Songsong Masa Keemasan Pendidikan Tinggi Islam

Media Indonesia, halaman 23

Sejarah periodisasi pendidikan tinggi Islam dibagi dalam tiga periode, yakni rintisan, perkembangan, dan keemasan. Periode rintisan diawali sejak pendidikan tinggi Islam berdiri pascakemerdekaan. Periode kebangkitan ditandai dengan kelahiran bentuk universitas yang bertransformasi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN).

Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Prof Dr Nizar  mengatakan sekarang sudah ada 17 Universitas Islam Negeri atau UIN yang tersebar di berbagai seluruh wilayah Indonesia. Ia menegaskan lima tahun ke depan pendidikan tinggi Islam diharapkan memasuki masa keemasan. Tidak mengherankan, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam sejak sekarang telah menyiapkan berbagai kebijakan untuk mewujudkan era tersebut.

Nizar menjelaskan sejumlah terobosan yang mendukung ke arah kemajuan perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN) telah dirilis. Contohnya, Program 5.000 Doktor yang telah di-launching Presiden Joko Widodo pada 2014. Program ini bertujuan meningkatkan kualifikasi dan kualitas sumber daya manusia.

Ada pula Program Publikasi Jurnal dan Penelitian Berbasis Output. Program ini diharapkan mampu mendulang jumlah publikasi yang dihasilkan para dosen PTKIN sekaligus menjadi kredit poin kenaikan jabatan akademik. Ujungnya, guru besar di PTKIN dapat dilahirkan dalam jumlah banyak. Pihaknya juga tengah menggenjot agar setiap universitas memiliki satu jurnal internasional. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembangkan publikasi jurnal ilmiah ialah dengan membangun portal akademik, moraref.or.id. Moraref merupakan portal akademik yang dibangun untuk mendorong dan membantu digitalisasi dan indeksasi jurnal ilmiah di lingkungan PTKIN. Moraref merupakan singkatan dari Ministry of Religious Affairs References.

Welcoming the Golden Age of Islamic Higher Education

Media Indonesia, page 23

The history of Islamic higher education is divided into three periods, namely pioneering, development, and golden period. The pioneer period began since Islamic higher education was established after the country’s independence. The period of resurrection is marked by the birth of the form of universities that are transformed from the State Islamic Institute (IAIN).

Director of Islamic Higher Education Directorate General of Islamic Education, Ministry of Religious Affairs Prof. Dr. Nizar said that currently there are 17 State Islamic Universities or UIN spread in various regions of Indonesia. He affirmed that in the next five years Islamic higher education is expected to enter the golden era. Not surprisingly, the Directorate of Islamic Higher Education has now set various policies to realize that era.

Nizar explained a number of breakthroughs that support the progress of state Islamic religious colleges (PTKIN) have been released. For example, the 5,000 Doctoral Program had been launched by President Joko Widodo in 2014. The program aims to improve the qualifications and quality of human resources.

There is also the Output Based Research and Journal Publication Program. This program is expected to gain the number of publications produced by lecturers of PTKIN as well as become the credit points for promotion in academic positions.  In the end, professors at PTKIN could be born in large numbers.  He is also boosting so that every university has an international journal. One of the efforts undertaken to develop the publication of scientific journals is to build an academic portal, moraref.or.id. Moraref is an academic portal built to encourage and assist digitization and indexing of scientific journals within PTKIN.  Moraref stands for Ministry of Religious Affairs References.

Mutu PT di Indonesia belum Merata

Media Indonesia, halaman 23

Mutu pendidikan tinggi (PT) maupun program studi yang ada saat ini belum pada kondisi ideal. Masih tampak disparitas jika dilihat dari hasil akreditasi PT maupun program studi (prodi). Data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti) menunjukkan dari 4.472 perguruan tinggi di Indonesia, baru 50 PT yang telah berakreditasi A, dan prodi yang terakreditasi A sebanyak 2.512, atau hanya 12% dari total 20.254 prodi yang telah terakreditasi.

