The Jakarta Post, halaman 1
Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah meminta Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan (Kemendikbud) untuk menangguhkan kebijakan baru yang akan memperpanjang jam sekolah. Hal itu dilakukan guna mencegah perpecahan lebih lanjut antara dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah,
Menteri Kebudayaan dan Pendidikan (Mendikbud) Muhadjir Effendy, yang juga merupakan petinggi di Muhammadiyah, pada bulan Juni ini menandatangani sebuah peraturan mengenai penambahan jam belajar sekolah dari lima jam menjadi delapan jam per hari, dan pengurangan jumlah hari sekolah dari enam hari menjadi lima hari dalam sepekan .Kebijakan baru itu akan diterapkan di semua jenjang pendidikan, kecuali sekolah TK dan sekolah berbasis agama.
Terkait kebijkan baru tersebut, jajaran pimpinan NU telah menyatakan keberatannya dengan alasan bahwa anak-anak nantinya tidak lagi memiliki waktu untuk mengikuti kelas sore di madrasah yang sebagian besar dikelola NU.
Sama halnya dengan NU, Muhammadiyah juga mengelola jaringan sekolah, yang kebanyakan adalah sekolah modern dan berpedoman seusai aturan Kemendikbud.
Muhadjir telah berulang kali membela kebijakan baru yang digulirkannya tersebut, dan mengklaim bahwa kebijakan itu akan memberikan lebih banyak waktu untuk “pembangunan karakter,” yang merupakan bagian dari program “revolusi mental” Jokowi.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar kebijakan tersebut ditangguhkan dulu karena akan berdampak terhadap 50 juta siswa di Tanah Air. Seharusnya, keputusan untuk menggulirkan peraturan tersebut hanya bisa dilakukan dalam sebuah rapat kabinet.
Pada hari Kamis kemarin (15/6), NU kembali menegaskan penentangannya terhadap kebijakan baru tersebut. Ketua Umum NU Said Aqil Siroj mengatakan bahwa NU sangat menolak kebijakan baru tentang jam sekolah tersebut karena tidak sesuai dengan program pemerintah dalam membangun karakter siswa. Aqil mengatakan, pendidikan, seharusnya tidak selalu dikaitkan dengan sekolah. Interaksi sosial siswa dengan lingkungan sekitar juga merupakan bagian dari pengembangan karakter yang dapat membawa mereka lebih dekat dengan adat istiadat dan tradisi setempat.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pesantren Nahdlatul Ulama, Abdul Ghaffar Rozin, mengatakan bahwa dia khawatir dengan ketidakpastian masa depan sekolah madrasah dan gurunya.
Secara terpisah, Abdul Muti, Sektretaris Umum PP Muhammadiyah, mengatakan, Muhammdiyah akan mendukung kebijakan baru Kemendikbud tersebut dan akan membuat perubahan operasional belajar sekolah yang dikelolanya agar bisa menyesuaikan dengan rencana lima hari sekolah dalam sepekan. Mu’ti mengatakan bahwa rencana kebijakan tersebut dapat memperbaiki karakter siswa.
Dia meminta mereka yang menentang kebijakan baru tersebut untuk tidak “mempolitisir” kebijakan itu. Karena, lanjutnya, kebijakan itu nantinya akan dilaksanakan secara bertahap dan dilakukan evaluasi secara terus-menerus. yang terpenting adalah pemerintah secara komprehensif menjelaskan kebijakan tersebut kepada publik. Karena, mereka yang menentangnya disebabkan belum mendapat cukup informasi tentang kebijakan tersebut.
Sebelumnya pada hari Rabu (15/6), Muhadjir bertemu dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maruf Amin guna mencari dukungan atas kebijakan barunya itu. Setelah melakukan pertemuan itu, Maruf mengatakan MUI mendukung kebijakan tersebut dan sedang merumuskan rekomendasi yang dapat mendukung rencana kebijakan tersebut.