Tonjolkan Ide Produktif

Kompas, halaman 12

Kebinekaan Indonesia pada era demokrasi dan globalisasi semakin menghadapi tantangan. Dunia pendidikan diminta mampu menghasilkan generasi pembelajar yang dapat mengembangkan beragam pemikiran solutif dan produktif bagi bangsa.

Koordinator Staf Ahli Kepolisian Republik Indonesia Inspektur Jenderal Iza Fadri dalam seminar wisuda Universitas Terbuka (UT) di Tangerang Selatan, Senin (8/5), mengatakan, semua elemen bangsa, termasuk dunia pendidikan, harus diajak untuk terus memperkecil perbedaan kepentingan. Menurut Iza, mahasiswa harus mampu menjadi agen perubahan dalam hidupnya agar dapat menghasilkan pemikiran solutif dan produktif bagi bangsa.

Rektor UT Tian Belawati mengatakan, wawasan kebangsaan dengan menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang baik sangat penting bagi UT sebagai kontribusi perguruan tinggi. UT memiliki mahasiswa di seluruh Indonesia, bahkan mancanegara.

Secara terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada peresmian pendirian SMK 1 Muhammadiyah di Kabupaten Bogor, akhir pekan lalu, mengatakan, sikap keindonesiaan siswa harus bagus. Sebab, pendidikan diselenggarakan sebagai pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, lanjutnya, doktrin menyesatkan tidak boleh dimasukkan.

Dalam diskusi pendidikan yang digelar Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia, ahli pendidikan religius ACDP Indonesia Muljani Nurhadi mengatakan, pendidikan kebinekaan harus mampu diimplementasikan di sekolah dengan cara yang menginspirasi siswa. Dari studi yang didukung ACDP, sebenarnya pendidikan agama Islam formal memiliki peran besar untuk mempromosikan budaya serta nilai toleransi dan perdamaian.

Studi ini menyatakan sudah banyak nilai dan prinsip yang tertanam dalam kurikulum. Namun, perlu implementasi yang lebih baik lagi. Sekolah Guru Kebinekaan berupaya mengembalikan semangat dan motivasi pendidikan ke nilai-nilai kebangsaan, kebinekaan, dan kemanusiaan. Guru-guru melalui proses pembelajaran dan penyegaran diajak mencari solusi bagi permasalahan intoleransi yang terjadi di masyarakat dengan memakai potensi yang ada di sekitar mereka.

Highlight Productive Ideas

Kompas, page 12

The diversity of Indonesia in the era of democracy and globalization increasingly faces challenges. The world of education is asked to produce a generation of learners who can develop a variety of solution-based and productive ideas for the nation.

The Coordinator of the Indonesian Police Expert Staff Inspector General Iza Fadri at the Open University (UT) graduation seminar in South Tangerang, Monday (8/5), said all elements of the nation, including education, should be encouraged to continue to minimize differences of interests. According to Iza, the student must be able to be an agent of change in his life in order to produce solution-based and productive thinking for the nation.

UT Rector Tian Belawati said, the insight/perception of nationalism by instilling good nationalistic values is very important for UT as the contribution of higher education.  UT has students throughout Indonesia, even overseas.

Separately, Minister of Education and Culture Muhadjir Effendy at the inauguration of the establishment of SMK 1 Muhammadiyah in Bogor Regency, said last weekend,  the students’ attitude of being Indonesian should be good. Therefore, education is organized as a culturization and empowerment of learners that lasts a lifetime.  In the implementation of education in schools, he continued, misleading doctrines should not be included.

In an educational discussion held by Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia, ACDP Indonesia religious education expert Muljani Nurhadi said that diversity education should be able to be implemented in schools in ways that inspire students. From ACDP-supported studies, actually formal Islamic religious education has a major role to promote culture and values of tolerance and peace.

