Kampus Perlu Deteksi Dini Gejala Radikalisme dan Intoleransi

www.republika.co.id

Forum Rektor Indonesia (FRI) mengimbau pada seluruh pimpinan perguruan tinggi untuk mendeteksi gejala radikalisme dan intoleransi di kampus. Hal tersebut menindaklanjuti larangan dari Menristekdikti Mohammad Nasir dan Menkopolhukam Wiranto terhadap gerakan yang bertentangan dengan Pancasila di lingkungan kampus. Ketua FRI Suyatno mengingatkan, kampus merupakan wahana untuk mendidik mahasiswa yang nantinya bisa berkontribusi bagi bangsa dan negara. Ia mengatakan, saat ini ada indikasi adanya radikalisme dan intoleransi masuknya ke kampus. Hal itu merupakan gejala kuat bahwa kampus jadi sasaran.

Sehingga, ia mengatakan, FRI mengimbau dan meminta perguruan tinggi untuk melakukan Tri Dharma perguruan tinggi. Artinya, melakukan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan sistem pedidikan tinggi. Suyatno mengingatkan, perguruan tinggi harus mengajarkan pendidikan yang benar. Pimpinan perguruan tinggi juga harus memantau konteks apa saja yang diajarkan dosen. Sebab jangan sampai, ada dosen yang mengajar di luar konteks.

Selain itu, dia mengatakan, perguruan tinggi harus memantau hasil riset dan penelitian yang dilakukan dosen maupun mahasiswa. Sebab jangan sampai, hasil riset tersebut menyesatkan atau disalahgunakan dan dimanfaatkan untuk kejahatan. Terakhir, pengabdian masyarakat harus bernilai produktif dan konsumtif untuk kesejahteraan. Kemudian pemimpin perguruan tinggi harus memantau setiap aktivitas lembaga kemahasiswaan. Pastikan setiap kegiatan ada pembimging yang benar.

Campus Needs to Early Detect Indications of Radicalism and Intolerance

www.republika.co.id

Indonesia Rectors’ Forum (FRI) appealed to all university leaders to detect indications of radicalism and intolerance on campus. It follows up the ban from the Minister of Research and Technology, Mohammad Nasir and Menkopolhukam (Coordinating Minister of Politics, Law and Security), Wiranto on movements against the Pancasila in the campus environment. FRI chairman Suyatno reminded, the campus is a vehicle to educate students who would later be able to contribute to the nation and state. He said there are now indications of radicalism and intolerance entering the campus. There is strong indication that the campus is the target.

Thus, he said that FRI has appealed and asked higher education institutions to conduct Tri Dharma oath.  Meaning to conduct education and teaching in accordance with the higher education system. Suyatno reminded that universities should teach the right education.  University leaders should also monitor the context of material taught by lecturers. So that there should be no lecturers who teach outside the context.

In addition, he said that universities should monitor research results and researches conducted by lecturers and students. Because research results should not be misleading or be misused and exploited for crime. Finally, community service must have productive and consumptive values for welfare. Then university leaders must monitor every student organization activity. Ensure that every activity has a proper supervisor.

Link: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/17/05/30/oqrxve384-kampus-perlu-deteksi-dini-gejala-radikalisme-dan-intoleransi 

Lindungi Siswa dari Bahaya Merokok

Jawa Pos, halaman 30

Dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2017 yang diadakan pada awal Februari 2017, Presiden Jokowi mengimbau masyarakat mengendalikan penggunaan rokok. Secata khusus, presiden meminta masyarakat ikut berperan untuk menghindarkan siswa dari bahaya merokok. Sesuai harapan presiden, masyarakat mesti bertanggung jawab agar para pelajar memiliki kualitas yang baik. Dengan begitu, Indonesia bisa mencapai bonus demografi pada 2025 – 2030. Salah satu cara untuk melakukan hal itu adalah mengendalikan tembakau di kalangan pelajar.

Komnas Pengendalian Tembakau mengajak semua pihak bersatu dan bergerak bersama melakukan segala upaya untuk menjaga para pelajar agar tidak mengonsumsi rokok. Tujuannya, demi pembangunan Indonesia yang lebih baik pada masa depan. Communication and Media Relations Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi mengatakan bahwa masyarakat harus memutus rantai generasi perokok dan menjaga generasi selanjutnya untuk tidak kembali jatuh pada cengkraman adiksi nikotin rokok yang mendegradasi produktivitas manusia.

