Kompas, halaman 13
Ketentuan kuota 20 persen untuk peserta didik dari keluarga tidak mampu dalam penerimaan peserta didik rawan diselewengkan. Surat keterangan tidak mampu (SKTM) mudah dipalsukan demi mendapat bangku di sekolah yang diinginkan. Karena itu, hendaknya ada aturan jelas mengenai bukti kemiskinan yang bisa diverifikasi dengan mudah.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Abdullah Ubaid, di Jakarta, Rabu (21/6), mengatakan, semestinya bukti kemiskinan yang digunakan oleh sekolah ataupun lembaga lainnya ialah Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Bantuan Siswa Miskin. Para penerima kartu-kartu itu sudah pasti terdaftar di pangkalan data negara sehingga bisa langsung diverifikasi.
Ia mengkritisi sekolah-sekolah yang masih bertumpu pada SKTM sebagai bukti bahwa calon siswa dari keluarga miskin sehingga bisa masuk ke dalam kuota 20 persen di sekolah. Aturan penerimaan peserta didik baru menegaskan, sekolah tak boleh menarik biaya apa pun dari orangtua. Namun, katanya, ada sekolah yang melakukan jual-beli bangku melalui kuota 20 persen untuk siswa miskin. Oleh sebab itu, lanjutnya, harus ada aturan tertulis melarang pemakaian SKTM.
Sementara itu, Direktur Jenderal Penanganan Fakir Miskin Kementerian Sosial Andi Zainal Abidin Dulung mengatakan, SKTM sudah tidak berlaku karena pemerintah menggunakan data Badan Pusat Statistik yang sudah mengurutkan penduduk Indonesia dari yang terkaya hingga termiskin. Kemensos mengambil 25 persen penduduk di urutan terbawah. Mereka menerima bantuan pemerintah berupa beras miskin, program keluarga harapan, KKS, dan KIP. Data para penerima tengah diintegrasikan oleh Kemsos dengan data pokok pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.