This study states that there are many values and principles that are embedded in the curriculum. However, it needs better implementation. Diversity Teachers’ School seeks to restore the spirit and motivation of education to the values of nationality, diversity, and humanity. Teachers through the process of learning and refreshment are invited to find solutions to the problems of intolerance that occur in society by using existing potential that is around them.

Layanan Pendidikan di Daerah Belum Capai Standar Nasional

www.kompas.id

Layanan pendidikan di daerah-daerah masih jauh dari standar nasional. Karena itu, komitmen pada peningkatan layanan pendidikan berkualitas yang memenuhi standar nasional harus dipastikan yang dimulai dari terpenuhinya standar pelayanan minimal.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kemdikbud, Thamrin Kasman mengatakan, dalam layanan pendidikan ada dua acuan, yakni standar pelayanan minimal dan standar pendidikan nasional. Harapannya tentu delapan standar nasional yang dicapai, tapi daerah-daerah umumnya baru di level tiga dari level enam yang mesti dicapai. Hal itu disampaikan Thamrin dalam acara Kongkow Pendidikan Diskusi dan Tukar Pendapat alias Kopi Darat yang digelar ACDP Indonesia di Jakarta, Rabu (4/5). Tema kali ini adalah “Standar Pelayanan Minimal Pendidikan: Bukan Sekadar Pemenuhan Sarana dan Prasarana”.

Menurut Thamrin, daerah jangan puas dengan standar minimal. Sebab, pendidikan merupakan investasi bangsa untuk semua warga negara. Pemerintah daerah harus punya komitmen kuat dalam menyediakan layanan pendidikan yang tinggi standarnya untuk membuat masyarakat mampu kompetitif.

Bob Sagala, Kepala Subdirektorat Perencanaan Wilayah Jawa-Bali, Ditjen Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri, mengatakan, pemerintah daerah harus memastikan semua warga negara, termasuk dari keluarga miskin, terpenuhi kebutuhan dasarnya. Pendidikan termasuk salah satu kebutuhan dasar untuk hidup layak yang harus dipenuhi negara.

Education Services in the Regions Yet to Reach National Standards

www.kompas.id

The education services in the regions are still far from national standards. Therefore, a commitment to the improvement of quality education services that meet national standards must be ensured starting from the fulfillment of minimum service standards.

Secretary of the Directorate General of Primary and Secondary Education, Kemdikbud, Thamrin Kasman said that in education services there are two references, namely minimum service standards and national education standards. The expectation is of course the achievement of eight national standards, but generally in the regions they have only reached level three of level six that must be achieved. This was conveyed by Thamrin in the Education Discussion and Exchange of Opinions Gathering also known as Kopi Darat held by the ACDP Indonesia in Jakarta, Wednesday (4/5). The theme this time is “Education Minimum Service Standards: Not Just Fulfillment of Facilities and Infrastructure”.

According to Thamrin, the regions should not settle for minimum standards.  This is because education is the nation’s investment for all citizens. Local administrations should have a strong commitment to providing high standard of education services to make people competitive.

Bob Sagala, Head of Sub-Directorate of Java-Bali Regional Planning, Directorate General of Regional Development, Ministry of Home Affairs, said that the local administrations should ensure all citizens, including from poor families, to have their basic needs fulfilled.  Education is one of the basic needs for decent living that the state must fulfill.

Link: https://kompas.id/baca/dikbud/2017/05/03/layanan-pendidikan-di-daerah-belum-capai-standar-nasional/

Dampak Baik Teknologi untuk Anak Sekolah Dasar

www.viva.co.id

Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan sudah banyak diterapkan oleh beberapa sekolah di kota maupun kabupaten. SPM dinilai mampu menjadi tolak ukur dalam membangun sistem pendidikan menjadi lebih baik. Sejak diperkenalkan di tahun 2004, SPM menjadi kunci kebijakan di Indonesia dengan tujuan meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Dituturkan Sekjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Thamrin Kasman, pelayanan yang terstandardisasi merupakan hak mutlak pada setiap warga negara.

