Radikalisme Masuk Lembaga Pendidikan

Suara Pembaruan, halaman 2

Rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) untuk basmi dan mencegah paham radikalisme di lembaga pendidikan disambut positif berbagai kalangan. Untuk membentuk karakter generasi muda dan menjaga persatuan bangsa, nilai-nilai Pancasila harus ditanamkan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Perekrutan guru dan dosen harus lebih selektif lagi. Para pendidik yang terbukti menanamkan paham anti-Pancasila dan menebarkan kebencian terhadap agama, suku, atau ras lain harus diberi sanksi keras, yakni dipecat.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdiki) Mohammad Nasir mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan kampus untuk menambahkan mata kuliah baru tentang wawasan kebangsaan dan bela negara untuk menangkal paham radikalisme di dunia pendidikan. Ia mengatakan bahwa situasi saat ini telah mengalami pergesaran dalam memahami Pancasila dan UU UUD 1945, sehingga terjadi radiklasime dan di antaranya pada sektor pendidikan.

Untuk membendung berkembang pesatnya paham radiklasime, Nasir bersama para rektor perguruan tinggi terus mendeklarasikan empat pilar kebangsaan untuk perkokoh NKRI dan menegakkan UUD 1945 sebagai pedoman hidup berbangsa. Selain menambah mata kuliah baru Kemenristekdikiti juga melakukan deklarasi di setiap wilayah seperti ‘Deklarasi dari Semarang untuk Indonesia’ yang dilakukan oleh rektor bersama para mahasiswa. Dan hal ini sudah mulai dilakukan di Semarang, NTT, Bali, Aceh, dan kota-kota lainnya.

Dikatakan pula, sejak 2016, selain dalam mata kuliah, mata kuliah wawasan kebangsaan dan Pancasila juga akan dikembangkan melalui program General Education, yang berada di bawah Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemristekdikti. General Education merupakan program ekstrakulikuler yang fokus membina karakter dan mengembangkan pendidikan Pancasila dan wawasan kebangsaan.

Nasir menegasakan, pihaknya tidak akan membiarkan bila ada kegiatan belajar di kampus yang betentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Pimpinan kampus, mulai dari rektor, dekan, hingga dosen akan diberi sanksi tegas bila kegiatan itu tetap berlangsung. Selain itu, ia menegaskan, tidak boleh ada gerakan atau organisasi yang ideologinya tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 hidup di kampus. Pasalnya, gerakan-gerakan itu dapat mengikis rasa cinta Tanah Air serta memunculkan intoleransi yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Radicalism Enters Educational Institutions

Suara Pembaruan, page 2

The plan of the Ministry of Education and Culture (Kemendikbud) together with the Ministry of Research and Higher Education (Kemristekdikti) to exterminate and prevent extremism in educational institutions has received a positive response in various circles. To shape the young generation and maintain the nation’s unity, the values of Pancasila must be implanted right from elementary school through to university.

Recruitment of both teachers and lecturers needs to be more selective. Educational personnel who are proven to be planting anti-Pancasila views and spreading hatred based on religious belief, ethnicity or race should receive the ultimate sanction of being dismissed.

The Minister of Research, Technology, and Higher Education (Menristekdiki), Mohammad Nasir, said that his department was cooperating with campuses to add additional subjects in regard to the national vision and to safeguard our autonomy by keeping extremism out of our educational world. He said that the current situation has come about due to a shift in understanding Pancasila and UUD 1945, and thus extremism has occurred in several areas, including in the educational sector.

To prevent the development of extremism, Nasir together with the university rectors has continued to declare four national pillars to strengthen NKRI and enforce UUD 1945 as the life force to guide the nation. Besides adding the new subjects, Kemenristekdikiti is implementing declarations in each region, e.g. ‘Declaration from Semarang to Indonesia’ to be implemented by the rectors together with the students. This has already been implemented in Semarang, NTT, Bali, Aceh, as well as other cities.

Since 2016, besides the form of other subjects, the subject of national vision and Pancasila has been developed through the General Education program under Ditjen of Learning and Student Affairs (Belmawa) of Kemristekdikti. General Education is an extracurricular program that focuses on fostering character and developing Pancasila education and national vision.

