Lindungi Siswa dari Bahaya Merokok

Jawa Pos, halaman 30

Dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2017 yang diadakan pada awal Februari 2017, Presiden Jokowi mengimbau masyarakat mengendalikan penggunaan rokok. Secata khusus, presiden meminta masyarakat ikut berperan untuk menghindarkan siswa dari bahaya merokok. Sesuai harapan presiden, masyarakat mesti bertanggung jawab agar para pelajar memiliki kualitas yang baik. Dengan begitu, Indonesia bisa mencapai bonus demografi pada 2025 – 2030. Salah satu cara untuk melakukan hal itu adalah mengendalikan tembakau di kalangan pelajar.

Komnas Pengendalian Tembakau mengajak semua pihak bersatu dan bergerak bersama melakukan segala upaya untuk menjaga para pelajar agar tidak mengonsumsi rokok. Tujuannya, demi pembangunan Indonesia yang lebih baik pada masa depan. Communication and Media Relations Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi mengatakan bahwa masyarakat harus memutus rantai generasi perokok dan menjaga generasi selanjutnya untuk tidak kembali jatuh pada cengkraman adiksi nikotin rokok yang mendegradasi produktivitas manusia.

Emil Salim, salah satu Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau, turut mengajak masyarakat melawan nikotin dalam rokok. Ia mengatakan hal ini bukan bermaksud untuk memusuhi petani tembakau, tetapi memusuhi kandungan berbahaya dalam rokok.  Emil berpendapat, ketergantungan nikotin pada rokok dikhawatirkan menurunkan dayua saing generasi muda Indonesia. Karena itu, masyarakat perlu menjaga pelajar dari zat adiktif nikotin dan ribuan bahan kimiawi berbahaya pada rokok. Pengendalian tembakau tak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat, tetapi juga pemerintah.

Protect Students from Hazards of Smoking

Jawa Pos, page 30

In the 2017 National Health Work Meeting held in early February 2017, President Jokowi urged the public to control the use of cigarettes. In particular, the President asked the public to play a role in preventing students from the hazards of smoking. The President expects society to be responsible for students to be well qualified. That way, Indonesia can achieve the demographic bonus in 2025 – 2030. One way to do that is to control/ curb tobacco among students.

National Commission on Tobacco Control invites all parties to unite to strive to prevent students from consuming cigarettes. The goal is for the sake of better development of Indonesia in the future. Communication and Media Relations of the National Commission on Tobacco Control, Nina Samidi said that people must break the chain of the smoking generation and keep the next generation from falling back on cigarette nicotine addiction that degrades human productivity.

Emil Salim, one of the Advisory Board of the National Commission for Tobacco Control, also invites people to fight nicotine in cigarettes. He said that there is no intention to being against tobacco farmers, but to fight the harmful content in cigarettes. Emil argues that nicotine addiction from cigarettes is feared to reduce the competitiveness of Indonesia’s young generation. Therefore, the public needs to keep students from nicotine addictive substances and thousands of harmful chemicals in cigarettes. Tobacco control is not only the responsibility of society, but also the government.

Remaja dan Anak Rentan Terhadap Predator di Media Sosial

The Jakarta Post, halaman 4

Baru-baru ini terjadinya sebuah kasus di mana seorang gadis berusia 17 tahun diduga disekap selama hampir 48 jam oleh seorang pria yang ia kenal dari Facebook menunjukan rentannya anak-anak terekspos di media sosial. Remaja itu, Amelia Deva Puspita, warga Pejompongan, Tanah Abang, di Jakarta Pusat, dikabarkan dikurung selama hampir dua hari oleh Hendra Kurniawan, 22 tahun, seorang pengangguran.

Kasus tersebut bermula pada hari Selasa minggu lalu saat Amelia memberi tahu ibunya, Suharmi, 51 tahun, bahwa pada sore hari ia akan pergi. Namun, Amelia ternyata tidak kembali ke rumah pada malam harinya. Anggota keluarga berusaha untuk mencarinya, namun pihak keluarga tidak dapat menghubungi ponsel Amelia.

