar berupaya meningkatkan kapasitas dosen dan penguatan riset. PT, sambungnya, harus berupaya memperkuat link dengan industri agar riset yang dihasilkan dapat dikomersialisasi.

Di tempat terpisah, pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai salah satu sebab rendahnya budaya riset di PT ialah kegagalan pendidikan dasar yang belum mampu menumbuhkan minat serta kemampuan membaca dan menulis. Padahal, hal itu merupakan dasar untuk menciptakan hasil riset yang berkualitas. Ia pun menekankan jangan sampai perguruan tinggi sekadar mengejar kuantitas guna memenuhi kuota, tetapi harus berdasarkan pada penguasaan pengetahuan yang objektif dan meritokratis agar memperoleh mahasiswa berkualitas.

Research Must Be Regulated

Media Indonesia, page 24

The results of research cannot only end in publication, but must be able to produce innovation and pursued all the way until downstream and commercialization stage. Because, strengthening of research is a revival of the domestic industries. Therefore the Ministry of Research, Technology and Higher Education (Kemenristek Dikti) is currently working on strengthening research by adding funds.

Menristek Dikti, M Nasir said that  in addition to the budget, the government needs to make policies that encourage the growth of new researches including how to accommodate the results of products from research that have been developed into innovations.  He added that policy is very important because the innovations generated without any policy is very difficult, particularly by linking with the Ministry of Industry.

Meanwhile, Rector of Tarumanagara University (Untar), Agustinus Purna Irawan said that the long term target of Untar is to become one of the top private universities in Indonesia. To achieve that, Untar seeks to improve the lecturers’ capacity and strengthen research. He added that universities (PTs) should seek to strengthen links with industry so that the research results could be commercialized.

In a separate location, educational observer, Doni Koesoema considers that one of the reasons for the low research culture in the PTs is the failure of basic education that has not been able to foster interest and the ability to read and write. In fact, it is the basis for creating quality research results. He also emphasized that universities should not merely pursue quantity to meet the quota, but must be based on the mastery of objective and meritocratic knowledge in order to obtain qualified students.