Nasir stressed that his department would not remain silent should there be learning activity on campus that is contrary to the values of Pancasila and UUD 1945. The campus leaders, starting from rectors, deans, down to lecturers will be severely sanctioned should such activity be allowed to continue. In addition, he affirmed that movements or organizations having an ideology not in accordance with Pancasila and UUD 1945 were prohibited on campus. This is because such movements are capable of not only reducing the love of nation but also promoting intolerance that can threaten the life of the people and the nation.

 

 

Siswa Aceh Kembangkan Teknologi untuk ‘Memanen’ listrik dari Pohon Kedondong

The Jakarta Post, halaman 4

Sementara sebagian besar remaja beralih ke gadget atau video games sebagai hiburan, namun seorang siswa dari Aceh bernama Naufal Raziq, 15 tahun, berhasil mengubah kegemarannya terhadap sains menjadi sebuah teknologi yang menghasilkan energi listrik dari pohon kedondong.

Naufal adalah siswa kelas 3 MTs negeri yang telah berhasil memasok listrik ke beberapa rumah di kampung halamannya di Tampur Paloh, Aceh, melalui pembangkit listrik bertenaga pohon kedondong. Pohon kedondong banyak ditemukan di sekitar lingkungan rumahnya.

Pembangkit tersebut tidak menghasilkan energi listrik sebanyak mesin diesel, namun cukup untuk menyalakan dua lampu halogen ringan untuk setiap rumah. Naufal mendapat gagasan untuk menciptakan teknologinya itu setelah mendapat bantuan dari perusahaan minyak dan gas milik negara, Pertamina, yang membantu mengembangkan pembangkitnya yang sederhana menjadi laik teknologi.

Gagasan untuk teknologinya itu bermula setelah Naufal melihat cara kerja baterai. Untuk mendapatkan energi listrik, ia memasukkan sepotong seng dan tembaga ke dalam pohon kedondong. Dua logam tersebut berfungsi sebagai elektroda dalam baterai dan menciptakan reaksi kimia saat bersentuhan dengan zat asam yang ada di dalam pohon kedondong.

Naufal mengatakan, ia mendapat ide menjadikan pohon kedondong sebagai pembangkit listrik setelah mempelajari ilmu pengetahuan alam (IPA), dimana kentang yang mengandung zat asam dapat menghasilkan energi listrik. Ia kemudian mulai melakukan penelitian dengan mencoba beberapa pohon, diantaranya mangga, belimbing dan pohon asem. Dia menghabiskan tiga tahun bereksperimen dengan pohon-pohon itu sebelum akhirnya memutuskan untuk menggunakan pohon kedondong.

Pembangkit listrik yang dikembangkan Naufal tampaknya tidak efektif karena hanya bisa menyalakan bola lampu dengan voltase rendah. Namun, di masa yang akan datang, ia kemungkinan akan lebih jauh lagi mengembangkan teknologinya itu sehingga dapat menyalakan peralatan yang lebih besar.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengakui kreativitas dan inovasi Naufal tersebut, dan berjanji untuk menyediakan dana bagi ilmuwan muda tersebut untuk terus mengembangkan teknologinya. Hal itu diungkapkan juru bicara Kementerian ESDM, Hadi M. Djurait. Namun demikian, ia tidak memberitahukan berapa jumlah dana yang akan disediakan.

Pada Jumat lalu, didampingi oleh ayahnya, Supriaman, dan gurunya, Jamaliah, Naufal terbang ke Jakarta atas undangan Menteri ESDM Ignasius Jonan. Mereka mendiskusikan gagasan Naufal tersebut dan berjanji untuk mendukung pengembangan penelitian yang dilakukan Naufal.

 

Aceh student develops technology to ‘harvest’ electricity from mombin trees

The Jakarta Post, page 4

While most teenagers typically turn to gadgets or video games for amusement, Naufal Raziq, 15, from Aceh is turning his penchant for science into a technology to generate electricity from kedondong (mombin) trees.

A third-year Islamic junior high school student, Naufal has supplied electricity to several houses in his hometown of Tampur Paloh in Aceh through mombin-fueled electricity generators. Mombin trees are found in abundance in the city.

The generators do not produce as much power as diesel generators but they do generate enough electricity to power two low voltage Halogen light bulbs for every household. Naufal got his idea of creating the technology off the ground after he received assistance from state-owned oil and gas company PT Pertamina, which helped him developed the generator from a simple form into an applicable technology.

Naufal got the idea of the technology from how a battery works. To get electricity, he inserted a piece of zinc and copper inside a mombin tree. The two metals, which function as electrodes in a battery, create a chemical reaction when they come into contact with an acid substance inside the tree.

