SMA Wajib Terima Siswa Disabilitas

Media Indonesia, halaman 25

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat mewajibkan semua SMA negeri menerima tiga siswa disabilitas pada penerimaan siswa baru tahun ini. Mereka akan diterima lewat jalur afirmasi, bersama siswa dari keluarga miskin yang mendapat jatah 20% dari total kuota, jalur prestasi nonakademik 10%, dan kerja sama sekolah dengan pihak ketiga 10%.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Ahmad Hadadi mengungkapkan, siswa yang diterima lewat jalur akademik untuk SMA total mencapai 60% dan SMK 70%. Siswa yang memiliki prestasi nonakademik seperti di bidang olah raga, kesenian dan agama berhak mendaftar meski nilai akademik tidak memadai.

Sementara, jalur kerja sama dengan pihak ketiga dapat digunakan untuk sekolah yang gedungnya menumpang di tanah atau bangunan milik Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan anak keluarga TNI mendapat kuota untuk masuk. Untuk PPDB SMA/SMK se-Jawa Barat akan dibuka pada 6-14 Juni untuk jalur non-akademik, 3-8 Juli jalur akademik SMA, dan 3-10 untuk SMK.

Senior High Schools (SMA) should Accept Students with Disabilities

Media Indonesia, page 25

Provincial Government (Pemprov) of West Java requires all Senior High Schools (SMA) to accept three students with disabilities among new student admissions this year. The students will be accepted through the affirmation path, together with students from indigent families who receive 20% of the total quota, non-academic achievement path (10%), and cooperation between schools and third parties (10%).

The Head of Education Board of West Java, Ahmad Hadadi stated that students accepted through the academic path reached 60% in SMA level and 70% in SMK level. Students with non-academic achievement such as in the field of sports, arts, and religion have the right to register even though their academic scores do not meet the requirements.

Meanwhile, cooperation with a third party is in use for schools residing on land or buildingd owned by Indonesian National Armed Forces (TNI), and children of TNI families receive a quota to be accepted. New Student Admission of Senior High School/Vocational High School (PPDB SMA/SMK) of West Java will be opened on June 6 to 14 for the non-academic path, July 3 to 8 for the SMA academic path, and July 3 to 10 for SMK.

 

 

 

 

 

Tahun Ajaran Baru, Sekolah Terapkan K-13

Indopos, halaman 2

Jumlah sekolah pelaksana Kurikulum 2013 (K-13) tahun ajaran 2017-2018 terus bertambah. Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan 74.559 sekolah baru yang melaksanakan K-13 itu. Tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah adalah terjaminnya kemampuan guru mengajar dengan basis K-13 tersebut.

Sesuai dengan keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) Kemendikbud, seluruh sekolah yag baru menjalankan K-13 terdiri dari seluruh jenjang, yaitu SD (51.654 unit), SMP (13.637 unit), SMA (4.416 unit) dan SMK (4.852 unit).

Dirjen Dikdasmen Kemendikbud, Hamid Muhammad, mengatakan, seluruh sekolah yang baru menerapkan K-13 menjalankannya secara bertahap, yaitu untuk kelas 1, 4, 7 dan 10. Sementara, untuk kelas lainnya tetap belajar menggunakan Kurikulum 2016.

Hamid mengungkapkan, sampai saat ini sudah ada 17 ribuan unit sekolah yang benar-benar menjalankan K-13 secara utuh untuk semua kelasnya. Saat ini, pihaknya terus menyiapkan pelatihan guru agar implementasi K-13 berjalan efektif di kelas. Diharapkan, implementasi K-13 secara menyeluruh di seluruh kelas dan semua kelas berjalan pada 2019.

Sementara itu, Perekayasa Utama Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak) Kemendikbud, Etty Sisdiana, mengatakan, beberapa persoalan terkait sistem pelatihan guru berbasis K-13 adalah instruktur kabupaten/kota belum berkinerja baik dan kurangnya materi yang dibutuhkan oleh guru yang mengikuti pelatihan. Selain itu, para guru juga merasakan durasi pelatihan K-13 terlalu pendek. Oleh sebab itu, lanjut Etty, pihaknya mengupayakan untuk mengatasi hal-hal tersebut.