Suharmi kemudian melaporkan hal tersebut ke Polda Metro Jaya setelah diberitahu oleh seorang gadis berusia 17 tahun bernama Lia bawa ia menerima pesan dari Amelia pada hari Kamis yang memberitahukan bahwa seseorang telah menyekapnya. Kapolres Palmerah Komisaris Armunanto Hutahean mengatakan bahwa dalam pesan tersebut, Amelia meminta pertolongan karena seorang pria yang baru saja ia temui telah mengurungnya.

Polisi dengan cepat menindaklanjuti laporan tersebut dan menemukan Amelia dikurung di sebuah rumah kontrakan di wilayah Kemanggisan, Jakarta Barat, tempat dimana Hendra ditangkap.

Ratusan anak-anak dan remaja seperti Amelia telah menjadi korban predator media sosial. Sejak Januari tahun ini, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) telah menerima 139 laporan tentang anak-anak dan remaja yang menjadi korban pelecehan seksual dan kekerasan setelah melakukan interaksi di media sosial.

Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, situs jejaring sosial memberikan kesempatan tak terbatas kepada pengguna internet, termasuk anak-anak dan remaja, untuk terhubung dengan pengguna lain dan membuka jalan bagi mereka untuk mengekspos diri mereka sendiri, yang seringkali membawa mereka ke dalam bahaya.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati memperingatkan bahwa penetrasi internet yang kuat bisa berbahaya bagi anak-anak dan remaja jika tingkat melek internet mereka rendah, dan orang tua mereka gagal melindungi mereka dari  bahayanya dunia yang terhubung secara global itu.

Teenagers, Children Prone to Social Media Predators

The Jakarta Post, page 4

The recent case of a 17 –year-old girl who was allegedly held captive for almost 48 hours by a man she had met on Facebook has again demonstrated the vulnerability of children exposed to social media. The girl, Amelia Deva Puspita, a resident of Pejompongan, Tanah Abang, in Central Jakarta, was allegedly locked up for nearly two days by Hendra Kurniawan, 22, an unemployed man.

The case began on Tuesday last week when Amelia told her mother, Suharmi, 51, that she was going out in the afternoon. Amelia, however, did not return home that evening. Family members attempted to locate her, but she could be contacted by phone.

Suharmi then filed a report with the Jakarta Police after being informed by another 17-yearold girl named Lia that she had received a message from Amelia on Thursday saying that someone had locked her up. Palmerah Police chief Comr. Armunanto Hutahean said that in the message, Amelia was asking for help because a man she had just met locked her up.

The police quickly followed up on the report and discovered that Amelia was being held in a rented house in the Kemanggisan area in West Jakarta, where Hendra was arrested, he said.

Hundreds of children and teenagers like Amelia have fallen victim to social media predators. Since January this year, the National Commission for Child Protection (Komnas PA) has received 139 reports of children and teenagers falling victim to sexual and violent abuse following social media interactions

The borderless social networking sites provide users, including children and teenagers, with unlimited chance to connect with other user, paving the way for them to expose themselves, which often leads them into danger, Komnas PA chairman Arist Merdeka Sirait said.

Indonesia Child Protection Commission (KPAI) commissioner Rita Pranawati warned that the strong internet penetration could be dangerous for children and teenagers if their internet literacy was low and their parents failed to protect them from the dangers of the globally connected world.

Pasal Perkawinan Usia Anak Kembali Digugat

Suara Pembaruan, halaman 17

Komponen masyarakat yang menamakan diri Koalisi 18 kembali mengugat syarat usia minimal perkawainan yang tercantum dalam Undang-undang 1/1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ini adalah gugatan kedua setelah sebelumnya ditolak MK pada Juni 2016 lalu. Sidang pendahuluan uji materi (judicial review) yang khusus menggugat pasal 7 ayat 1 UU tersebur sudah digelar 24 Mei 2017.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mendukung penuh upaya masyarakat untuk meningkatkan usia perkawinan, terutama pada perempuan. Dukungan yang sama datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perlindungan Anak.

Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Lenny Rosalina, mengatakan pihaknya sangat mendukung perjuangan Koalisi 18 untuk meningkatkan usia perkawinan, terutama pada anak perempuan. Ia juga mengatakan, pihaknya masih mendorong direvisinya UU Perkawinan. Baru-baru ini, Menteri PPPA Yohana Yembise telah melakukan pertemuan dengan Menteri Agama untuk membahas revisi UU Perkawinan, khususnya pasal tentang batas usia kawin untuk anak perempuan. Kementerian PPPA bersama kementerian/lembaga, NGO, para pakar dan akademis telah selesai menyusun naskah akademik revisi UU Perkawinan tersebut. Setelah naskah tersusun akan dibahs dengan Menteri Hukum dan HAM terlebih dahulu.

Dalam naskah akademis tersebut, Kementerian PPPA meminta batas usia perkawinan minimal untuk perempuan di atas 18 tahun. Penetapan batas usia 18 tahun bukan tanpa alasan mengingat konsekuensi perkawinan usia anak terhadap faktor kesehatan, reproduksi, dan pendidikan menjadi alasan yang mendasari usia tersebut sebagai batas kategori status anak. Kementerian PPPA juga mendesak untuk menghapus dispensasi.

Child Age Marriage Article Contested Again

Suara Pembaruan, page 17

The community component calling itself the Coalition of 18 re-contested the minimum age requirement of marriage listed in Law 1/1974 on Marriage to the Constitutional Court (MK). This is the second lawsuit after it was rejected by the Constitutional Court in June 2016. The initial judicial review proceedings which particularly contested Article 7 paragraph 1 of the Law was held on May 24, 2017.

The Ministry of Women’s Empowerment and Child Protection (PPPA) fully supports the community’s efforts to increase the marriage age, especially in women. The same support came from the Indonesian Child Protection Commission (KPAI) and Child Protection National Commission.

Deputy of Child Development of PPPA Ministry, Lenny Rosalina, said that she strongly supported the struggle of the Coalition 18 to increase the marriage age, especially in girls. She also said her party was still encouraging the revision of the Marriage Law. Recently, PPPA Minister Yohana Yembise had a meeting with the Minister of Religious Affairs to discuss the revision of the Marriage Law, especially the article on the age limit of marriage for girls.  The PPPA ministry together with ministries/ institutions, NGOs, experts and academics has finished compiling academic draft revisions of the Marriage Law. After the manuscript is prepared it will then be discussed with the Minister of Justice and Human Rights.

In the academic manuscript, the Ministry of PPPA requested minimum marriage age for women to be over 18 years old. The 18-year age limit is not without reason considering the consequences of child age marriages towards the factors of health, reproduction, and education become the underlying reasons for that age as the child’s status category.  The PPPA Ministry also urged to remove dispensation.

Swedia-Indonesia Tingkatkan Kerja Sama Lawan Kekerasan terhadap Anak

www.jakartaglobe.id

Sekretaris Negara untuk Menteri Anak, Kesetaraan Lansia dan Gender Swedia, Pernilla Baralt, mengatakan, Swedia dan Indonesia telah setuju untuk bekerja sama dalam memerangi kasus kekerasan terdahap anak. Baralt mengatakan, kedua belah pihak telah memutuskan untuk berdiskusi lebih dalam lagi dan kembali mengadakan pertemuan. Baik Indonesia maupun Swedia adalah negara yang merintis arah dalam Kemitraan Global untuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Anak.

Dalam sebuah pernyataan bersama yang disampaikan secara terpisah, pemerintah Swedia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (kemen PPPA) telah berkomitemen untuk mendorong upaya yang lebih kuat guna mencapai tujuan pembangunan Sustainable Development Goals (SDGs)  dalam Agenda Pembangunan 2030.

Dalam pernyataan tersebut disampaikan bahwa kunjungan kenegaraan Raja dan Ratu Kerajaan Swedia telah membantu mendorong dialog antara Indonesia dan Swedia tentang cara efektif bagaimana menangani kasus kekerasan terhadap anak.  Delegasi dari kedua negara akan melanjutkan dialog pada 19 Juli nanti, di sela-sela sebuah forum yang digelar di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.

Pada Februari mendatang, Swedia juga telah mengundang Indonesia untuk menghadiri sebuah pertemuan di Stockholm, di mana negara yang berpartisipasi  dalam pertemuan itu akan membahas solusi-solusi dalam memerangi kasus-kasus kekerasan terhadap anak.