Thamrin mengatakan, berbicara layanan berarti bicara mengenai standar atau ukuran. Itu adalah hak mutlak setiap warga negara dan harus ditanggung oleh pemerintah. Esensi standar minimal ada dua yaitu mengukur kinerja sesuai tugas dan UU dan pijakan untuk menuju standar nasional. Hal itu disampaikan dalam media diskusi KOPI DARAT, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, (3/5).

Salah satu standar yang berkembang yakni melalui teknologi. Adanya kehadiran teknologi, diyakini Thamrin, dapat mempermudah proses evaluasi kinerja pemerintah daerah setempat dalam memberikan hak kepada anak yang duduk di bangku sekolah dasar. Semakin berkembangnya teknologi informasi, yang bisa merespons tiap aktivitas, sebetulnya kinerja itu pada akhirnya bisa dievaluasi siapa saja. Maka langkahnya dapat diukur sendiri pula.

Langkah konkret yang telah dilaksanakan melalui perkembangan teknologi yakni di sekitaran daerah istimewa Yogyakarta. Dituturkan Rahayu, Kepala Sekolah SDN 1 Maguwoharjo, melalui teknologi, absensi para guru dapat didata dengan cepat. Rahayu mengatakan, fingerprint itu mempermudah pihaknya untuk mendata jumlah total waktu para guru dalam mendidik anak-anak, karena anak harus mendapatkan haknya dalam menerima pendidikan yang sesuai dengan kebijakan.

Good Impact of Technology for Primary School Children

www.viva.co.id

The Minimum Service Standards (SPM) of Education has been widely applied by several schools in the city and regency. SPM is considered to be a benchmark in building the education system for the better. Since its introduction in 2004, SPM has been the key to policy in Indonesia with the aim of improving the performance of the regional administrations.  As told by the Secretary General of Primary and Secondary Education, Thamrin Kasman, standardized service is an absolute right to every citizen.

Thamrin said speaking of services means talking about standards or measure. It is the absolute right of every citizen and must be borne by the government. There are two essences of the minimum standard, namely to measure performance according to the task and the law and the footing to reach the national standard. This was conveyed in the media discussion KOPI DARAT (meet), at the Ministry of Education and Culture, Jakarta, (3/5).

One of the developing standards is through technology. The presence of technology, Thamrin believes, can facilitate the process of evaluating the performances of regional administrations in providing the rights to children who are in primary school. The growing information technology, which can respond to every activity; actually the performance could ultimately be evaluated by anyone. So the steps can be measured on their own as well.

Concrete steps that have been implemented through the development of technology are around the special region of ​​Yogyakarta.  Rahayu, Principal of SDN 1 Maguwoharjo said, through technology, teacher attendance could be recorded quickly. Rahayu said the fingerprint made it easier for her to record the total amount of teachers’ time in educating the children; since the child must obtain his/her right to receive education in accordance with policy.

Link: http://life.viva.co.id/news/read/911545-dampak-baik-teknologi-untuk-anak-sekolah-dasar

SPM Pendidikan Bukan Sekadar Pemenuhan Sarana dan Prasarana

www.harianterbit.co

Disahkannya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti UU Nomor 32 Tahun 2004, adalah memontum peninjauan kembali rumusan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang menjadi tolak ukur kinerja pemerintah daerah selama ini. Saat ini pula Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang SPM sebagai turunan dari UU No 23 Tahun 2014 sedang dalam proses pengesahan.

Wakil Bupati Gresik Dr H Moh Qosim mengatakan, proses penyusunan RPP SPM baru yang dimotori Kementerian Dalam Negeri tersebut, mencatat sejumlah dinamika penting antara lain, proses mengatasi sejumlah tantangan dalam menyamakan pemahaman mengenai SPM, juga mengenai ukuran pemenuhan SPM pendidikan sesuai dengan kondisi daerah yang beragam. Hal itu disampaikan Qosim ketika menjadi narasumber acara Kopi Darat yang bertema “Standar Pelayanan Minimal Pendidikan: Bukan Sekadar Pemenuhan Sarana dan Prasarana”, di Ruang Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, Rabu (3/5).