Naufal said he got the idea of harvesting electricity from a tree after learning in a natural sciences class that potatoes contained acid that could produce electricity. Then he began to do research, which included trying several trees including mango, star fruit and tamarind trees. He spent three years exercising with these trees before deciding to use mombin trees.

The electric generator developed by Naufal seems to be ineffective in that it can only power low voltage bulbs. But there is a chance he can further develop the technology to power bigger appliances in the future.

The Energy and Mineral Resources Ministry has recognized Naufal’s creativity and innovation and has promised to provide funding for the young scientist to further develop the technology, said ministry spokesman Hadi M. Djurait. But, He did not specify the total amount of funding that would be provided.

Accompanied by his father Supriaman and teacher Jamaliah, Naufal flew to Jakarta on Friday at the invitation of Energy and Mineral Resources Minister Ignasius Jonan. They discussed Naufal’s ideas, which resulted in the ministry pledging support for the teen’s research development.

Sertifikasi Guru SMK Diharapkan Dapat Tingkatkan Tenaga Kerja Terampil

The Jakarta Post, halaman 3

Sertifikasi Guru SMK Diharapkan Dapat Tingkatkan Tenaga Kerja Terampil

Martin Roy, 28, seorang guru SMK di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya saat mendaftar untuk mengikuti program pelatihan guru (PPG) yang diselenggarakan pemerintah. Ia berharap program tersebut dapat meningkatkan kemampuannya dan membantu karirnya ke depan.

PPG merupakan program yang dibiayai pemerintah dengan anggaran tahun ini mencapai Rp 1,87 triliun, dan sangat ditunggu-tunggu oleh guru. Sekitar 25.000 guru di seluruh Tanah Air akan bersaing untuk mendapatkan pelatihan program selama empat bulan yang akan diselenggarakan di kampus-kampus dan politeknik top mulai Juli ini.

Peserta yang berhasil akan mendapatkan sertifikat ganda untuk keahlian vokasi dan pendidik, sehingga akan mendapatkan keuntungan finansial lebih banyak. Tahun ini, PPG akan difokuskan untuk guru SMK, terutama bagi mereka yang mengajar mata pelajaran kepariwisataan, bisnis, industri kemaritiman dan permesinan.

Dirjen Kebudayaan dan Pendidikan Kementerian Pendidikan, Sumarna Surapranata, saat peluncuran PPG tahun ini, mengatakan, program ini bertujuan untuk membantu mengisi kekosongan 91.816 guru SMK. Pemerintah juga membutuhkan lebih banyak guru SMK yang bersertifikat, dimana para lulusan PPG tersebut akan disebar di 13.000 sekolah.

Namun, para pakar pendidikan meragukan jika program tersebut akan sesuai dengan yang diharapkan. Pakar pendidikan Doni Koesoema berpendapat bahwa permasalahan sebenarnya adalah rendahnya kualitas pendidikan kejuruan dan perlunya perbaikan standar pendidikan yang saat ini berbeda-beda. Sementara, lanjutnya, pemerintah sibuk membangun lebih banyak SMK dan merekrut guru baru.

Oleh karena itu, PPG hanya akan meningkatkan jumlah guru SMK, bukan meningkatkan kualitas SMK. Masalah lain adalah, ungkapnya, tidak semua guru SMK memiliki kesempatan untuk belajar di kampus-kampus top.

Tito Reanigio, seorang guru SMK berusia 24 tahun dari Sorong, Papua, merasa kecewa karena tidak berhasil mengikuti PPG lantaran latar belakang pendidikannya yang tidak memenuhi persyaratan. Ia menempuh pendidikan di sebuah universitas swasta di Jayapura untuk program sains dan teknologi dengan akreditasi-C. Sementara, PPG mensyaratkan agar calon peserta adalah lulusan dari program studi dengan akreditasi-B. Di Papua, ungkapnya, mereka tidak memiliki banyak pilihan karena tidak ada program studi teknik terakreditasi A atau B di sana.

Doni mengatakan, harus ada ujian masuk yang lebih adil untuk memeriksa kelayakan calon peserta. Karena, persyaratan tersebut diskriminatif terhadap lulusan sarjana seperti Tito. Ia meminta agar latar belakang pendidikan tidak menjadi syarat utama dalam seleksi peserta PPG.

