Literasi Antihoaks Perlu Masuk Kurikulum

Kompas, halaman 12

Pendidikan literasi antihoaks atau kabar bohong perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Langkah itu penting untuk membentengi masyarakat sejak dini dari banjir berita palsu di media sosial. Demikian benang merah dalam seminar “Memerangi Hoax, Memperkuat Siber Nasional” yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Senin (1/5).

Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo mengatakan, pendidikan literasi antihoaks bisa diterapkan mulai dari sekolah dasar. Ini bertujuan agar sejak dini anak secara benar menggunakan telpon genggam pintar dan arif dalam bersosialisasi di media sosial. Agus tidak menampik upaya yang saat ini dilakukan pemerintah dan sejumlah elemen masyaraka sipil dengan sosialisasi dan pembentukan forum. Namun, mengingat hoaks telah diproduksi dan disebarkan secara masif, langkah tersebut tak cukup untuk membendungnya. Ia mencontohkan, Korea Selatan telah lama menerapan pendidikan literasi media baru yang membuat masyarakat tidak terprovokasi kabar bohong.

Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan Eko Sulistyo menanggapi, untuk jangka panjang pendidikan lietrasi antihoaks memang diperlukan. Sementara untuk jangka pendek, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memproduksi dan menyebarkan konten media sosial yang bernilai positif, baik dari lingkup skala lokal maupun nasional.

Antihoax Literacy Needs to Enter Curriculum

Kompas, page 12

Anti-hoax  or false news literacy education needs to be included in the national education curriculum. The move is important to fortify the public since early on from floods of fake news on social media. So was the theme in the seminar “Combating Hoax, Strengthening National Cyber (Awareness)” held by the Indonesian Journalist Association (PWI), Monday (1/5).

Indonesia New Media Watch Director Agus Sudibyo said the antihoax literacy education could be implemented starting from elementary school. It aims to make children to early on properly use smart mobile phones and to wisely socialize in social media. Agus did not dismiss the current efforts of the government and some elements of civil society with the familiarizing and establishment of a forum. However, since hoaxes have been massively produced and distributed, the move is not enough to contain it. He pointed out South Korea has long been applying a new media literacy education that prevents people from being provoked by false news.

Deputy IV of the Office of Presidential Staff Eko Sulistyo responded, for the long term anti-hoax literacy education is indeed required.  While for the short term, the government through the Ministry of Education and Culture produces and disseminates social media content of positive value, both from the local scope as well as the national scale.

Kurikulum Ponpes Distandardisasi

Republika, halaman 12

Di tengah berkembangnya polemic seputar wacana standardisasi khatib, Kementerian Agama (Kemenag) mengemukakan rencananya untuk melakukan standarisasi kurikulum pondok pesantren (ponpes).

Menurut Direktur Jendral Pendidikan Islam Kemenag, Kamarudin Amin, standardisasi kurikulum ponpes ditargetkan dapat dijalankan pada 2017. Kamarudin mengatakan pihaknya akan membuat standardisasi kurikulum pesantern dengan standar minimalnya.

Beberapa kriteria standardisasi minimal itu, kata dia, seperti standar minimal untuk buku-buku yang diajarkan di ponpes dan standar kompetensi ponpes dalam mengembangkan instansinya. Kamarudin menerangkan bahwa standardisasi akan memperkuat moderasi Islam di ponpes. Jadi, pihaknya akan mengeluarkan buku-buku wajib standar. Ini bukan proyek deradikalisasi, akrena pesantren tidak radikal, tapi memperkuat moderasi. Moderasi itu adalah moderasi pendidikan Islam di ponpes.

Ia menilai, ponpes merupakan lembaga pendidikan yang strategis untuk menerbarkan Islam moderat yang damai. Dengan kata lainm kehadiran ponpes harus dapat memberi nilai tambah dengan menangkal munculnya radikalisme di tengah masyarakat.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, Mochsen menambahkan, standardisasi kurikulum ponpes dilakukan untuk memastikan terselenggaranya pendidikan yang bertanggung jawab dengan kualitas yang terjaga. Meski demikian, Kemenag tak ingin terlalu jauh mencapuri kehidupan pesantren, sehingga standardisasi kurikulum akan dilakukan bersama pesantren.