Emil Salim, salah satu Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau, turut mengajak masyarakat melawan nikotin dalam rokok. Ia mengatakan hal ini bukan bermaksud untuk memusuhi petani tembakau, tetapi memusuhi kandungan berbahaya dalam rokok.  Emil berpendapat, ketergantungan nikotin pada rokok dikhawatirkan menurunkan dayua saing generasi muda Indonesia. Karena itu, masyarakat perlu menjaga pelajar dari zat adiktif nikotin dan ribuan bahan kimiawi berbahaya pada rokok. Pengendalian tembakau tak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat, tetapi juga pemerintah.

Protect Students from Hazards of Smoking

Jawa Pos, page 30

In the 2017 National Health Work Meeting held in early February 2017, President Jokowi urged the public to control the use of cigarettes. In particular, the President asked the public to play a role in preventing students from the hazards of smoking. The President expects society to be responsible for students to be well qualified. That way, Indonesia can achieve the demographic bonus in 2025 – 2030. One way to do that is to control/ curb tobacco among students.

National Commission on Tobacco Control invites all parties to unite to strive to prevent students from consuming cigarettes. The goal is for the sake of better development of Indonesia in the future. Communication and Media Relations of the National Commission on Tobacco Control, Nina Samidi said that people must break the chain of the smoking generation and keep the next generation from falling back on cigarette nicotine addiction that degrades human productivity.

Emil Salim, one of the Advisory Board of the National Commission for Tobacco Control, also invites people to fight nicotine in cigarettes. He said that there is no intention to being against tobacco farmers, but to fight the harmful content in cigarettes. Emil argues that nicotine addiction from cigarettes is feared to reduce the competitiveness of Indonesia’s young generation. Therefore, the public needs to keep students from nicotine addictive substances and thousands of harmful chemicals in cigarettes. Tobacco control is not only the responsibility of society, but also the government.

Beasiswa S-2 dan S-3 untuk Dosen

Kompas, halaman 11

Pemerintah mendukung peningkatan kualifikasi pendidikan dosen ke jenjang pendidikan doktor melalui program beasiswa. Tersedia hampir 3.000 beasiswa pendidikan bagi dosen untuk  kuliah di dalam dan luar negeri dalam upaya meningkatkan kapasitas dosen di perguruan tinggi negeri dan swasta. Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan American Indonesia Exchange Foundation (Aminef) untuk memfasilitasi beasiswa studi pascasarjana bagi dosen ke sejumlah perguruan tinggi di Amerika Serikat.

Kerja sama tersebut dimulai sejak 2009 dan diperbarui pada tahun 2013 hingga 29 Mei 2017. Kelanjutan program tersebut dilakukan lagi hingga 2021 dengan kuota untuk dosen ditingkatkan pula yang biasanya 20 dosen per tahun menjadi 50 dosen per tahun.

Direktur Eksekutif Aminef Alan H Feinstein mengatakan, biaya pendidikan dosen ditanggung Pemerintah Indonesia, sedangkan Aminef menanggung biaya pengarahan dan orientasi. Program ini telah dinikmati 180 orang yang terdiri dari 120 orang yang meraih gelar doktor, 24 orang menerima gelar master, 2 orang melakukan riset untuk program doktoralnya, dan 34 peneliti Indonesia yang telah melakukan riset pascadoktoral di universitas-universitas di Amerika Serikat.

Sementara itu, Beasiswa Fullbright-Ristekdikti juga diberikan untuk peneliti post-doktoral. Mereka akan melakukan riset selama empat hingga enam bulan di universitas terakreditasi di AS. Ghufron mengatakan, beasiswa Fullbright-Ristekdikti hanya salah satu skema beasiswa  pendidikan dosen. Ada juga Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia (BUDI) untuk dalam negeri sebanyak 750 dosen dan BUDI luar negeri untuk 100 dosen.

Strata-2 and Strata-3 Scholarships for Lecturers

Kompas, page 11

The government supports the improvement of the education qualifications of lecturers to the doctoral education level through scholarship programs. There are nearly 3,000 educational scholarships available for lecturers to study domestically and overseas in efforts to improve lecturers’ capacity in state and private universities. Director General of Science and Technology Resources and Higher Education of the Ministry of Research, Technology and Higher Education, Ali Ghufron Mukti said his party was working with the American Indonesian Exchange Foundation (Aminef) to facilitate postgraduate study scholarships for lecturers to a number of universities in the United States.