 

Vocational teacher certification expected to improve workforce

The Jakarta Post, page 3

Martin Roy, 28, a vocational teacher from Serdang Bedagai, North Sumatra, could not hide his excitement while registering for the state-sponsored training program called PPG. He was hopeful the program would improve his skills and help him further his career.

Subsidized by the government, PPG is a hotly contested program, which will cost Rp 1.87 trillion this year. Roughly 25,000 vocational teachers from across the country are vying for seats in the four-month training program to be held at top colleges and polytechnics from July.

Successful participants will obtain dual certificates in their vocations and teaching and will be entitled to more financial benefits. This year, the PPG is focusing on vocational teachers, especially those teaching subjects in tourism, business, maritime industries and machinery.

The Culture and Education Ministry’s director general for teachers, Sumarna Surapranata, said at the launch of this year’s PPG that this program aims to help fill vacancies for 91,816 vocational teachers. Indonesia also needs more certified vocational teachers, and thus the forthcoming graduates will be deployed to 13,000 schools.

However, education experts doubt the program will bring the desired results. Education expert Doni Koesoema argued that while the government is busy building more vocational schools and recruiting new teachers, the actual problem lies with the poor quality of vocational education and that discrepancies in standards need immediate fixing.

Therefore, he said, it will only increase the number of teachers in vocational schools, not improving the quality. Another problem is that not all vocational teachers have the opportunity to study at bona fide universities.

Tito Reanigio, a 24 year-old vocational teacher from Sorong, Papua, was disappointed when he realized he could not join the PPG because his educational background did not meet the requirements. He studied a C-accredited science and technology program at a private university in Jayapura while the PPG requires that a candidate graduate from a B-accredited program. In Papua, they don’t have many choices because there are no A or B-accredited engineering study programs there, he said.

Doni asked there must be a fairer admission test to examine candidates’ eligibility. He believes the requirements discriminate against university graduates like Tito and that educational background should not be the main requirement in PPG candidate selection.

Kompetisi Dorong Metode Pengajaran Kreatif dan Menyenangkan

The Jakarta Post, halaman  4

Wiranto, seorang guru seni rupa, membuat penonton tertawa dan bersorak sorai saat ia mendemonstrasikan metode pengajarannya, termasuk menyanyi lagu rap.

Guru SMA Negeri 1 Wonosegoro di Boyolali, Jawa Tengah, tersebut adalah satu dari lima finalis dari ajang kompetisi Guru Unggul Inovatif tingkat SMA di Semarang, Jawa Tengah, yang berhasil terpilih dari total 122 peserta. Semua finalis mendemonstrasikan metode pengajaran inovatif mereka di atas panggung yang digelar di Gedung Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Semarang (UNNES), Kamis lalu (18/5).

Wiranto berhasil mencuri perhatian pengunjung yang hadir ketika ia mempresentasikan metode pengajarannya yang unik dan inovatif dengan mengenakan topi miring bertuliskan “Jordan” (nama pemain basket legendaris asal AS, Michael Jordan). Dengan diiringi dentuman musik dan disertai puluhan siswa SMA Negeri 5 yang berperan sebagai muridnya, ia memulai sesi pelajaran dengan bergaya sebagai penyanyi rap.

Cara ia berkomunikasi pun sangat santai dengan menggunakan campuran bahasa Jawa dan bahasa Inggris, sehingga tercipta suasana yang semarak di dalam kelas. Ketika dia menjelaskan berbagai genre seni rupa, dia menggunakan komputer dan menunjukkan beberapa lukisan kepada siswanya. Wiranto berhasil meraih posisi kedua di ajang kompetisi tingkat provinsi itu dengan penampilannya yang unik dan mudah diingat.

Peserta lainnya, Niansari Susapto Putri, seorang guru pendidikan seni budaya di SMA Negeri 1 Karangkobar, Banjarnegara, juga berhasil menarik perhatian pengunjung. Ia mengatakan, ia meminta murid-muridnya membuat kostum tari mereka sendiri dengan menggunakan sampah guna mendorong pelestarian lingkungan. Dalam pengumuman di akhir acara, Niansari berhasil menjadi pemenang pertama dalam ajang kompetisi itu.

Juara ketiga dari ajang kompetisi itu direbut oleh Bayu Wijanarko, seorang guru Biologi di SMA Science Plus Ponpes Baitul Qur’an Sragen, Jawa Tengah. Ia mempresentasikan metode pengajarannya secara interaktif tentang sistem kardiovaskular manusia.

