The Jakarta Post.com
Mailizar, Southampton, Inggris. | Opini | Jum’at, Desember 6, 2013, 08:22 WIB
Pada tanggal 3 Desember, Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development atau OECD) meluncurkan hasil Program Penilaian Pelajar Internasional (Program for International Student Assessment atau PISA) tahun 2012.
Adapun penilaian yang dilakukan setiap tiga tahun sekali telah menghasilkan peringkat pendidikan untuk 65 negara yang berdasarkan penilaian dalam bidang membaca, matematika, dan sains yang diikuti oleh lebih dari 510,000 pelajar berusia sekitar 15 tahun.
Hasil PISA menunjukkan bahwa diantara 65 negara tersebut, Indonesia menduduki peringkat kedua dari bawah. Hal ini merupakan penurunan dari hasil PISA tahun 2009 dimana saat itu Indonesia menduduki peringkat 57. Hasil ini menunjukkan walaupun telah banyak investasi yang dikucurkan untuk mendukung sektor ini, sistem pendidikan Indonesia tidak mengalami perbaikan.
Namun demikian, negara-negara Asia lain seperti Cina, Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan tetap masuk dalam kategori lima besar. Vietnam yang turut serta dalam penilaian ini untuk pertamakalinya meraih hasil yang mengejutkan dan langsung masuk dalam peringkat 20 besar.
Apakah Indonesia dapat belajar untuk memperbaiki outcome sektor pendidikan dengan mempelajari lebih jauh hal-hal yang telah dilakukan negara-negara Asia yang berhasil meraih nilai baik dalam PISA 2013 seperti Cina, Jepang, Korea Selatan, Singapura, bahkan Vietnam?
Jika melihat negara lain yang telah mengalami kemajuan pesat dalam sistem pendidikannya, maka “Ya, Indonesian dapat belajar” merupakan jawaban dari pertanyaan tersebut. Korea Selatan, misalnya, dalam waktu kurang dari 10 tahun berhasil meningkatkan pencapaian hasil belajar sebesar dua kali lipat.
Menurut OECD, hasil penelitian menunjukkan berbagai karakteristik yang hadir dalam sistem pendidikan yang terbaik. Negara yang menduduki peringkat atas, terutama di Asia, memberikan penekanan pada pengembangan kapasitas guru melalui proses pemilihan dan pelatihan guru, memberikan prioritas dalam investasi terkait peningkatan mutu guru, dan memberikan otonomi di kelas kepada guru.
Indonesia harus melakukan yang terbaik dalam upaya pengembangan kapasitas guru. Hal ini harus dimulai dengan melakukan investasi dalam menyiapkan dan mengembangkan guru yang bermutu tinggi. Untuk itu diperlukan pemikiran ulang dalam metodologi yang selama ini digunakan di Indonesia terkait penyiapan dan pengembangan kapasitas mereka, termasuk cara mengoptimalkan sumber daya manusia yang digunakan sebagai sumber calon guru, mengembangkan panduan baru dalam merekrut dan memilih guru, dukungan pada saat guru memulai dan melaksanakan tugas mereka, dan sistem monitoring.
Indonesia saat ini berada dalam titik penting dalam upaya pelatihan guru. Saat ini, ada sekitar 415 institusi pelatihan pre-service guru, namun hanya sekitar 10% adalah lembaga publik.
Hal ini merupakan tantangan besar dalam menjamin bahwa lembaga-lembaga tersebut dapat dengan efektif menyaring calon guru, memberikan pelatihan yang berbobot dan relevan, dan mampu memberikan dukungan kepada calon guru dalam mengembangkan hubungan antara apa yang didapatkan di perguruan tinggi dan yang dipraktikkan di sekolah pada saat mengajar.
Dengan demikian, pengawasan terhadap calon kandidat pelatihan pre-service menjadi hal yang sangat penting untuk menjamin bahwa hanya mereka yang bermutu tinggi dan dalam jumlah yang diperlukan yang memasuki sistem.
Terkait perekrutan dan pemilihan guru, Pemerintah perlu menilai ulang panduan dan pedoman yang selama ini digunakan. Prosedur yang selama ini digunakan dimana proses perekrutan disederhanakan dan dilakukan melalui ujian tertulis nampaknya belum mampu meningkatkan hasil pendidikan.
Untuk negara yang menempati peringkat tinggi seperti Korea Selatan, kandidat guru harus lulus beberapa tahapan dalam berbagai penilaian. Mereka diuji dalam pengetahuan mengenai pendidikan, harus menulis esai mengenai mata pelajaran yang terkait, diwawancara, menyusun rencana belajar, dan menjalani tes simulasi pengajaran.
Juga penting untuk diperhatikan bahwa negara-negara yang telah berhasil melakukan banyak perbaikan mencapai hal tersebut tidak hanya dengan melalui upaya peningkatan gaji guru, namun juga dengan meningkatkan status dari proses pengajaran itu sendiri dan memperlakukan guru sebagai tenaga profesional.
Dari Korea Selatan ditemukan bahwa sebagai seorang profesional, seorang guru dievaluasi tidak hanya oleh pemerintah, namun juga oleh rekannya (peers), pelajar, orang tua, dan kepala sekolah. Berdasarkan evaluasi tersebut, guru dengan hasil penilaian yang rendah akan mendapatkan pelatihan tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Untuk guru yang meraih nilai bagus, mereka diberikan kesempatan melakukan riset atau melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi atau lembaga terkait di negara tersebut atau di negara lainnya.
Kita telah melihat bahwa walaupun jumlah gaji guru telah bertambah, hal itu belum berkorelasi dengan hasil yang telah dicapai pelajar selama ini. Laporan Bank Dunia Tahun 2013 “Tinjauan Belanja Publik di Sektor Pendidikan” menyatakan bahwa program sertifikasi guru perlu ditinjau kembali karena tidak membawa hasil yang diharapkan.
Murid yang diajar oleh guru yang bersertifikasi tidak mencapai hasil belajar yang jauh lebih baik dalam berbagai ujian. Karenanya, sistem pendidikan di Indonesia memerlukan berbagai upaya selain peningkatan gaji guru.
Indonesia memiliki sumber daya dan talenta untuk dapat berkompetisi secara lebih efektif dan meningkatkan hasil pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan pendidikan sebagai salah satu hal terpenting dalam kehidupan dan adanya kemauan politik untuk mencurahkan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung reformasi pendidikan.
Jika Indonesia tidak berhasil memperbaiki hasil pencapaian dalam sektor pendidikan, kemungkinan besar negara ini nantinya akan menghadapi berbagai masalah terkait upaya peningkatan ekonomi. Seperti yang dikatakan oleh salah satu wakil OECD, Andeas Schleicher, “pendidikanmu saat ini adalah ekonomimu di masa datang.”
Penulis adalah peserta program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan sedang belajar di University of Southampton, Inggris.

PISA 2012: Pembelajaran untuk Indonesia