Baralt menekankan pentingnya permasalahan anak sebagai bagian dari agenda pertemuan tersebut, dimana mereka akan belajar satu sama lain dan bertukar pengalaman tentang bagaimana memperbaiki kebijakan undang-undang, pelatihan, pendidikan dan hal lainnya yang perlu diskusikan, seperti perlindungan sosial guna meningkatkan kondisi yang baik untuk anak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Yohana Yembise, mengatakan, ada kaitan kuat antara kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Strategi KemenPPPA adalah menangani keduanya melalui pendekatan holistik.

Indonesia telah mengembangkan strategi nasional  (Stranas) 2016-2020 guna menghapuskan kasus kekerasan terhadap anak. Dalam Stranas tersebut melibatkan kemitraan antar pemerintah, masyarakat sipil, anak-anak dan remaja untuk mencegah dan merespons segala bentuk kekerasan terhadap anak.

Baralt mengatakan, baik Indonesia maupun Swedia berkewajiban untuk lebih baik lagi dalam mendidik anak-anak guna mengetahui hak-hak mereka, yang dikatakannya sebagai tantangan bersama kedua negara. Untuk mengatasi tantangan tersebut, ungkap Baralt, sebuah aplikasi seluler sederhana mungkin bisa digunakan sebagai trik. Generasi muda, lanjutnya, sangat paham tentang teknologi, namun smartphone dapat menimbulkan bahaya tertentu bagi anak-anak, seperti  kasus pelecehan anak yang ada di internet,

Sweden to Increase Cooperation With Indonesia to Fight Violence Against Children

www.jakartaglobe.id

Sweden agreed to increase cooperation with Indonesia to combat violence against children, Pernilla Baralt, Swedish State Secretary to the Ministry of Children, the Elderly and Gender Equality. She said, both countries have decided to have a deep dialogue, and continue to meet again. Both Indonesia and Sweden are pathfinding countries in the Global Partnership to End Violence against Children.

In a separate joint statement, the Swedish government and Indonesia’s Ministry of Women’s Empowerment and Child Protection said they were committed to push for stronger efforts to achieve Sustainable Development Goals (SDGs) under the 2030 Agenda.

According to the statement, the state visit from the Swedish royal couple has helped promote dialogue between Indonesia and Sweden on how to effectively tackle violence against children. Delegations from the two countries will continue their dialogue on the sidelines of a forum at the United Nations in New York on July 19.

Sweden has also invited Indonesia to a meeting in Stockholm next February, where participating governments will discuss solutions to combat violence against children.

Baralt said, noting the importance of having children as part of the dialogues, that they will continue to learn from each other and to exchange good examples on how to improve legislation, training, education and everything else that needs to be done, such as social protection, to improve the situation for children.

Women’s Empowerment and Child Protection Minister Yohana Yembise said there is a strong link between violence against women and children. The ministry’s strategy is to address both through a holistic approach.

The Indonesian government has developed a national strategy on the elimination of violence against children for the 2016-2020 period. The strategy involves partnerships across governments, civil society, children and adolescents to prevent and respond to all forms of violence against children.

Baralt said that both Indonesia and Sweden have a duty to become better in educating children about their rights, which she noted as a common challenge shared between the two countries. In order to address such challenges, Baralt said that a simple mobile app might do the trick. The younger generation is very savvy when it comes to technology and while smartphones pose certain dangers for children, such as child abuse on the internet.

link: http://jakartaglobe.id/news/sweden-increase-cooperation-indonesia-fight-violence-children/

Masalah Rokok Dapat Diselesaikan dengan Menjauhkannya dari Anak-Anak

www.antaranews.com

Pada pembukaan Konferensi ICTOH (Indonesia Conference for Tobacco or Health) ke-4, Senin (15/5), Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Djuwita Moeloek mengatakan, naiknya jumlah perokok anak secara signifikan tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Hal itu dikatakan Menkes mengingat jumlah perokok anak telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Karena, lebih dari sepertiga penduduk Indonesia, atau 36,3 persen, merupakan perokok, dimana sebanyak 20 persennya adalah remaja berumur 13-15 tahun.

