Kompas, halaman 12, Sabtu, 3 Juni
Wacana melibatkan presiden dalam pemilihan rektor perguruan tinggi negeri dinilai menjurus politisasi terhadap lembaga akademik. Meski dilatarbelakangi misi pengendalian radikalisme di kampus, wacana itu harus dikaji kritis karena bertentangan dengan era otonomi. Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Rochmat Wahab mengatakan, dalam penyelenggaraan PTN jangan ada unsur kekuatan politis yang dikedepankan atau dikuatkan. Meski hal politis tidak bisa lepas juga dari kampus, harus diingat PT merupakan lembaga akademik dan memiliki otonomi kampus. Menurut dia pelibatan presiden kembali dalam penetapan rektor berarti mengembalikan jabatan rektor sebagai pejabat eselon I. Perlu pula dipikirkan konsekuensinya pada perubahan-perubahan aturan yang ada.
Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Herry Suhardiyanto mengingatkan, akan timbul beragam konsekuensi jika presiden dilibatkan dalam pemilihan dan penentuan rektor. Herry mengatakan, pelibatan otoritas presiden dalam pemilihan rektor PTN yang dikaitkan dengan ancaman radikalisme seharusnya dipertimbangkan.
Sekarang ini, lanjut Herry, masalah utama yang umumnya dihadapi PTN adalah keterbatasan dana untuk pengembangan riset serta sarana/prasarana standar penunjang mutu pendidikan. Selain itu, kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan perlu lebih diperhatikan oleh pemerintah. Hal-hal tersebut seharusnya lebih diprioritaskan untuk ditangani pemerintah.
Sementara itu, Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Satryo Soemantri Brodjonegoro mengemukakan, intervensi pemerintah bisa dilakukan jika kondisi kampus bertentangan dengan Pancasila. Jangan karena kepentingan pribadi atau kelompok.