The cooperation began in 2009 and was extended in 2013 until May 29, 2017.  The continuation of the program is extended again until 2021 with increased quota for lecturers from 20 lecturers per year to 50 lecturers per year.

Aminef Executive Director, Alan H Feinstein said that the cost of lecturer education is borne by the Government of Indonesia, while Aminef bears guidance and orientation fees. This program has been benefited by 180 people consisting of 120 people attaining doctoral degrees, 24 received master’s degree, 2 conducting researches for their doctoral program, and 34 Indonesian researchers who have conducted postdoctoral research at universities in the United States.

Meanwhile, the Fullbright-Ristekdikti Scholarship is also awarded for post-doctoral researchers. They will conduct research for four to six months at an accredited university in the US. Ghufron said the Fullbright-Ristekdikti scholarship is only one of the lecturer education scholarship schemes. There is also the Indonesian Excellent Lecturer Scholarship (BUDI) for domestic with as many as 750 lecturers and overseas BUDI for 100 lecturers.

Menanamkan Semangat Daya Saing di Kalangan Siswa

the Jakarta Post, halaman 20

Oleh: Setiono Sugiharto, mengajar di Fakultas Pendidikan dan Bahasa Unika Atma Jaya, Jakarta

Dalam sebuah budaya akademis di mana siswa cenderung menjaga hubungan yang harmonis dengan teman sebayanya, penanaman semangat daya saing kepada mereka dapat bermanfaat tidak hanya untuk bakat intelektual mereka, namun juga untuk kedewasaan sosial dan emosional mereka.

Di dunia yang cepat berubah saat ini, universitas mulai menyeimbangkan antara kurikulum inti dan kegiatan ko-kurikuler mereka. Selain kegiatan yang termasuk dalam kurikulum inti mereka, semangat daya saing merupakan hal yang paling sering ditanamkan melalui kegiatan ko-kurikuler seperti penulisan esai, debat publik, kontes menyanyi dan olahraga. Melalui kegiatan tersebut, siswa dapat belajar (secara individu atau dalam kelompok) bagaimana berkompetisi secara positif dengan siswa lain untuk mendapatkan keunggulan dan berprestasi dengan sebuah semangat sportivitas.

Siswa juga dapat belajar bahwa kompetisi dapat diartikan sebagai proses belajar yang berkesinambungan serta usaha keras dan ulet, yang tanpa itu kesuksesan hanyalah sebuah mimpi. Persaingan juga berarti bahwa siswa harus bertanggung jawab atas apa yang telah mereka lakukan dan dengan lapang dada menerima konsekuensi atas tindakan mereka.

Perlu disebutkan di sini bahwa upaya untuk menanamkan semangat daya saing tidak hanya perlu merangkul nilai-nilai intelektual yang terwujud dalam kurikulum inti, namun juga nilai-nilai sosial, psikologis, budaya dan rekreasi, yang semuanya dikembangkan melalui kegiatan ko-kurikuler.

Namun demikian, upaya-upaya ini sama sekali tidak berarti harus saling mengesampingkan kedua kegiatan kurikulum inti dan kurikuler. Sebaliknya, kurikulum inti dan ko-kurikuler harus saling menguatkan dan menunjukkan bahwa mereka saling melengkapi satu sama lain.

Selanjutnya, peningkatan pengembangan intelektual sebagai hasil partisipasi berkesinambungan siswa dalam kegiatan akademik perlu dilengkapi dengan pertumbuhan moral dan spiritual – nilai-nilai vital yang dapat ditanamkan melalui kegiatan non-akademis.

Dalam sebuah era yang kompetitif, menumbuhkan semangat daya saing di kalangan siswa jelas merupakan salah satu agenda terpenting bagi perguruan tinggi. Hal ini berarti bahwa siswa harus diberikan banyak kesempatan untuk menjelajahi dunia mereka sendiri; untuk bereksperimen dengan kreativitas dan strategi pembelajaran mereka sendiri serta berinteraksi dengan rekan dan guru mereka; dan bernegosiasi tentang program sekolah yang dikenakan kepada mereka.

Inculcating a spirit of competitiveness among students

the Jakarta Post, page 20

By: Setiono Sugiharto, teaches at the Faculty of Education and Language, Atma Jaya Catholic University, Jakarta

In an academic culture where students tend to maintain harmonious relationships with their peers, instilling in them a spirit of competitiveness can be beneficial for not only their intellectual talents, but also for their social and emotional maturity.