Curriculum of Ponpes Standardized

Republika, page 12

In the middle of the polemic on the standardization for Moslem preachers, the Ministry of Religious Affairs (Kemenag) revealed their plan to standardize the curriculum for pondok pesantren (ponpes).

According to the Director General of Islam of Kemenag, Kamarudin Amin, this ponpes curriculum standardization is targeted for implementation in 2017. Kamarudin said that his department will prepare the standardization with its minimum standards.

The criteria for the minimum standards are, among others, the books used to teach in ponpes and competency standard of ponpes in developing the institution. Kamarudin explained that standardization will strengthen the moderation of Islam in ponpes. His department will publish standard compulsory books. It is not some kind of de-radicalization project since pesantren are not radical, but it aims at strengthening the moderation of Islamic education in ponpes.

He revealed that ponpes is a strategic education institution to teach peaceful moderate Islam. In other words, ponpes must be able to provide additional values by preventing the rise of radicalism within the society.

Director of Diniyah Education and Pondok Pesantren of Ditjen Islamic Education of Kemenag, Mochsen, added that this standardization will ensure implementation of responsible education while maintaining quality. However, Kemenag does not intend to further intervene into pesantren matters and thus this standardization of the curriculum will be carried out jointly with pesantren.

republika_kurikulum-ponpes-distandardisasi

Kurikulum Pendidikan Indonesia Belum Penuhi Kebutuhan Industri

Suara Pembaruan, halaman 16

Presiden Singapura Management University (SMU) Arnoud De Meyer mengatakan sudah menemukan akar masalah di sektor pendidikan di negara ASEAN. Berdasarkan hasil survey keahlian angkatan kerja yang dihadapi oleh negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Thailand yang dilakukan SMU bekerja sama dengan perusahaan layanan keuangan global J.P Morgan selama satu tahun, terungkap sistem pendidikan atau kurikulum belum memenuhi kebutuhan dunia.

Arnoud mengatakan, survey ini ditemukan jika masalah yang dihadapi saat ini diperparah oleh sistem pendidikan atau kurikulum yang belum bisa memenuhi kebutuhan dunia yang terus berkembang. Arnoud menyebutkan,   ketidaksiapan ini terlihat dari jumlah tenaga pendidik berkualitas yang belum mencukupi, serta pendanaan masih kurang memadai.

Pasalnya, pada penelitian ditemukan bahwa Indonesia unggul pada industri yang membutuhkan keahlian rendah, sehingga Indonesia perlu secara signifikan menambah jumlah pekerja ahli untuk mengangkat status ekonominya menjadi negara berpendapatan menengah. Arnoud menambahkan saat ini hanya 16% sarjana yang mempelajari bidang teknik, konstruksi, dan manufaktur akan keahlian-keahlian inti yang penting bagi Indonesia ketika ekonomi semakin terindustrialilasi. Ini menunjukkan jika Indonesia membutuhkan perombakan yang besar dan fundamental terhadap road map pendidikan nasional untuk mengatasi masalah kelangkaan tenaga kerja ahli yang dibutuhkan.

Education Curriculum in Indonesia Has Not Fulfilled the Needs of Industry

Suara Pembaruan, page 16

President of Singapore Management University (SMU), Arnoud De Meyer, revealed that the root of the problems in the education sector in ASEAN countries has been identified. According to results of a year-long study on workforce skills in ASEAN countries such as Singapore, Malaysia, Indonesia, Philippines and Thailand conducted by SMU in cooperation with finance services company J.P Morgan, it was revealed that the curriculum development in the education system has not kept pace with global needs.

Arnoud said that the problems currently existing are worsened by the curriculum in the education system not being able to compete in a world that continues to develop. He added that this lack of readiness is proven through the lack of qualified educators and insufficient funding.