Wardi, dosen UNNES yang juga salah satu juri dalam ajang kompetisi tersebut, mengatakan, cara mengajar yang inovatif sangat penting untuk memotivasi siswa. Kompetisi tahunan tersebut berfungsi sebagai ajang bagi guru untuk mempresentasikan metode pengajaran mereka yang inovatif.

 

Competition encourages fun, creative methods of teaching

The Jakarta Post, page 4

Wiranto, a fine arts teacher, drew cheers and laughter from the audience as he demonstrated his method of teaching, which included a rap.

The teacher from SMA Negeri 1 Wonosegoro state high school in Boyolali, Central Java, was one of five finalists selected from a total of 122 participants of the Innovative High School Teachers Competition in Semarang, Central Java. All the finalists demonstrated on stage their innovative teaching methods in an event held at the School of Culture and Literature at Semarang State University last Thursday.

Wearing a tilted cap that read “Jordan” (referring to legendary American basketball player Michael Jordan), Wiranto stole the show with his unique yet creative way of presenting a lesson. Accompanied by pounding music, as well as dozens of SMA Negeri 5 state high school students who were acting as his pupils, he presented a rap performance as a way to kick off a lesson.

The way he communicated was very casual, using a mix of Javanese and English, and creating a lively ambience in the classroom. When he explained various genres of fine art, he used a computer and showed his students several paintings. Wiranto won second place at the provincial-level competition with his unique and memorable presentation.

Another participant, Niansari Susapto Putri, a teacher of cultural performance art at SMA Negeri 1 Karangkobar state high school in Banjarnegara, also captured the audience’s attention. She said that she asked her students to make use of trash to create their own dance costumes to promote environmental conservation.  At the end of the event, Niansari was announced as the firstplace winner in the competition.

The third-place winner of the competition was Bayu Wijanarko, a biology teacher at SMA Science Plus Baitul Qur’an Boarding School in Sragen, Central Java. He demonstrated his lesson about the human cardiovascular system in an interactive way.

Wardi, a lecturer at the university who is also one of the judges of the competition, said that innovative ways of teaching were important to motivate students. The annual competition serves as a chance for teachers to demonstrate their innovative methods of teaching.

Kemendikbud Tunggu Laporan Pemetaan Sekolah

Republika, halaman 5

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebut pemerintah telah menginstruksikan pemetaan sekolah rawan tawuran pada setiap daerah. Saat ini, data tersebut sudah berada di masing-masing dinas pendidikan provinsi setiap daerah.

Mendikbud Muhadjir Effendy menyebutkan, berdasarkan hasil pemetaan, hampir semua provinsi memiliki sekolah rawan tawuran. Namun, ia menyabut, DKI Jakarta menjadi daerah paling darurat untuk ditangani. Mendikbud mengatakan, pembinaan intensif akan dilakukan pada siswa. Tujuannya, untuk memepelajari perilaku anak-anak yang terpola.

Mendikbud ingin mengetahui ihwal bagaimana selama ini siswa memanfaatkan jam luang, jam kosong, waktu setalah ujian sekolah dan lain-lain. Ia menambahka dari sini akan dipelajari waktu dan tepat mana yang anak punya potensi melakukukan mulai dari vandalism sampai perkelahian.

Sebelumnya, Kemendikbud berencana meetakan sekolah rawan tawuran di sejumlah daerah di Indonesia. Kemendikbud meyakini sekolah harus memiliki peta waktu-waktu kritis untuk anak-anak, yakni saat pulang sekolah sebelum pulang kerumah.

Kemendikbud Awaits School Mapping Report

Republika, page 5

Ministry of Education and Culture (Kemendikbud) said that the government has instructed the mapping of schools prone to brawls/fighting in each region. Currently, the data is already in the respective provincial education agencies.

Mendikbud, Muhadjir Effendy said that based on the mapping results, almost all provinces have brawl-prone schools. However, he stated that DKI Jakarta is the most urgent area to be handled. Mendikbud said that intensive coaching will be conducted on students. The goal is to study the pattern of students’ behavior.

Mendikbud wants to know how students utilize spare time, free hours, time after school exams and others. He added that from here a study would be made on when and where students could potentially start their misconduct; ranging from vandalism to fights.

Previously, Kemendikbud planned to map schools that are prone to brawls in a number of areas in Indonesia. Kemendikbud believes that schools should have critical-time maps for children, namely after school before arriving home.