In the fast-changing world today, universities are beginning to strike a balance between their core curricula and co-curricular activities. Aside from activities included in their core curricula, a spirit of competitiveness is most often inculcated through co-curricular activities such as essay writing, public debates, singing contests and sports. Through such activities, students learn (individually or in a group) how to compete positively with other students in order to gain excellence and make accomplishments with a spirit of sportsmanship.

Students also learn that competition implies a continuous learning process and a strenuous and resilient effort, without which success is only a dream. Competition also means that students must be accountable for what they have done and lightheartedly accept the consequences of their actions.

It is worth mentioning here that efforts to inculcate a spirit of competitiveness need to embrace not only intellectual values manifested in the core curriculum, but also social, psychological, cultural and recreational values, which are all developed through co-curricular activities.

Yet, these efforts should by no means imply a mutual-exclusiveness of both the core-curriculum and co-curricular activities. Instead, the core curriculum and co-curricular are mutually-reinforcing, suggesting they are complementing each other.

Further, enhanced intellectual development as a result of students’ continuous participation in academic activities needs to be complemented with moral and spiritual growth – vital values that can be instilled through nonacademic activities.

In a competitive era, cultivating a spirit of competitiveness among students is obviously one of the most important agenda items for higher learning institutions. This implies that students must be given plenty of opportunities to explore their own world; to experiment with their own creativity, learning strategies and interaction with both their peers and teachers; and to negotiate schools’ programs imposed on them.

Kikis Praktik tidak Sesuai Kebinekaan

Media Indonesia, halaman  11

Negara semestinya membangun mekanisme pengawasan terhadap praktik pendidikan yang tidak sejalan dengan ideologi kebangsaan dan kebinekaan di sekolah. Hal itu merupakan salah satu poin rekomendasi bagi pemerintah dalam focus group discussion (FGD) kelompok pendidikan dalam seminar dan lokakarya bertema Indonesia di persimpangan: Negara Pancasila vs negara agama, yang berlangsung di Hotel Aryaduta, Jakarta, Sabtu, 8 April 2017 lalu.

Menurut Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Musdah Mulia, praktik yang dimaksud di atas marak terjadi, bahkan di sekolah negeri. Dalam FGD yang difasilitasi Henny Supolo Sitepu dan George Sicilia itu juga dihasilkan empat poin rekomendasi lain.
Pertama, negara mesti membuat kebijakan untuk melawan diskriminasi dan intoleransi di lingkungan pendidikan dengan melibatkan perempuan dan anak dalam pengembangan kebijakan pendidikan dimaksud. Kedua, negara mesti membuat kebijakan pendidikan inklusif yang mendorong dan mempromosikan perjumpaan antarkelompok masyarakat/siswa.

Ketiga, mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara dan living values seperti toleransi, keragaman, dan kebinekaan ke dalam kurikulum pendidikan. Dan keempat, mengembangkan kapasitas guru, termasuk guru agama (madrasah dll) dalam memahami nilai-nilai Pancasila, ideologi kebangsaan, toleransi, dan keragaman.

FGD itu juga menghasilkan rekomendasi bagi masyarakat. Salah satunya ialah menjadikan rumah dan lingkungan sebagai fokus pendidikan dengan orangtua dan masyarakat sebagai teladan bagi anak-anak.

Eliminate Educational Practice having No Diversity Value

Media Indonesia, page 11

The country should build a mechanism to supervise educational practice that is not in accordance with national ideology and diversity at schools. This was one of the recommendations for the government from the Focus Group Discussion (FGD) of educational group in seminar and workshop themed Indonesia at the Intersection: Country of Pancasila vs Country of Religion which was held in Aryaduta Hotel, Jakarta, on Saturday, April 8, 2017.

According to Secretary General (Sekjen) of Indonesian Conference on Religion and Peace (IRP), Musdah Mulia, the above practice often occurs, even in state schools. Such FGD was facilitated by Henny Supolo Sitepu and George Sicilia and resulted in four recommendation.

First, the country should create a policy to fight discrimination and intolerance in educational environment by involving women and children in the development of this educational policy. Second, the country should create an inclusive educational policy that supports and promotes meetings between groups of communities/ students.

Third, integrating the values of Pancasila as the nation’s ideology and living values such as tolerance, variety, and diversity into the educational curriculum. Fourth, developing teachers’ capacities, including religious teachers (Islamic schools, etc.) in understanding the values of Pancasila, national ideology, tolerance, and variety.

This FGD also results in recommendations for the community, one of which being to create the home and environment as an educational focus, parents and the community as a role model for children.