For New Academic Year, Schools Apply K-13

Indopos, page 2

There has been an increase in the number of schools implementing Curriculum 2013 (K-13) for the academic year 2017-2018. The Minister of Education and Culture (Kemendikbud) revealed that 74,459 new schools will implement K-13. The biggest challenge faced by government is ensuring that teachers have the skill to teach on the basis of K-13.

In accordance with the decree of Directorate General of Primary and Secondary Education (Ditjen Dikdasmen) of Kemendikbud, schools that just implement K-13 consists of all educational levels: SD (51,654 units), SMP (13,637 units), SMA (4,416 units) and SMK (4,852 units).

The Director General of Dikdasmen of Kemendikbud, Hamid Muhammad, said that all schools that just apply K-13 implementing this gradually in terms of grade. These grades are 1, 4, 7, and 10. The other grades remain using Curriculum 2016.

Hamid revealed that to date there are some 17,000 schools that genuinely implement K-13 across all their grades. Currently, his officials continue to prepare training for teachers. This aims to make K-13 implementation effective at classes. K-13 implementation is expected to run as whole at all grades in 2019.

Meanwhile, the Main Engineer of Center for Policy Research (Puslitjak) of Kemendikbud, Etty Sisdiana, said among the problems related to the training system for teachers on the basis of K-13 were instructors of regencies/cities who did not perform well and lack of materials that were needed by teachers following the training. In addition, teachers in general also feel that the duration of training for K-13 is too short. Therefore, Etty continued, her officials will make efforts to resolve such problems.

 

Remaja dan Anak Rentan Terhadap Predator di Media Sosial

The Jakarta Post, halaman 4

Baru-baru ini terjadinya sebuah kasus di mana seorang gadis berusia 17 tahun diduga disekap selama hampir 48 jam oleh seorang pria yang ia kenal dari Facebook menunjukan rentannya anak-anak terekspos di media sosial. Remaja itu, Amelia Deva Puspita, warga Pejompongan, Tanah Abang, di Jakarta Pusat, dikabarkan dikurung selama hampir dua hari oleh Hendra Kurniawan, 22 tahun, seorang pengangguran.

Kasus tersebut bermula pada hari Selasa minggu lalu saat Amelia memberi tahu ibunya, Suharmi, 51 tahun, bahwa pada sore hari ia akan pergi. Namun, Amelia ternyata tidak kembali ke rumah pada malam harinya. Anggota keluarga berusaha untuk mencarinya, namun pihak keluarga tidak dapat menghubungi ponsel Amelia.

Suharmi kemudian melaporkan hal tersebut ke Polda Metro Jaya setelah diberitahu oleh seorang gadis berusia 17 tahun bernama Lia bawa ia menerima pesan dari Amelia pada hari Kamis yang memberitahukan bahwa seseorang telah menyekapnya. Kapolres Palmerah Komisaris Armunanto Hutahean mengatakan bahwa dalam pesan tersebut, Amelia meminta pertolongan karena seorang pria yang baru saja ia temui telah mengurungnya.

Polisi dengan cepat menindaklanjuti laporan tersebut dan menemukan Amelia dikurung di sebuah rumah kontrakan di wilayah Kemanggisan, Jakarta Barat, tempat dimana Hendra ditangkap.

Ratusan anak-anak dan remaja seperti Amelia telah menjadi korban predator media sosial. Sejak Januari tahun ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah menerima 139 laporan tentang anak-anak dan remaja yang menjadi korban pelecehan seksual dan kekerasan setelah melakukan interaksi di media sosial.

Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, situs jejaring sosial memberikan kesempatan tak terbatas kepada pengguna internet, termasuk anak-anak dan remaja, untuk terhubung dengan pengguna lain dan membuka jalan bagi mereka untuk mengekspos diri mereka sendiri, yang seringkali membawa mereka ke dalam bahaya.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati memperingatkan bahwa penetrasi internet yang kuat bisa berbahaya bagi anak-anak dan remaja jika tingkat melek internet mereka rendah, dan orang tua mereka gagal melindungi mereka dari  bahayanya dunia yang terhubung secara global itu.

Teenagers, Children Prone to Social Media Predators

The Jakarta Post, page 4

The recent case of a 17 –year-old girl who was allegedly held captive for almost 48 hours by a man she had met on Facebook has again demonstrated the vulnerability of children exposed to social media. The girl, Amelia Deva Puspita, a resident of Pejompongan, Tanah Abang, in Central Jakarta, was allegedly locked up for nearly two days by Hendra Kurniawan, 22, an unemployed man.

The case began on Tuesday last week when Amelia told her mother, Suharmi, 51, that she was going out in the afternoon. Amelia, however, did not return home that evening. Family members attempted to locate her, but she could be contacted by phone.

Suharmi then filed a report with the Jakarta Police after being informed by another 17-yearold girl named Lia that she had received a message from Amelia on Thursday saying that someone had locked her up. Palmerah Police chief Comr. Armunanto Hutahean said that in the message, Amelia was asking for help because a man she had just met locked her up.

The police quickly followed up on the report and discovered that Amelia was being held in a rented house in the Kemanggisan area in West Jakarta, where Hendra was arrested, he said.

Hundreds of children and teenagers like Amelia have fallen victim to social media predators. Since January this year, the National Commission for Child Protection (Komnas PA) has received 139 reports of children and teenagers falling victim to sexual and violent abuse following social media interactions

The borderless social networking sites provide users, including children and teenagers, with unlimited chance to connect with other user, paving the way for them to expose themselves, which often leads them into danger, Komnas PA chairman Arist Merdeka Sirait said.

Indonesia Child Protection Commission (KPAI) commissioner Rita Pranawati warned that the strong internet penetration could be dangerous for children and teenagers if their internet literacy was low and their parents failed to protect them from the dangers of the globally connected world.

Sekolah Wajib Terima Siswa Penerima Program Indonesia Pintar

www.republika.co.id

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengingatkan, setiap sekolah wajib menerima anak pemilik kartu Program Indonesia Pintar (PIP) yang berusia enam hingga 21 tahun. Hal itu tertuang dalam Peraturan Bersama Antara Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat.

Peraturan tersebut memprioritaskan sasaran penerima manfaat PIP adalah anak yang memiliki Kartu Indonesia Pintar (KIP) berasal dari keluarga miskin/rentan miskin, dan/atau dengan pertimbangan khusus seperti berasal dari keluarga peserta Program Keluarga Harapan (PKH), keluarga pemegang Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), peserta didik yang berstatus yatim piatu/yatim/piatu dari sekolah/panti sosial/panti asuhan.

Selain itu, penerima adalah peserta didik yang terkena dampak bencana alam, inklusi, korban musibah, dari orang tua PHK, di daerah konflik, dari keluarga terpidana, berada di Lapas, memiliki lebih dari tiga saudara yang tinggal serumah, peserta pada lembaga kursus atau satuan pendidikan tak formal lainnya, dan peserta didik SMK yang menempuh studi keahlian kelompok bidang pertanian, peternakan, kehutanan, dan pelayaran/kemaritiman.

Schools Required to Accept Smart Indonesia Program Students

www.republika.co.id

Ministry of Education and Culture (Kemendikbud) reminded, every school is obliged to accept children aged six to 21 years, holders of Indonesia Pintar Program (PIP) cards.  This is stipulated in the Joint Regulation between the Director General of Primary and Secondary Education, and the Director General of Early Childhood Education and Community Education.

The regulation prioritizes the target of PIP beneficiaries as children who hold Smart Indonesian Cards (KIP) coming from poor /prone to poverty families and/ or with special consideration such as coming from families, participants of Family Hope Program (PKH), families that are holders of Prosperous Family Cards (KKS), students who are orphaned from schools/ social homes/ orphanages.

