Aktivis Mahasiswa Diajak Lawan Radikalisme di Kampus

The Jakarta Post, halaman 3, Kamis, 29 Juni

Selama beberapa dekade, pemerintah tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan organisasi mahasiswa. Rezim masa lalu sering memandang keberadaan organisasi tersebut dengan kecurigaan. Pada 1978, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan kontroversial yaitu Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) guna ‘mensterilkan’ kampus dari segala jenis aktivitas politik.

Pada 2002, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan Surat Keputusan yang memperkuat kebijakan NKK tersebut, dengan pertimbangan bahwa kampus membutuhkan suasana “kondusif” yang bebas dari “bentrokan politik”.

Namun, pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang kini tengah menghadapi berkembangnya ancaman radikalisme di kampus-kampus tidak akan memakai kebijakan NKK tersebut, karena diyakini  keberadaan organisasi kemahasiswaan justru dapat membantu mengatasi ancaman radikalisme.

Pada Rabu lalu, Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengumpulkan beberapa perwakilan organisasi mahasiswa di kantornya. Pertemuan yang tidak pernah terjadi sebelumnya tersebut diklaim sebagai pertemuan formal pertama  kedua belah pihak sejak diterapkannya kebijakan NKK selama puluhan tahun.

Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) guna membahas berbagai isu-isu yang tengah berkembang saat ini, diantaranya: radikalisme, Nasionalisme, terorisme dan narkoba.

Nasir memandang bahwa organisasi mahasiswa merupakan “mitra” pemerintah dalam melawan radikalisme. Isu radikalime telah menjadi fokus pemerintahan Jokowi di tengah meningkatnya politik sektarian yang dipicu oleh kasus penistaan agama yang dituduhkan terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

Menristekdikti menambahkan, forum-forum seperti ini diperlukan agar organisasi mahasiswa dapat terlibat dalam upaya-upaya menghilangkan radikalisme. Nasir pun terbuka terhadap beberapa pilihan, termasuk mencabut Surat Keputusan Kemendikbud tahun 2002.

Para perwakilan organisasi mahasiswa yang hadir dalam pertemuan itu menyampaikan bahwa mereka menyambut baik usulan pemerintah yang akan melibatkan mereka dalam kampanye anti-radikalisme. Mereka menganggap forum tersebut sebagai “momentum” untuk mendorong terjalinnya komunikasi antara organisasi mahasiswa dan pemerintah.

Mulyadi Tamsir, ketua HMI, sebuah organisasi mahasiswa yang memiliki sekitar 600.000 anggota dan merupakan tempat pelatihan politik Wakil Presiden Jusuf Kalla dan mantan Wakil Presiden Hamzah Haz, mengatakan, HMI selama bertahun-tahun belum diberi cukup ruang. Jika pemerintah mendukung mereka, mereka pun akan membantu pemerintah dalam membatasi radikalisme.

Sementara itu, Chrisman Damanik, ketua GMNI, dimana mantan Ketua MPR (alm) Taufik Kiemas merupakan salah satu mantan anggotanya, memuji keputusan Nasir yang telah mengundang mereka untuk membantu membatasi radikalisme. Karena, lanjutnya, salah satu misi oranisasinya adalah menegakkan Pancasila.

Student activists enlisted to fight radicalism on campus

The Jakarta Post, page 3, Thursday, June 29

For decades, the government has had a rocky relationship with student organizations, which were often viewed with suspicion by past regimes. In 1978 the New Order government issued the controversial Normalization of Campus Life (NKK) policy to ‘sterilize’ campuses from any kind of political activities.

In 2002, the Education Ministry issued a decree that strengthened the NKK policy, taking into account the need to ensure a “condusive” environment on campuses that is free from “political clashes.”

But the President Joko “Jokowi” Widodo administration, which is facing a growing threat of radicalism on campuses, is ready to roll back the policy, as it believes that student organizations could help it quell the threat.

In an unprecedented move, Research, Technology and Higher Education Minister Mohamad Nasir gathered representatives of student organizations at his office last Wednesday, which has been claimed to be the first formal gathering between the two parties since the implementation of the decades-old NKK policy.

The meeting was attended by representatives of the Association of Islamic Students (HMI), the National Indonesian Student Movement (GMNI), the Indonesian Christian Students Movement (GMKI) and the Catholic Students Union (PMKRI) and touched on numerous current issues: radicalism, nationalism, terrorism and drugs.

Nasir highlighted that student organizations were “partners” of the government in countering radicalism, an issue that has somewhat become a focus of the Jokowi administration amid a rise in sectarian politics triggered by the blasphemy case against former Jakarta governor Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama.

The minister further added that more forums were needed to set out how student organizations could be involved in anti-radicalism efforts, but saying that he was open to numerous options, such as revoking the 2002 decree.

