www.antaranews.com
Pada pembukaan Konferensi ICTOH (Indonesia Conference for Tobacco or Health) ke-4, Senin (15/5), Menteri Kesehatan (Menkes) Nila Djuwita Moeloek mengatakan, naiknya jumlah perokok anak secara signifikan tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Hal itu dikatakan Menkes mengingat jumlah perokok anak telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Karena, lebih dari sepertiga penduduk Indonesia, atau 36,3 persen, merupakan perokok, dimana sebanyak 20 persennya adalah remaja berumur 13-15 tahun.
Komunitas pemuda anti tembakau Smoke Free Agent (SFA) menyebut bahwa pada tahun lalu sebanyak 54 persen anak-anak di Indonesia ditenggarai sebagai perokok. Hal ini menjadi tantangan semua kalangan untuk menghilangkan kebiasaan merokok anak-anak tersebut. Terlebih, anak-anak merupakan target termudah bagi industri rokok sebagai pasar masa depan mereka. Jika industri rokok gagal menggaet anak-anak sebagai konsumen, maka pada masa mendatang mereka akan gulung tikar. Hal ini memerlukan tantangan besar guna mengatasi semakin meningkatnya jumlah perokok anak tersebut.
Namun demikian, jika pemerintah melarang peredaran rokok, maka hal itu akan berdampak signifikan terhadap kehidupan sekitar 5,8 juta orang, termasuk diantaranya 401.989 pekerja di industri rokok formal, 2,9 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh dan satu juta pedagang rokok eceran. Pada akhirnya, hal itu akan berkontribusi juga terhadap penerimaan negara dari cukai tembakau/rokok.
Pada 2017, misalnya, pemerintah menargetkan pendapatan sebesar Rp 149,8 triliun dari cukai tembakau/rokok. Sehingga, pilihannya adalah antara mengorbankan kesehatan demi penerimaan negara atau mengorbankan industri rokok demi kesehatan masyarakat.
Menkes Nila juga menyampaikan, peredaran rokok di kalangan muda Indonesia sangat tinggi, bahkan yang tertinggi di dunia, yaitu 68,8 persen. Padahal, rokok merupakan faktor utama atas resiko terserang penyakit-penyakti tidak menular seperti kanker, serangan jantung, penyakit paru-paru atau rusaknya pembuluh darah.
Menurut Menkes, tingginya peredaran rokok di kalangan anak-anak dan remaja dapat mengurangi kualitas generasi penerus bangsa, yang pada akhirnya dapat mengancam manfaat bonus demografi Indonesia. Solusi terbaik untuk permasalahan rokok ini adalah terlebih dahulu menghilangkan kebiasaan merokok di kalangan anak-anak, mengurangi gerak industri rokok dan memberikan kesempatan bagi para pekerja di industri tembakau/rokok untuk mengubah profesi mereka.
Hal ini dikarenakan biaya pemerliharaan kesehatan lebih tinggi ketimbang manfaat yang diperoleh dari industri rokok. Sebuah studi yang dilakukan pada 2004 mengungkapkan bahwa pemerintah menghabiskan Rp 127 triliun pada tahun 2001 untuk pengobatan penyakit akibat rokok, sementara pajak rokok yang didapat pada tahun yang sama hanya sebesar Rp 16 triliun saja.
Menurut Prof Hasbullah Thabrany, Tenaga Ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), masih banyak orang yang belum mempercayaai bahaya rokok. Penelitian di Amerika Serikat menunjukan bahwa penyakit kronis akibat rokok yang ditemukan di Amerika Serikat tidak banyak berbeda dengan yang ada di Indonesia. Untuk itu, solusi terbaik guna mengatasi permasalahan rokok ini adalah dengan mencegah masyarakat, terutama anak-anak, agar mereka tidak kencanduan merokok.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, meminta masyarakat untuk ikut mengawasi iklan rokok terselubung yang kemungkinan akan ditayangkan dalam program-program televisi selama bulan Ramadhan. Selama bulan Ramadhan, lanjutnya, anak-anak akan semakin terpapar iklan rokok, terutama saat santap sahur.
Tulus mengatakan, perusahaan rokok kemungkinan akan melakukan promosi terselubung dan iklan siaran pada jam-jam utama, seperti pada saat berbuka puasa dengan alasan bahwa itu adalah iklan perusahaan dan bukan produknya. Hal tersebut merupakan bentuk kecurangan publik. Ia percaya bahwa metode yang digunakan tersebut adalah cara untuk menipu masyarakat, sebab nama perusahaan rokok di Indonesia sama dengan nama produk-produk mereka. Oleh karena itu, YLKI telah mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk sepenuhnya melarang penayangan iklan rokok di saluran televisi selama bulan puasa.
Tulus menambahkan, selain mematuhi regulasi, seharusnya industri rokok juga menjunjung tinggi etika dalam melakukan bisnis dan memasarkan produknya. Hal ini dikarenakan iklan rokok masih boleh ditayangkan pada pukul 21.30 hingga 05.00 waktu setempat. Regulasi tersebut berdasarkan asumsi bahwa anak-anak sudah tertidur pada jam tersebut.