Direktur Penjaminan Mutu Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kemenristek dan Dikti, Aris Junaidi, mengatakan ada korelasi erat antara akreditasi PT dan prodi dengan kompetensi lulusan. Data Dikti pada Maret 2017 menyebutkan, ada 124 PT negeri, 3.127 PT swasta, dan 175 PT milik kementerian/lembaga, 968 perguruan tinggi agama Islam swasta (PTAIS), dan 78 perguruan tinggi agama Islam negeri (PTAIN).

Dari jumlah tersebut, data Badan Akreditasi Nasional (BAN) PT menyebutkan hanya 1.131 PT yang terakreditasi, dengan rincian 50 PT terakreditasi A, 345 PT terakreditasi B, dan 736 PT terakreditasi C. Sisanya sebanyak 7.829 belum terakreditasi. Berangkat dari masalah tersebut, Direktorat Jenderal Penjaminan Mutu, Kemenristek dan Dikti merancang program prioritas untuk meningkatkan mutu PT dan kompetensi lulusan PT di Indonesia.

Program tersebut ialah Program Asuh PT Unggul, Program Penguatan Kopertis, Klinik Sistem Penjaminan Mutu Internal, dan Kompetensi Lulusan. Program tersebut menjadi tugas PT yang memiliki prodi yang sudah unggul. PT tersebut diminta mengusulkan proposal untuk ditetapkan sebagai PT Unggul Pengasuh

Pada 2017, dari 34 proposal yang masuk, Direktorat Penjaminan Mutu menetapkan 26 PT Asuh akan mengasuh satu hingga tiga PT Asuhan, masing-masing akan membina 20 prodi. Aris menjelaskan bahwa keuntungannya PT dapat berbagi pengalaman. PT yang akreditasinya sudah bagus bisa membina PT lain supaya bisa mandiri dan meningkatkan mutu. Ada kompensasi dan honorarium dari anggaran hibah untuk jasa profesi dari PT yang membina.

Quality of Higher Education Institutions (PTs) in Indonesia still Disparate

Media Indonesia, page 23

The quality of higher education institutions (PT) as well as study programs is currently yet to be in ideal condition. There is still disparity when viewed from the PT and study program (prodi) accreditation results. Data from the Ministry of Research, Technology and Higher Education (Kemenristek and Dikti) showed that from 4,472 universities in Indonesia, only 50 are accredited A and for prodi  only 2,512  are accredited A or only 12% out of a total of 20,254 accredited study programs.

Director of Quality Assurance Directorate General of Learning and Student Affairs, Kemenristek and Dikti, Aris Junaidi, said that there is a close correlation between the accreditation of PTs and study programs with the competencies of graduates. Higher Education (Dikti) data in March 2017 stated there are 124 state PTs, 3,127 private PTs, and 175 ministry/ institution owned PTs, 968 private Islamic religious universities (PTAIS) and 78 state Islamic universities (PTAIN).

Out of these figures the University National Accreditation Board (BAN-PT) data states that only 1,131 PTs were accredited, with details of 50 accredited A, 345 accredited B, and 736 PTs accredited C.  The remaining 7,829 have not been accredited. Considering the issues the Directorate General of Quality Assurance of Kemenristek and Dikti has designed priority programs to improve the quality of PTs and the competencies of PT graduates in Indonesia.

The program is Flagship University Foster Program, Private University/Kopertis Strengthening Program, Internal Quality Assurance System Clinic, and Graduate Competency Program. The programs become the task of PTs already having excellent study programs. The universities (PTs) are asked to submit a proposal to be set as Coach Flagship PT.

In 2017, out of 34 proposals submitted, the Quality Assurance Directorate determined 26 Foster PTs to coach one to three universities coaching/organizing 20 study programs respectively.  Aris explained that the benefits are the PTs could share various experiences.  PTs with good accreditation could foster other PTs in order to be independent and improve quality. There is compensation and honorarium from the grant budget for professional services from the coaching PTs.