Student organization representatives attending the meeting said they welcomed the proposal by the government to involve them in its anti-radicalism campaign, hailing the forum as a “momentum” to foster communication between them and the government.

Mulyadi Tamsir, chairman of the HMI, which has about 600,000 members and was a political training ground for Vice President Jusuf Kalla and former vice president Hamzah Haz, said that HMI has not been given enough space for years. If the government supports them, they will help it [curb radicalism].

While Chrisman Damanik, chairman of the GMNI, whose former members include the late People’s Consultative Assembly (MPR) speaker Taufik Kiemas, praised the move by Nasir to invite them to help curb radicalism, saying upholding Pancasila was also a mission of his organization.

2017, Sebanyak 6.296 Guru Dikirim ke Daerah 3T

Suara Pembaruan, halaman 17, Jumat, 30 Juni

Kekurangan guru di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T) kerap terjadi. Hal itu diungkapkan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sumarna Surapranata. Untuk mengatasi  kekurangan guru di daerah 3T, pemerintah setiap tahun mengirim guru ke wilayah tersebut. Khusus tahun 2017, lanjutnya, ada sebanyak 6.296 guru garis depan (GGD) yang dikirim untuk mengabdi ke daerah 3T.

Pranata menjelaskan, para guru tersebut akan ditempatkan di 183 kabupaten/kota  wilayah 3T di seluruh Indonesia. Proses seleksi GGD sudah berlangsung tahun lalu, namun hasilnya baru diumumkan karena penyesuaian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Seleksi GGD diikuti 6.315 peserta dari 6.348 pendaftar yang dilakukan di 107 tempat uji kompetensi (TUK) di seluruh Indonesia.

Sekretaris Jenderal Kemendikbud Didik Suhardi mengatakan, penempatan merupakan proses akhir seleksi GGD sehingga pemberkasan dan verifikasi tidak perlu lagi, Ia berharap, para GGD bisa bertugas dengan tenang dan betah tinggal di daerah 3T.

Sementara, Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, kekurangan guru sangat banyak terjadi di dearah, karena perbedaan data jumlah guru yang dimiliki oleh pemerintah. Selain itu keberadaan guru honorer yang tidak diperhatikan nasibnya juga menyebabkan kurangnya guru. Ia berharap, pemerintah memberikan kesempatan kepada guru honorer untuk telah memenuhi kualifikasi aparatur sipil negara (ASN) untuk diangkat.

 

 

 

6,296 Teachers being Sent to 3T Areas in 2017

Suara Pembaruan, page 17, Friday 30 June

A lack of teachers in the frontier, outermost, and underdeveloped (3T) areas often occurs. This was stated by the Director General of Teacher and Education Personnel (Dirjen GTK) of the Minister of Education and Culture (Kemendikbud) Sumarna Surapranata. To address the lack of teacher in 3T areas, the government sends teachers to such areas every year. He continued that there were 6,296 Front Line Teachers (GGD) especially being sent to teach in 3T areas in 2017.

Pranata explained that such teachers would be placed in 183 regencies/cities of 3T areas all over Indonesia. The GGD selection already ran last year, however the result has only just been announced because the adjustment to Law Number 23 Year 2014 concerning Local Government. GGD selection was taken by 6,315 participants of 6,348 registrants implemented in 107 competency test places (TUK) across Indonesia.

The General Secretary of Kemendikbud, Didik Suhardi, said that the placement was the last process of GGD selection. Therefore, filling and verification were not necessary. He expected that all GGD would be able to work smoothly and feel at home living in 3T areas.

Meanwhile, the General Head of Indonesian Teacher’s Association (PGRI), Unifah Rosyidi, said that lack of teachers often occurred in the local areas, because of the difference in teacher number data owned by government. The other reason is the fate of honorary teachers, which rarely receives any attention. She expected that the government should provide a chance for honorary teachers who have already met state civil apparatus’ (ASN) qualification to be appointed.

Jadikan Sekolah Rumah Kedua

Kompas, halaman 1, Rabu, 28 Juni

Reformasi sistem pendidikan di sekolah harus dijakankan untuk menjadikan sekolah sebagai rumah kedua siswa. Sekolah harus aman dan menyenangkan sehingga sekolah benar-benar bisa menjadi tempat tumbuh-kembang yang baik dan melindungi anak dari berbagai ancaman fisik, psikis, verbal, dan sosial. Harapannya, tercipta generasi masa depan bangsa yang cerdas dan berkarakter.

Psikolog pendidikan Universitas Surabaya, Anindito Aditomo mengatakan bahwa sebenarnya, sebuah sekolah sudah niscaya wajib ramah anak. Akan tetapi, pada kenyataannya masih ditemukan beberapa sekolah yang belum bisa memberi rasa aman bagi setiap siswanya.

