The Jakarta Post, halaman 3
Koidah telah mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMA Negeri 1 Plumbon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, selama tujuh tahun. Namun, ia mengaku masih sulit menanamkan murid-muridnya untuk menerima pluralisme.
Koidah mengatakan, sebagian besar siswanya adalah Muslim; hanya sebanyak lima orang siswa non-Muslim yang terdaftar di kelas sembilan hingga kelas 11. Itulah sebabnya mengapa toleransi tidak dipraktekkan dengan baik di sekolah itu karena mereka jarang melihat adanya perbedaan, seperti yang dialami masyarakat dengan latar belakang agama yang beragam.
Karena sangat membutuhkan pandangan intelektual yang berkualitas guna mendukung semangat mengajarnya, Koidah kini bergabung dalam program Sekolah guru Kebhinekaan (SGK) yang diselenggarakan oleh LSM Cahaya Guru Foundation.
Program SGK berlangsung hingga 10 Desember dan sebagian besar kegiatannya berisi serangakaian pelatihan tentang nilai-nilai tertinggi dari ajaran Pancasila, yaitu Pluralisme dan toleransi. Kegiatan program ini juga melibatkan dialog dengan tokoh kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Baha’I dan Sunda Wiwitan, serta kunjungan lapangan.
Pada 2016, dalam acara kunjungan lapangan yang sebagaian besar pesertanya adalah Muslim itu mengunjungi sebuah tenda yang digunakan sebagai gereja darurat di bilangan Parung, Jawa Barat. Karena, selama 27 tahun, para jemaat tidak bisa, atau belum bisa, mendapatkan izin untuk membangun gereja.
Tahun ini merupakan tahun kedua di adakannya program tersebut. Sebanyak 35 guru dari berbagai mata pelajaran sekolah yang berasal dari berbagai daerah, mulai dari Cirebon, Jabodetabek hingga Pandeglang, Banten, ikut berpartisipasi dalam program tersebut.
Namun, program tersebut pada tahun ini tidak bisa lebih relevan karena tingginya kekhawatiran akan meningkatnya ketegangan sektarian yang menggarisbawahi kurangnya pemahaman tentang Pancasila di kalangan masyarakat di Tanah Air. Hal itu diungkapkan Henny Supolo, activis senior dalam bidang pendidikan yang juga Ketua Yayasan Cahaya Guru.
Henny mengatakan, pihaknya mencoba untuk menghilangkan sekat-sekat prasangka, karena hal tersebut sangat berdampak buruk bagi masyarakat. Mereka percaya bahwa para guru adalah penyokong utama bagi gagasan ini, dan berharap melalui pelatihan ini akan memupuk pemahaman mereka tentang Pancasila.