Siswa Bisa Ambil Mata Pelajaran Lintas Jurusan

Kompas, halaman 11. Sabtu, 27 Mei

Sistem peminatan di SMA sesuai Kurikulum 2013 memberi pilihan lebih cair kepada siswa, yaitu siswa bisa mengambil mata pelajaran lintas jurusan. Tujuannya agar siswa bisa berkembang sesuai potensi yang mereka miliki sekaligus tetap bisa menekuni bidang yang mereka minati meskipun di luar jurusannya. Kepala Badan Peneltian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno mengatakan, dengan siswa peminatan, siswa dibagi tiga jurusan di kelas XI. Namun, mereka memiliki kesempatan sebanyak 408 jam setiap pekan untuk mengambil mata pelajaran lintas jurusan.

Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Suwardjo mengatakan, semangat peminatan siswa adalah untuk mengembangkan mereka sesuai potensi dan bakar mereka. Pasalnya jika tidak ada spesifikasi, siswa tidak akan berkembang secara optimal karena tidak terarah. Ia mengatakan, siswa penjurusan berdasarkan rumpun mata pelajaran tidak bisa berdiri sendiri, harus dipadu dengan pengembangan karakter dan kegiatan ekstrakurikuler. Dalam mata pelajaran pun tidak hanya berkutat pada unsur kognitif, tetapi juga mencakup kemampuan berpikir kritis, menganalisis, berorganisasi, dan empati sosial.

Sementara itu, pakar kurikulum Universitas Negeri Jakarta Yuli Rachmawati mengingatkan sekolah bahwa penentuan jurusan harus berdasar keinginan dan kemampuan siswa. Setelah dijuruskan, sekolah tetap harus membuka ruang kerja sama agar siswa bisa saling belajar.

Students Can Take Cross-Major Subjects

Kompas, page 11. Saturday, May 27

High school Interest Specialization system according to Curriculum 2013 gives more choices to students in which students can take cross major subjects. The goal is that students can develop according to their potentials as well as still be able to pursue the field that they are interested in even though outside their majors.  Head of Research and Development Agency of the Ministry of Education and Culture, Totok Suprayitno said, with the interest specialization system, students are divided into three majors in grade XI. However, they have a chance of as much as 408 hours each week to take cross major subjects.

Post graduate lecturer of Yogyakarta State University (UNJ), Suwardjo said that the spirit of the student interest system is to develop the students according to their potentials and talents.  If there is no specification, students will not develop optimally because they are not directed. He said that the majoring of student studies are based on groups of subjects that cannot stand alone and  must be combined with character development and extracurricular activities. In any subject it is not only focused on cognitive elements, but also includes the ability to think critically, analyze, organize, and social empathy.

Meanwhile, curriculum expert from State University of Jakarta, Yuli Rachmawati reminded schools that determining majors should be based on the desire and ability of the students. Once the major has been determined, the school should still open a cooperative space so that students could learn from each other.

Swedia-Indonesia Tingkatkan Kerja Sama Lawan Kekerasan terhadap Anak

www.jakartaglobe.id

Sekretaris Negara untuk Menteri Anak, Kesetaraan Lansia dan Gender Swedia, Pernilla Baralt, mengatakan, Swedia dan Indonesia telah setuju untuk bekerja sama dalam memerangi kasus kekerasan terdahap anak. Baralt mengatakan, kedua belah pihak telah memutuskan untuk berdiskusi lebih dalam lagi dan kembali mengadakan pertemuan. Baik Indonesia maupun Swedia adalah negara yang merintis arah dalam Kemitraan Global untuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Anak.

Dalam sebuah pernyataan bersama yang disampaikan secara terpisah, pemerintah Swedia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (kemen PPPA) telah berkomitemen untuk mendorong upaya yang lebih kuat guna mencapai tujuan pembangunan Sustainable Development Goals (SDGs)  dalam Agenda Pembangunan 2030.