Menyambut tahun ajaran baru, pemerintah pun kembali menyosialisasikan gerakan sekolah ramah anak. Sebelum libur Lebaran, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengajak pemerintah daerah untuk menjadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi siswa.

Bentuk prilaku tidak ramah anak yang kerap dijumpai di sekolah adalah diskriminasi terhadap anak karena alasan latar belakang suku bangsa, agama, dan kepercayaan, serta status sosial-ekonomi orangtua. Selain itu, juga kekerasan yang dialami peserta didik berupa olok-olok, sikap tidak acuh, intimidasi, bahkan kekerasan fisik, baik oleh sesame peserta didik maupun guru dan tenaga kependidikan.

Masa orientasi siswa, kata Muhadjir, harus jauh dari perpeloncoan atau kekerasan. Dalam Sosialiasi Peraturan/Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Rangka Persiapan Awal Tahun Pelajaran 2017/2018, Muhadjir mengatakan masa orentasi siswa dipimpin wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, jangan siswa. Isinya, pengenalan lingkungan belajar yang baru dan membangun nasionalisme atau cinta Tanah Air.

Dalam rangka mewujudkan sekolah sebagai rumah kedua bagi anak, kata Muhadjir, mulai tahun ini diterapkan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi. Tujuannya agar anak dapat bersekolah di lokasi yang tidak jauh dari rumahnya. Upaya ini juga dalam rangka menyamakan layanan mutu pendidikan bagi anak bangsa, yang tidak lagi dilabeli sekolah favorit dan nonfavorit.

Creating a School as Being a Second Home

Kompas, page 1, Wednesday, June 28

Reformation of educational system at a school should be implemented to create a school as being a second home. Schools should be safe and fun, thus schools really become a good place to develop and protect children from various physical, psychic, verbal, and social threats. The expectation of this path is the birth of a future generation that are bright and with strong character.

The educational psychologist of Surabaya University, Anindito Aditom, said that actually a school should be child-friendly. Sadly, however, it’s a fact that a number of schools are not able to provide safety for their students.

Welcoming the new academic year, government has come back to socialize the movement of child-friendly schools. Before Eid holiday, the Minister of Education and Culture, Muhadjir Effendy, invited local government to create schools as a second home for students.

Child-unfriendly behavior often found in schools is discrimination towards children because of their ethnicity, religion, and belief, as well as their parents’ social-economic status.

In addition, violence experienced by students comes in the form of ridicule, unconcerned attitude, intimidation, even physical violence among students, teachers and educational personnel. Muhadjir said that student orientation should be far from initiation or violence. In the Socialization of Regulation/Policy of Primary and Secondary Education in Order to Early Preparation of Academic Year 2017/2018, Muhadjir said that student orientation should be led by deputy headmasters for student division, not by students. The content is introduction of a new learning environment and building of nationalism or love for the Motherland.

Muhadjir stated that to create a school as a second home for children, New Student Admission (PPDB) with zonal system was being applied. The purpose is to enable children to study in locations close to their homes. This effort is also to equalize the quality of educational services for the children of the nation, with schools no longer being labeled as favorite and non-favorite.

 

Mendikbud: Pemerintah Sedang Rumuskan Perpres

Suara Pembaruan, halaman 17, Kamis 29 Juni

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakna, kebijakan Lima Hari Sekolah (LHS) saat ini sedang dirumuskan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum dalam mendukung Permendikbud Nomor 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Pihaknya, lanjut Muhadjir, masih menunggu hasil kerja tim.

Menurut Muhadrji, secara garsi besar hadirnya Perpres  untuk menyempurnakan kebijakan LHS. Adanya Perpres ini, lanjutnya, agar payung hukum LHS ini dapat menaungi lintas kementerian yang terlibat, yaitu Kemendikbud, Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dan Sekretariat Negara (Setneg).

Muhadir menjelaskan, pihaknya pun akan melibatkan pemerintah daerah (pemda) karena sekolah merupakan wewenang pemda. Selain itu, ada beberapa kepala daerah yang menolak kebijakan LHS ini, sehingga perlu diadakan dialog dan menepis anggapan jika kebijakan LHS tersebut bersifat Jawasentris dan tidak melibatkan daerah lain khususnya daerah terluar, terdepan, dan teringgal (3T).

Sementara itu, Staf Ahli bidang Pendidikan Karakter Kemendikbud, Arie Budiman, mengatakan, pihaknya telah mengundang seluruh kepala dinas pendidikan dari 34 provinsi  untuk melakukan dialog bersama  terkait kesiapan sekolah menjalankan LHS. Ia percaya bahwa tidak ada lagi yang menolak setelah memahami subtansi ketentuan LHS dengan benar.