Komunitas pemuda anti tembakau Smoke Free Agent (SFA) menyebut bahwa pada tahun lalu sebanyak 54 persen anak-anak di Indonesia ditenggarai sebagai perokok. Hal ini menjadi tantangan semua kalangan untuk menghilangkan kebiasaan merokok anak-anak tersebut. Terlebih, anak-anak merupakan target termudah bagi industri rokok sebagai pasar masa depan mereka. Jika industri rokok gagal menggaet anak-anak sebagai konsumen, maka pada masa mendatang mereka akan gulung tikar. Hal ini memerlukan tantangan besar guna mengatasi semakin meningkatnya jumlah perokok anak tersebut.

Namun demikian, jika pemerintah melarang peredaran rokok, maka hal itu akan berdampak signifikan terhadap kehidupan sekitar 5,8 juta orang, termasuk diantaranya 401.989 pekerja di industri rokok formal, 2,9 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh dan satu juta pedagang rokok eceran. Pada akhirnya, hal itu akan berkontribusi juga terhadap penerimaan negara dari cukai tembakau/rokok.

Pada 2017, misalnya, pemerintah menargetkan pendapatan sebesar Rp 149,8 triliun dari cukai tembakau/rokok. Sehingga, pilihannya adalah antara mengorbankan kesehatan demi penerimaan negara atau mengorbankan industri rokok demi kesehatan masyarakat.

Menkes Nila juga menyampaikan, peredaran rokok di kalangan muda Indonesia sangat tinggi, bahkan yang tertinggi di dunia, yaitu 68,8 persen. Padahal, rokok merupakan faktor utama atas resiko terserang penyakit-penyakti tidak menular seperti kanker, serangan jantung, penyakit paru-paru atau rusaknya pembuluh darah.

Menurut Menkes, tingginya peredaran rokok di kalangan anak-anak dan remaja dapat mengurangi kualitas generasi penerus bangsa, yang pada akhirnya dapat mengancam manfaat bonus demografi Indonesia. Solusi terbaik untuk permasalahan rokok ini adalah terlebih dahulu menghilangkan kebiasaan merokok di kalangan anak-anak, mengurangi gerak industri rokok dan memberikan kesempatan bagi para pekerja di industri tembakau/rokok untuk mengubah profesi mereka.

Hal ini dikarenakan biaya pemerliharaan kesehatan lebih tinggi ketimbang manfaat yang diperoleh dari industri rokok. Sebuah studi yang dilakukan pada 2004 mengungkapkan bahwa pemerintah menghabiskan Rp 127 triliun pada tahun 2001 untuk pengobatan penyakit akibat rokok, sementara pajak rokok yang didapat pada tahun yang sama hanya sebesar Rp 16 triliun saja.

Menurut Prof Hasbullah Thabrany, Tenaga Ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), masih banyak orang yang belum mempercayaai bahaya rokok. Penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa penyakit kronis akibat rokok yang ditemukan di Amerika Serikat tidak banyak berbeda dengan yang ada di Indonesia. Untuk itu, solusi terbaik guna mengatasi permasalahan rokok ini adalah dengan mencegah masyarakat, terutama anak-anak, agar mereka tidak kencanduan merokok.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, meminta masyarakat untuk ikut mengawasi iklan rokok terselubung yang kemungkinan akan ditayangkan dalam program-program televisi selama bulan Ramadhan. Selama bulan Ramadhan, lanjutnya, anak-anak akan semakin terpapar iklan rokok, terutama saat santap sahur.

Tulus mengatakan, perusahaan rokok kemungkinan akan melakukan promosi terselubung dan iklan siaran pada jam-jam utama, seperti pada saat berbuka puasa dengan alasan bahwa itu adalah iklan perusahaan dan bukan produknya. Hal tersebut merupakan bentuk kecurangan publik. Ia percaya bahwa metode yang digunakan tersebut adalah cara untuk menipu masyarakat, sebab nama perusahaan rokok di Indonesia sama dengan nama produk-produk mereka. Oleh karena itu, YLKI telah mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk sepenuhnya melarang penayangan iklan rokok di saluran televisi selama bulan puasa.