Dalam pernyataan tersebut disampaikan bahwa kunjungan kenegaraan Raja dan Ratu Kerajaan Swedia telah membantu mendorong dialog antara Indonesia dan Swedia tentang cara efektif bagaimana menangani kasus kekerasan terhadap anak.  Delegasi dari kedua negara akan melanjutkan dialog pada 19 Juli nanti, di sela-sela sebuah forum yang digelar di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.

Pada Februari mendatang, Swedia juga telah mengundang Indonesia untuk menghadiri sebuah pertemuan di Stockholm, di mana negara yang berpartisipasi  dalam pertemuan itu akan membahas solusi-solusi dalam memerangi kasus-kasus kekerasan terhadap anak.

Baralt menekankan pentingnya permasalahan anak sebagai bagian dari agenda pertemuan tersebut, dimana mereka akan belajar satu sama lain dan bertukar pengalaman tentang bagaimana memperbaiki kebijakan undang-undang, pelatihan, pendidikan dan hal lainnya yang perlu diskusikan, seperti perlindungan sosial guna meningkatkan kondisi yang baik untuk anak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Yohana Yembise, mengatakan, ada kaitan kuat antara kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Strategi KemenPPPA adalah menangani keduanya melalui pendekatan holistik.

Indonesia telah mengembangkan strategi nasional  (Stranas) 2016-2020 guna menghapuskan kasus kekerasan terhadap anak. Dalam Stranas tersebut melibatkan kemitraan antar pemerintah, masyarakat sipil, anak-anak dan remaja untuk mencegah dan merespons segala bentuk kekerasan terhadap anak.

Baralt mengatakan, baik Indonesia maupun Swedia berkewajiban untuk lebih baik lagi dalam mendidik anak-anak guna mengetahui hak-hak mereka, yang dikatakannya sebagai tantangan bersama kedua negara. Untuk mengatasi tantangan tersebut, ungkap Baralt, sebuah aplikasi seluler sederhana mungkin bisa digunakan sebagai trik. Generasi muda, lanjutnya, sangat paham tentang teknologi, namun smartphone dapat menimbulkan bahaya tertentu bagi anak-anak, seperti  kasus pelecehan anak yang ada di internet,

Sweden to Increase Cooperation With Indonesia to Fight Violence Against Children

www.jakartaglobe.id

Sweden agreed to increase cooperation with Indonesia to combat violence against children, Pernilla Baralt, Swedish State Secretary to the Ministry of Children, the Elderly and Gender Equality. She said, both countries have decided to have a deep dialogue, and continue to meet again. Both Indonesia and Sweden are pathfinding countries in the Global Partnership to End Violence against Children.

In a separate joint statement, the Swedish government and Indonesia’s Ministry of Women’s Empowerment and Child Protection said they were committed to push for stronger efforts to achieve Sustainable Development Goals (SDGs) under the 2030 Agenda.

According to the statement, the state visit from the Swedish royal couple has helped promote dialogue between Indonesia and Sweden on how to effectively tackle violence against children. Delegations from the two countries will continue their dialogue on the sidelines of a forum at the United Nations in New York on July 19.

Sweden has also invited Indonesia to a meeting in Stockholm next February, where participating governments will discuss solutions to combat violence against children.

Baralt said, noting the importance of having children as part of the dialogues, that they will continue to learn from each other and to exchange good examples on how to improve legislation, training, education and everything else that needs to be done, such as social protection, to improve the situation for children.

Women’s Empowerment and Child Protection Minister Yohana Yembise said there is a strong link between violence against women and children. The ministry’s strategy is to address both through a holistic approach.

The Indonesian government has developed a national strategy on the elimination of violence against children for the 2016-2020 period. The strategy involves partnerships across governments, civil society, children and adolescents to prevent and respond to all forms of violence against children.