Mendikbud: The Government is Formulating the Presidential Regulation

Suara Pembaruan, page 17, Thursday 29 June

Minister of Education and Culture (Mendikbud) Muhadjir Effendy said the Five-Day School (LHS) policy is currently being formulated in the form of Presidential Regulation (Perpres) as the legal framework in supporting.

Permendikbud No. 23 of 2017 on School Days. His side, continued Muhadjir, is still awaiting the result of team work.

According to Muhadjir, in summary the presence of Perpres is to perfect the LHS policy.  The existence of this regulation, he added, is so that this LHS legal umbrella could oversee across ministries involved, namely Kemendikbud, Ministry of Religious Affairs (Kemenag), Ministry of Home Affairs (Kemendagri), the Ministry of Finance (Kemenkeu), the Ministry of State Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reform (Kemenpan- RB), Ministry of Justice and Human Rights (Kemenkumham) and the State Secretariat (Setneg).

Muhadir explained his party would also involve the regional administrations (pemda) because the school is the authority of the pemda.  In addition, there are some regional heads who reject this LHS policy, so there should be dialogue and dismissing the notion that the LHS policy is Javacentric and does not involve other regions especially the outermost, frontier, and disadvantaged regions (3T).

Meanwhile, the expert staff of Kemendikbud Character Education, Arie Budiman, said his party had invited all education agency heads of 34 provinces to conduct dialogue regarding the readiness of schools to run LHS.  He believes that no one will reject it after properly understanding the substance of the LHS provisions.

Pengelolaan Kelas Jadi Kunci Pembelajaran

Kompas, halaman 10, Juma, 30 Juni

Standar capaian kurikulum bukanlah penghalang bagi guru untuk memaksimalkan pembelajaran terhadap para siswa. Sistem pengelolaan kelas yang akan menekankan kepada kemampuan tiap-tiap siswa menjadi kunci utama pembelajaran. Endah Priyati, guru Sejarah SMAN 12 Kota Bekasi, Jawa Barat, mengatakan setiap guru harus hafal naman-nama siswa berserta keunikan mereka. Sebab, ada siswa yang kuat di sisi visual, audio, gerak, dan kognitif.

Selain itu, Endah juga mengetahui latar belakang pola asuh tiap-tiap siswa. Hal ini sangat membantu dirinya dalam mengomunikasikan materi ajar kepada siswa dan orangtua. Dialog itu berkesinambungan dengan perkembangan yang tercatat.

Elanda Rosita, Wakil Kepala sekolah SDN 2 Pagi Lebak Bulus, Jakarta, mengatakan, dengan kurikulim pelajaran SD yang berkonsep tematik, guru harus kreatif dan memikirkan pendekatan-pendekatan baru dalam mengajar. Jika pendekatannya monoton, siswa tidak bisa menangkap materi yang diajarkan. Bahkan, siswa yang kemampuan kognitifnya kurang akan semakin susah mengikuti pelajaran.

Elanda juga rutin mengumpulkan orangtua siswa untuk diberi arahan, biasanya setiap akan berganti bab di buku pelajaran. Karena waktu siswa di sekolah terbatas, penyerapan materi pelajaran secara optimal bisa dilakukan jika dirumah siswa juga dibimbing belajar oleh orangtua.

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Awaludin Tjalla, mengatakan bahwa guru sebagai manajer di kelas harus mampu mengatur kelas, waktu, dan menentukan intervensi yang sesuai dengan karakteristik anak.

Classroom Management is the Key for Learning

Kompas, page 10, Friday, June 30

The standard curriculum achievement is not an obstacle for teachers to maximize learning for students. The classroom management system that emphasizes each student’s abilities will be the key to learning. Endah Priyati, a history teacher of SMAN 12 Bekasi City, West Java, said that every teacher must memorize the names of the students along with their uniqueness. Because, there are students who are strong in the visual, audio, motor, and cognitive side.

In addition, Endah also knows the background of each student’s parenting pattern. This is very helpful for communicating teaching materials to students and parents. The dialogues are sustainable with recorded developments.

Elanda Rosita, Deputy Principal of SDN 2 Pagi Lebak Bulus, Jakarta, said that with the primary school curriculum having thematic concept, teachers should be creative and think about new approaches in teaching. If the approach is monotonous, students cannot capture/absorb the materials taught.  In fact, students whose cognitive abilities are lacking are less likely to follow the lessons.

Elanda also regularly gathers parents to be provided direction, usually before each change of chapters in textbooks. Because students’ time in school is limited, the absorption of learning materials could optimally be done if students are also guided by parents at home.

Head of the Center for Books and Curriculum of Kemendikbud, Awaludin Tjalla, said that teachers as managers in the classrooms should be able to manage class, time, and determine the appropriate interventions in line with the characteristics of children.