Based on the research, Indonesia is superior in industries requiring low skillsets and thus needs to add significantly to its expert labor to raise its economic status to that of a middle-income country.  Arnoud added that currently only 16% of undergraduates study in the technical, construction and manufacturing sectors, which are essential skills for Indonesia as its economy becomes more industrialized. This fact shows that Indonesia’s roadmap of national education needs a radical and fundamental reformation if it is to overcome the scarcity of labor skills demanded in the modern world.

sp_kurikulum-pendidikan-indonesia-belum-penuhi-industri

Kemenag Pelajari Kurikulum Kultural

Republika, halaman 12

Kementerian Agama  (Kemenag) menunjukkan keseriusannya mempelajari kurikulum kultural yang akan segera diterapkan Pemkab Purwakarta, Jawa Barat. Melalui kurikulum tersebut, para siswa SMP yang beragama Islam di kabupaten ini akan mendapat pelajaran mengaji kitab kuning .

Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin mengutus staf ahlinya untuk mengunjungi Purwakarta, Rabu, guna mempelajari sistem dan metodologi kebijakan yang baru-baru ini digagas Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi tentang kurikulum kultural.

Seorang staf ahli Menteri Agama, Hadi Rahman, mengaku telah diberi perintah secara langsung oleh Menteri Agama untuk menemui Dedi Mulyadi. Ia menyatakan, ada dua hal yang harus dipelajari di Purwakarta, yakni sistem antar-jemput jemaah haji serta mempelajari sistem membaca kitab kuning bagi pelajar muslim dan mempelajari kitab masing-masing bagi pelajar nonmuslim.

Selain sistem antar jemput para jemaah haji, Hadi juga menyatakan kalau Menteri Agama tertarik pada konsep subsidi jamaah haji yang diterapkan Pemkab Purwakarta. Terkait dengan kebijakan membaca kitab kuning dan kitab lain sesuai dengan ajaran agama para pelajar. Hadi menyebutkan kalau Menteri Agama akan segera membuat lokakarya nasional, untuk tindaklanjut teknis kebijakan tersebut di tingkat kementerian.  Menurut dia, Menteri Agama menilai selama ini pembelajaran agama di sekolah terlalu bersifat normatif. Jadi perlu didorong pembelajaran kultur agama yang termaktub di dalam kitab kuning.

Sementara itu, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi menjelaskan, penerapan kurikulum kultural tersebut bertujuan untuk membentuk pemahaman agama secara komprehensif bagi pelajar. Kurikulum tersebut akan direalisasikan pada Desember 2016, Tenaga pengajarnya akan diseleksi tim dari pemkab dan Forum Lintas Agama. Pemkab Purwakarta akan menyiapkan anggaran sekitar Rp 10 miliar untuk memenuhi honor 582 tenaga pengajar agama dari berbagai agama.

Kemenag Studies Cultural Curriculum

Republika, page 12

The Ministry of Religious Affair (Kemenag) has seriously studied a cultural curriculum to be implemented soon in Pemkab Surakarta, West Java. Through this curriculum, Moslem SMP students in that regency will obtain mengaji kitab kuning (Islamic classical textbooks written in Arabic lessons).

Minister of Religious Affair, Lukman Hakim Saifudin sent his expert staff to Purwakarta, Wednesday, to learn the system and methodology of policy lately proposed by Purwakarta Regent, Dedi Mulyadi on the cultural curriculum.

Expert staff of the Minister, Hadi Rahman, confirmed that receiving instruction directly from the Minister to visit Dedi Mulyadi. He said that there are two things to learn in Purwakarta, namely the shuttle system of hajj pilgrim plus system of reading kitab kuning for Moslem students and holy book for non-Moslem students.

In addition to the shuttle system for hajj pilgrims, Hadi said that the Minister is also interested in the subsidy concept for hajj pilgrims applied in Purwakarta. In relation to the policy on reading kitab kuning and other holy books according to each corresponding religion, Hadi said that the Minister will soon hold a national workshop as a follow-up to such technical policy at the ministerial level. He revealed that according to the Minister, to date religious subjects at school are too standard. Therefore, it is necessary to encourage religious cultural learning as written in the kitab kuning.

