Kompas, halaman 11
Hak remaja Indonesia atas layanan kesehatan reproduksi berkualitas belum terpenuhi. Tak jarang, mereka justru didiskriminasi oleh petugas kesehatan atau dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum. Akibatnya, remaja justru rentan berbagai perilaku seksual berisiko yang menurunkan kualitas hidup dan kesejahteraannya.
Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental bagi setiap orang, Dainius Puras, di Jakarta, Senin (3/4), mengatakan, Pemerintah Indonesia sedang memperbaiki sistem kesehatan melalui penyediaan akses universal bagi semua masyarakat. Namun, ketersediaan akses dan kualitas layanan perlu menjadi perhatian.
Salah satu topik yang dicermati adalah layanan kesehatan reproduksi bagi remaja dan orang muda. Hingga kini, remaja belum bisa mengakses layanan kesehatan reproduksi dengan standar tertinggi. Kondisi itu berdampak pada rentannya mereka dengan penularan penyakit infeksi menular seksual, HIV-AIDS, hingga kehamilan tak diinginkan.
Secara terpisah, anggota staf Program Anak dan Remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Alam Setia Bakti, menambahkan, jangankan mendapatkan hak atas layanan kesehatan reproduksi berkualitas, hak remaja mendapat informasi kesehatan reproduksi saja masih sulit. Rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi itu tecermin dalam Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012.
Dalam survei itu, hanya 11,4 persen perempuan umur 15-24 tahun dan 10,3 persen laki-laki yang berusia 15-24 tahun memiliki pengetahuan komprehensif tentang AIDS. Di sisi lain, ada 2,1 persen perempuan umur 15-49 tahun dan 3,1 persen laki-laki berumur 15-54 tahun yang melakukan hubungan seksual sebelum berumur 15 tahun.
Sementara itu, Ketua Forum Umat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera dan Kependudukan, yang juga Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia, Muhammad Cholil Nafis mengatakan, jika agama dipahami secara utuh, agama justru menganjurkan umatnya bereproduksi secara sehat. Namun, ia mengakui masih ada kesenjangan pengetahuan keagamaan sebagian kelompok tentang kesehatan reproduksi. Karena itu, tokoh-tokoh agama perlu terus aktif menyampaikan informasi kesehatan reproduksi.