Media Indonesia, halaman 11
Wacana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan program Full Day School atau sekolah lima hari mendapatkan dukungan sekaligus kritikan dari sejumlah pihak. Dari sebagian yang mengkritik, terdapat Maarif Institute menyambut baik kebijakan Menteri Muhadjir Effendy tersebut.
Direktur Eksekutif Maarif Institute M Abdullah Darraz di Jakarta, kemarin, mengatakan, pada dasarnya Maarif Institute mendorong kebijakan ini. Sekolah memiliki peran lebih aktif dan leluasa dalam upaya melawan radikalisme yang sering kali dilakukan di luar jam sekolah. Ia juga berpendapat asumsi-asumsi penolakan yang dilontarkan sebagian pihak terhadap kebijakan ini hendaknya dapat didialogkan secara konstruktif.
Sementara itu, kritik tajam juga dilontarkan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Amizar Isma. Dia menilai masih banyak yang harus dikaji lebih lanjut terkait kebijakan tersebut. Mizar mengatakan, kesalahan pertama Kemendibud kurang menimbang dan mengakomodasi aspirasi berbagai pihak. Kebijakan ini sama dengan konsep full day school, dimana dengan 5 hari waktu sekolah berarti ada penambahan waktu setiap harinya menjadi 8 jam waktu sekolah. Hal ini akan menyebabkan waktu bermain dan bersosialisasinya anak-anak dengan teman-teman mereka berkurang.
Padahal menurut Mendikbud, penguatan karakter tersebut tidak berarti siswa akan belajar selama delapan jam di kelas. Namun, siswa akan didorong melakukan aktivitas yang menumbuhkan budi pekerti serta keterampilan abad ke-21. Tak hanya di sekolah, lingkungan seperti masjid, gereja, pura, lapangan sepak bola, museum, dan sanggar seni dapat menjadi sumber belajar dengan proporsi pembentukan karakter 70% dan pengetahuan 30%.