Baralt said that both Indonesia and Sweden have a duty to become better in educating children about their rights, which she noted as a common challenge shared between the two countries. In order to address such challenges, Baralt said that a simple mobile app might do the trick. The younger generation is very savvy when it comes to technology and while smartphones pose certain dangers for children, such as child abuse on the internet.

link: http://jakartaglobe.id/news/sweden-increase-cooperation-indonesia-fight-violence-children/

Revitalisasi Jadikan SMK Sekolah Unggulan

Republika, halaman 12, Sabtu, Mei 27

Kemendikud akan merevitalisasi sebanyak 219 sekolah menengah kejuruan (SMK) bakal direvitalisasi pada tahun ini. Sekolah yang masuk kategori medioker itu bakal didorong menjadi SMK unggulan. Dari 219 SMK yang masuk program revitalisasi, 125 SMK di antaranya di bidang prioritas yakni maritim atau kelautan, pariwisata, pertanian, dan industri kreatif. Sedangkan 94 SMK lainnya adalah bidang keahlian penunjang yang menjadi prioritas pembangunan.

Hal itu diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy seusai peluncuran program revitalisasi SMK oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (menko PMK) Puan Maharani di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, kemarin.
Secara bertahap, program revitalisasi akan menyentuh se-luruh SMK yang belum masuk kategori unggulan. Dari 13.000 SMK, sebanuak 6.000 SMK masih di bawah kinerja. Sehingga akan dinaikkan.

Dalam kesempatan itu, Menko PMK Puan Maharani menegaskan, pemerintah berupaya mendorong kualitas sumberdaya manusia (SDM) agar lebih meningkat. Di antaranya melalui program revitalisasi SMK. Dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) juga didorong untuk lebih banyak mendirikan politeknik. Selain itu, sekolah-sekolah yang di bawah Kementerian Agama juga disinkronkan dengan mata pelajaran umum, dan bukan hanya pendidikan agama saja.

Pemerintah menargetkan dalam sepuluh tahun ke depan kualitas tenaga kerja Indonesia dapat dikejar dan mampu bersaing dengan dengan negara negara lainnya. Sebab jika hanya menunggu lulusan dari universitas, maka diyakini tak akan mampu mengejar. Selain itu pendidikan di seluruh dunia telah maju. Dengan demikian, ketinggalan dapat dikejar secara bertahap dan optimistis setara setelah sepuluh tahun ke depan.

Revitalization for SMK to become Excellent Schools

Koran Sindo, page 12, Saturday, 27 May

Kemendikbud will revitalize 219 Vocational High Schools (SMK) this year to raise their motivation to become excellent SMK. Of the 219 SMK, 125 SMK are in the priority fields: maritime and marine, tourism, agriculture, and creative industry. Meanwhile, the other 94 SMK are in the field of supporting expertise that will become development priority.

This was stated by Minister of Education and Culture (Mendikbud) Muhadjir Effendy following the release of SMK revitalization program by the Coordinating Minister for Human Development and Cultural Affairs (Menko PMK) Puan Maharani in Manahan Stadium, Solo, Central Java, yesterday. Gradually, the revitalization program will reach all SMK that are not in the excellence category. Of 13,000 SMK, currently there are 6,000 SMK below this performance standard, which will therefore be upgraded.

On such occasion, Menko PMK Puan Maharani emphasized that the government was making efforts to support increased quality of Human Resource (SDM), one of which is through the SMK revitalization program. The Ministry of Research, Technology, and Higher Education (Kemenristekdikti) is also motivated to establish polytechnics. In addition, the schools under the Ministry of Religious Affairs are synchronized with general subjects, not just religious education.

The government targets that in ten years’ time the quality of Indonesian workers will match that from other countries. If the country waits solely for graduates from universities, it will find that the qualities of Indonesian workers will not able to achieve this target. Therefore, the quality can be achieved gradually, and optimistically will match that of other countries ten years down the line.