Tulus menambahkan, selain mematuhi regulasi, seharusnya industri rokok juga menjunjung tinggi etika dalam melakukan bisnis dan memasarkan produknya. Hal ini dikarenakan iklan rokok masih boleh ditayangkan pada pukul 21.30 hingga 05.00 waktu setempat. Regulasi tersebut berdasarkan asumsi bahwa anak-anak sudah tertidur pada jam tersebut.

Smoking Problem must be Resolved by Reaching Out to Children

www.antaranews.com

Health Minister Nila Djuwita Moeloek said at the opening of the Fourth Indonesia Conference for Tobacco or Health (ICTOH), Monday, that the steady rise in the number of child smokers should not be left unresolved.

The minister made the statement as the number of child smokers has reached an alarming level. She said more than one-third of the population, or 36.3 percent, are smokers. Some 20 percent are youth in the age group of 13 to 15 years.

A youth community group, Smoke Free Agent (SFA), said 54 percent of Indonesian children were found to be smokers last year. Its a challenge to wean away children from smoking. Amid concerns over health hazards, cigarette industries are also intensively promoting their products/cigarettes. Children are the easiest target for the future market. If cigarette industries fail to get child patrons, they will collapse in the coming generation. This poses a huge challenge to overcoming the increasing trend of child smokers.

Moreover, if the government banned cigarettes, it would have a significant impact on the life of about 5.8 million people, including 401,989 workers in formal cigarette industries, 2.9 million tobacco farmers, 1.5 million clove growers and one million cigarette retail traders. After all, tobacco/cigarette taxes also contribute significantly to state revenues.

In 2017, for instance, the government set a revenue target at Rp149.8 trillion from taxes on tobacco/cigarettes. So, the choice would be between sacrificing health for economic benefits and sacrificing the cigarette industry for the health of the people.

The health minister said that the number of adult male smokers in Indonesia was the largest in the world at 68.8 percent. Tobacco intake constitutes one of the key risk factors for non-communicable diseases, such as cancer, heart disease, lung problems and damage to blood vessels.

According to the minister, the high prevalence of smoking among children and youth reduces the quality of the nations future generation, which can threaten Indonesias demographic achievement. The best solution to the smoking problem is to kill the habit among the children first, discourage cigarette industries and provide a chance to tobacco/cigarette related workers to change profession.

This is because healthcare costs are higher than the benefits accrued from cigarettes. A study conducted in 2004 revealed that the government spent Rp127 trillion in 2001 on treatment of tobacco-related diseases, while cigarette taxes collected in the same year amounted to only Rp16 trillion.

According to Prof Hasbullah Thabrany, an expert with the National Social Security Council (DJSN), many people are still not convinced about the dangers of smoking. Research in the United States indicated that chronic diseases due to smoking in the US were the same as those in Indonesia. Hence, the best solution to overcome the problem of smoking is to prevent people, namely children, from being addicted to cigarettes.

In the meantime, the Indonesian Consumers Institute Foundation (YLKI) has called on the people to watch out for covert cigarette advertisements that would likely be broadcast during television programs in the fasting month of Ramadan.  Children are being increasingly exposed to cigarette advertisements on television during the fasting month of Ramadan, particularly during the predawn meals, YLKI Chairman Tulus Abadi stated.

Tulus said, cigarette companies will likely conduct covert promotions and broadcast advertisements during key hours, such as at the time of breaking the fast under the pretext that it is a corporate advertisement and not of a product. This is a form of cheating the public. He believes that using such method is a way of deceiving the public, as the names of cigarette companies in Indonesia are the same as those of their products. Hence, the YLKI has urged the Indonesian Broadcasting Commission (KPI) to entirely ban the airing of cigarette advertisements on television channels throughout the fasting month.

He added, apart from abiding by the regulations, the cigarette industry should also uphold ethics in doing its business and marketing. This is because cigarette ads are still allowed to be broadcast between 9:30 p.m. and 5 a.m. local time. This regulation is made based on the assumption that children would be sleeping during the time.

Link: http://www.antaranews.com/en/news/110954/smoking-problem-must-be-resolved-by-reaching-out-to-children