Setiap peserta didik berhak mendapatkan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan indikator-indikator standar pelayanan yang telah ditetapkan. Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar (SPM Dikdas) adalah tolak ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota. Tujuan SPM Dikdas adalah untuk menjamin bahwa di setiap SD/MI dan SMP/MTs tersedia kondisi minimal demi keberlangsungan proses belajar-mengajar yang berkualitas. Peraturan Mendikbud No 23 Tahun 2013 tentang SPM Dikdas di kabupaten/kota mengatur prinsip serta indikator Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar (SPM Dikdas) yang harus dipenuhi di berbagai penjuru Tanah Air.

Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Perencanaan Wilayah Jawa-Bali Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Drs Bob Sogalo menjelaskan, terdapat 27 indikator SPM Dikdas tingkat SD/MI dan SMP/MTs terdiri dari, 14 indikator tingkat kabupaten/kota (pemerintah daerah) serta 13 indikator tingkat satuan pendidikan (sekolah). Indikator tersebut meliputi sarana prasarana pendidikan yang layak, pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas dan kompeten, kurikulum yang baik, serta penjamin mutu pendidikan yang baik.

Ia menambahkan, rancangan permendikbud tersebut diharapkan bukan hanya menjadi payung bagi penyatuan sejumlah indikator dan standar yang ada di bidang pendidikan, tetapi lebih penting lagi, bisa menjadi langkah maju untuk meningkatkan layanan pendidikan di Indonesia secara terpadu. Untuk mendorong terwujudnya standar pelayanan minimal tersebut, juga dilakukan Program Pengembangan Kapasitas Penerapan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar (PKP-SPM Dikdas) sebagai bantuan teknis yang didanai oleh Uni Eropa (EU) dan dikelola oleh Bank Pembangunan Asia (ADB.

Education SPM is Not Merely Fulfillment of Facilities and Infrastructure

www.harianterbit.co

The enactment of Law Number 23 Year 2014 on Regional Administrations in lieu of Law Number 32 Year 2004 is the momentum of a review on the formulation of Minimum Service Standards (SPM) which becomes the benchmark of regional administration performance so far. Currently, the Government Regulation Plan (RPP) on SPM as a derivative of Law No. 23 of 2014 is in the process of ratification.

Gresik Vice Regent Dr H Moh Qosim said the process of developing the new SPM RPP, led by the Ministry of Home Affairs, noted a number of important dynamics, among others, the process of overcoming a number of challenges in equating understanding of SPM, as well as on the measure of the fulfillment of SPM in accordance with the diverse regional conditions. This was stated by Qosim when he was the guest speaker of the event called “Minimum Service Standards for Education: Not Just Fulfillment of Facilities and Infrastructure”, in the Library of the Ministry of Education and Culture, in Jakarta, Wednesday (3/5).

Each learner is entitled to obtain good education services in accordance with predetermined service standard indicators. Minimum Service Standards for Basic Education (SPM Dikdas) is a benchmark for the performance of basic education services through formal education channels held by regency/ city administrations.  The purpose of SPM Dikdas is to ensure that in every SD/ MI and SMP/ MTs there are available minimum conditions for the sustainability of quality teaching and learning processes. Minister of Education and Culture Regulation No. 23 of 2013 on SPM Dikdas in regencies/ cities regulates the principles and indicators of the Minimum Service Standards for Basic Education (SPM Dikdas) that must be met in various parts of the country.

Meanwhile, the Head of Sub-Directorate of Java-Bali Regional Planning, Directorate General of Regional Development of the Ministry of Home Affairs, Drs. Bob Sogalo, explained that there are 27 indicators of SPM Dikdas in Primary Schools (SD)/ MI and SMP/ MTs consisting of 14 indicators of the regency/city (regional administration) level and 13 indicators of the education unit level (school). These indicators include appropriate educational infrastructure, qualified and competent educators, a good curriculum, and good education quality assurance.

