Kompas, halaman 10
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 8 Tahun 2017 mewajibkan 20 persen dan bantuan operasional sekolah (BOS) dialokasikan untuk pengadaan buku pelajaran. Ketentuan itu harusnya membuat siswa bisa mendapat buku pelajaran secara gratis karena anggaran 20 persen itu dinilai cukup untuk membeli buku pelajaran yang dibutuhkan. Namun, kenyataannya di sejumlah sekolah di DI Yogyakarta masih ditemukan pungutan terhadap orangtua siswa dengan pengadaan buku pelajaran.
Demikian kesimpulan kajian lembaga swadaya masyarakat Pendidikan untuk Indonesia (Pundi) yang dipaparkan pada Rabu (14/6) di Yogyakarta. Kajian ini khusus menganalisis Permendikbud No 8 T/2017 tentang Petunjuk Teknis BOS. Direktur Pundi Imam Sumarlan mengatakan, Permendikbud No 8/2017 secara tegas mengamanatkan sekolah untuk mengalokasikan minimal 20 persen dana BOS untuk pembelian buku teks pelajaran dan buku nonteks pelajaran.
Menurut Imam, selama ini orangtua mengeluhkan tingginya pungutan dari sekolah untuk pembelian buku pelajaran. Seharusnya, dengan pemberlakuan peraturan itu pungutan itu tidak terjadi. Imam menambahkan, Permendikbud No 8/2017 juga membuka kemungkinan pembelian buku pelajaran secara daring melalui katalog elektronik. Menurut Imam, pembelian buku lewat katalog elektronik itu harus didukung karena akan membuat pengadaan buku menjadi lebih transparan. Dengan begitu, potensi korupsi dan kolusi dalam pengadaan bisa diperkecil.
Staf Khusus Mendikbud Fajar Riza Ul Haq mengatakan, kajian Pundi menunjukkan bahwa pengadaan buku di sekolah bisa dilakukan tanpa membebani orangtua murid. Namun, ia mengakui, selama ini masih ada praktik komersialisasi buku pelajaran di sekolah-sekolah. Kementerian menyayangkan praktik-praktik mengomersialkan buku pelajaran. Ada pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil keuntungan dengan menjual buku dengan harga yang tidak normal.