In addition, the recipients are learners affected by natural disasters, inclusions, casualties, from parents who were dismissed from work, in conflict areas, from convicted families, residing in prisons, having more than three siblings residing in the same house, participants in a course institution or other non-formal education units, and vocational high school students who are studying the expertise groups in agriculture, animal husbandry, forestry, and shipping / maritime.

Link: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/17/05/26/oqjki3361-sekolah-wajib-terima-siswa-penerima-program-indonesia-pintar

Pasal Perkawinan Usia Anak Kembali Digugat

Suara Pembaruan, halaman 17

Komponen masyarakat yang menamakan diri Koalisi 18 kembali mengugat syarat usia minimal perkawainan yang tercantum dalam Undang-undang 1/1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ini adalah gugatan kedua setelah sebelumnya ditolak MK pada Juni 2016 lalu. Sidang pendahuluan uji materi (judicial review) yang khusus menggugat pasal 7 ayat 1 UU tersebur sudah digelar 24 Mei 2017.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendukung penuh upaya masyarakat untuk meningkatkan usia perkawinan, terutama pada perempuan. Dukungan yang sama datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perlindungan Anak.

Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Lenny Rosalina, mengatakan pihaknya sangat mendukung perjuangan Koalisi 18 untuk meningkatkan usia perkawinan, terutama pada anak perempuan. Ia juga mengatakan, pihaknya masih mendorong direvisinya UU Perkawinan. Baru-baru ini, Menteri PPPA Yohana Yembise telah melakukan pertemuan dengan Menteri Agama untuk membahas revisi UU Perkawinan, khususnya pasal tentang batas usia kawin untuk anak perempuan. Kementerian PPPA bersama kementerian/lembaga, NGO, para pakar dan akademis telah selesai menyusun naskah akademik revisi UU Perkawinan tersebut. Setelah naskah tersusun akan dibahs dengan Menteri Hukum dan HAM terlebih dahulu.

Dalam naskah akademis tersebut, Kementerian PPPA meminta batas usia perkawinan minimal untuk perempuan di atas 18 tahun. Penetapan batas usia 18 tahun bukan tanpa alasan mengingat konsekuensi perkawinan usia anak terhadap faktor kesehatan, reproduksi, dan pendidikan menjadi alasan yang mendasari usia tersebut sebagai batas kategori status anak. Kementerian PPPA juga mendesak untuk menghapus dispensasi.

Child Age Marriage Article Contested Again

Suara Pembaruan, page 17

The community component calling itself the Coalition of 18 re-contested the minimum age requirement of marriage listed in Law 1/1974 on Marriage to the Constitutional Court (MK). This is the second lawsuit after it was rejected by the Constitutional Court in June 2016. The initial judicial review proceedings which particularly contested Article 7 paragraph 1 of the Law was held on May 24, 2017.

The Ministry of Women’s Empowerment and Child Protection (PPPA) fully supports the community’s efforts to increase the marriage age, especially in women. The same support came from the Indonesian Child Protection Commission (KPAI) and Child Protection National Commission.

Deputy of Child Development of PPPA Ministry, Lenny Rosalina, said that she strongly supported the struggle of the Coalition 18 to increase the marriage age, especially in girls. She also said her party was still encouraging the revision of the Marriage Law. Recently, PPPA Minister Yohana Yembise had a meeting with the Minister of Religious Affairs to discuss the revision of the Marriage Law, especially the article on the age limit of marriage for girls.  The PPPA ministry together with ministries/ institutions, NGOs, experts and academics has finished compiling academic draft revisions of the Marriage Law. After the manuscript is prepared it will then be discussed with the Minister of Justice and Human Rights.

In the academic manuscript, the Ministry of PPPA requested minimum marriage age for women to be over 18 years old. The 18-year age limit is not without reason considering the consequences of child age marriages towards the factors of health, reproduction, and education become the underlying reasons for that age as the child’s status category.  The PPPA Ministry also urged to remove dispensation.