Meanwhile, Purwakarta Regent, Dedi Mulyadi, explained that the implementation of the cultural curriculum aims at helping students gain comprehensive understanding about their religion. This curriculum will be implemented in December 2016. Teacher resources will be selected by a team from the regency and Forum Lintas Agama. Purwakarta will prepare a budget of Rp10 billion to pay the honorarium for some 582 religious teachers from various religions.

republika_kemenag-pelajari-kurikulum-kultural

Kurikulum TK dan SD Belum Sinkron

Suara Pembaruan, halaman 17

Staff Ahli Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan, Andreas Tambah mengatakan, kasus ratusan anak SD yang tinggal kelas terjadi karena kurikulum Taman Kanak-Kanak (TK) dan SD belum sinkron.  Andreas mengatakan kurikulum tentang baca, tulis, dan berhitung (calsitung) belum diperkenalkan kepada anak, namun begitu masuk SD, anak telah disodori buku teks yang mengarah kepada calsitung. Target kurikulumnya pun tinggi sehingga guru SD kelas satu cukup repot. Hal serupa juga terjadi di kelas dua. Beban kurikulum semakin tinggi dan anak diharuskan sudah menguasai calsitung. Maka jalan pintasnya adalah penyaringan dengan kenaikan kelas.

Hal senada juga diakatan Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti. Selain beban kurikulum, tingginya angka tidak naik kelas pda siswa sekolah dasar (SD) menunjukan indikasi rendahnya kompetensi gutu SD pada kelas bawah, dalam hal ini kelas 1-3.

Retno menyebutkan, beban kurikulum yang berat terlihat dalam buku teks kelas 1 SD yang sudah mewajibkan anak untuk langsung membaca cerita 2-3 alinea. Wajar jika guru SD akan keteteran mengajajar ketertinggalan kurikulum jika harus mengajari anak membaca dari dasar. Beban kurikulum tak hanya berat bagi siswa, namun juga bagi guru. Kerap kali siswa bisa membaca tetapi tidak memahami apa yang dibacanya. Akibatnya siswa tidak mampu menjawab pertanyaan yang menyertai bacaan tersebut. Guru tak sepenuhnya bersalah, pemerintah dan masyarakat juga harus turut andil dalam hal ini.

Selain itu, Retno juga menduga, banyaknya siswa yang tidak naik kelas turut disebabkan karena masyarakat bangga jika anaknya yang masih berusia di bawah tujuh tahun sudah mampu membaca. Bahkan masyarakat menilai Tk yang tidak mengajarkan calistung dianggap tidak bermutu. Bahkan banyak orangtua siswa menggunakan jasa guru les agar anaknya bisa membaca, meski si anak tidak memahami. Hal ini menyebabkan ada perbedaan kemampuan siswa kelas awal.

Curriculum for TK and SD not Synchronized

Suara Pembaruan, page 17

Special Staff of Education National Commission, Andreas Tambah, said that the case of several hundred SD students receiving a failing grade was due to the curriculum for kindergarten (TK) and elementary school (SD) not yet being synchronized. He said that the curriculum on reading, writing and arithmetic (calsitung) has not been introduced to students but when they enter SD, they must learn from text books on calsitung. The target of curriculum is also high and results in troubles for teachers of the first grade of SD. The same thing goes for teachers of the second grade. The burden of curriculum is harder when students must be able to master calsitung. The shortcut is therefore selection through a failing grade system.

Sekjen of Federation of Indonesian Teachers Association (FSGI), Retno Listyarti agreed on this issue. In addition to the burden of the curriculum, the high rate of SD students who have a failing grade indicated the low competence of SD teachers for early grades, or grades 1-3.

Retno added that the heavy burden of curriculum can be seen in the text books for grade 1 of SD that obliges the students to directly read a story of 2-3 paragraphs. It is not surprising that SD teachers will be overwhelmed to meet the demands of the curriculum if they must teach their students the basics of reading. The burden of the curriculum is hard not only for students but also for teachers. It also happens that students are able to read but they do not understand the content. This will result in students not being able to answer questions about the reading. This is not only the teachers’ fault but also the government and society.

Retno also suspected that many students failed their grade because people feel so proud if their children are able to read before they are seven years old. Society even considers TKs that do not teach calsitung as not being qualified. Moreover, many parents hire private teachers to teach their children to read, although these children may not always understand it and this will result in a disparity in reading skills among students in early grades.

sp_kurikulum-tk-dan-sd-belum-sinkron