He added that the proposed permendikbud is expected not only to be an umbrella for the unification of a number of indicators and standards that exist in the field of education, but more importantly, could be a step forward to improving education services in Indonesia in an integrated manner. To encourage the realization of these minimum service standards, the Capacity Building Program for the Implementation of Minimum Service Standards for Basic Education (PKP-SPM Dikdas) is also conducted as an EU-funded technical assistance and managed by the Asian Development Bank (ADB).

Link: http://harianterbit.co/2017/05/03/spm-pendidikan-bukan-sekadar-pemenuhan-sarana-dan-prasarana/

Kemendikbud: SPM Pendidikan Bukan Sekedar Pemenuhan Sarana dan Prasarana

www.indonews.id

Disahkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU nomor 32 tahun 2004, adalah momentum peninjauan kembali rumusan standar pelayanan minimal (SPM) yang menjadi tolak ukur kinerja pemerintah daerah. Demikian dikatakan staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Hubungan Pusat dan Daerah Dr James Modow.

Menurut James, proses penyusunan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) SPM yang dimotori Kemendagri terdapat sejumlah dinamika penting. Antara lain proses mengatasi sejumlah tantangan dalam menyamakan pemahaman mengenai SPM. Selain itu, ukuran SPM pendidikan sesuai dengan kondisi daerah yang beragam. Hal itu disampaikan James dalam sebuah diskusiyang diselenggarakan Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia, Rabu (3/5), di Jakarta.

Adanya dinamika dalam penyusunan RPP SPM, kata James, merupakan momentum penting bagi Kemendikbud untuk meninjau kembali indikator SPM pendidikan yang ada. Ia mengatakan, Indonesia telah memiliki peraturan Mendikbud 23/2013 mengenai SPM Dikdas yang di dalamnya memuat 27 indikator.

Lebih jauh James berharap, dengan melalui proses penyusunan SPM, semua pihak bisa memahami bahwa tujuan SPM pendidikan adalah pemerataan layanan pendidikan yang berkualitas di Indonesia. Dengan kesadaran bahwa SPM pendidikan adalah kunci menuju peningkatan kualitas pendidikan, dirinya berharap bahwa indikator yang telah  disusun bersama itu benar-benar mencerminkan penekanan kualitas itu, bukan sekedar pemenuhan sarana dan prasarana.

Kemendikbud: Education SPM Is Not Merely Fulfilling Facilities and Infrastructure

www.indonews.id

The ratification of Law No. 23 of 2014 on Regional Administrations in lieu of Law No. 32 of 2004 is the momentum for reviewing the formulation of the minimum service standard (SPM), which becomes the benchmark for regional administration performance. This was stated by expert staff of the Minister of Education and Culture on Central and Regional Relations Dr. James Modow.

According to James, the process of drafting the Government Regulation Plan (RPP) of SPM which is driven by Kemendagri there are a number of important dynamics. Among other things is the process of overcoming a number of challenges in equating the understanding of SPM. In addition, the measure of education SPM is in accordance with the diverse regional conditions. This was stated by James in a discussion organized by Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Indonesia, Wednesday (3/5), in Jakarta.

The presence of dynamics in the preparation of RPP SPM, James said, is an important momentum for Kemendikbud to review the existing indicators of education SPM.  He said that Indonesia has a Minister of Education regulation 23/2013 on SPM Dikdas which contains 27 indicators.

Furthermore, James hopes that through the process of preparing the SPM, all parties could understand that the purpose of education SPM is the equitable distribution of quality education services in Indonesia. With the awareness that the education SPM is the key to improving the quality of education, he hopes that the indicators that have been jointly compiled really reflect the emphasis on quality, not merely the fulfillment of facilities and infrastructure.

Link: http://indonews.id/kemendikbud-spm-pendidikan-bukan-sekedar-pemenuhan-sarana-dan-prasarana/