Sekolah ”Coding” Dibutuhkan

Kompas, halaman 12

Coding atau menulis kode pemrograman menjadi keterampilan yang wajib dikuasai mereka yang berwirausaha di industri digital, seperti perusahaan rintisan yang tengah marak. Sekolah atau institusi pendidikan yang mengajarkan keterampilan ini sangat dibutuhkan.

Hal itu diungkapkan Mandy Purwa Hartono, Direktur Pemasaran Purwadhika Startup & Coding School, saat jumpa pers di sekolah itu di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, Banten, Kamis (16/3). Purwadhika setahun terakhir membina delapan perusahaan rintisan untuk mendapat pelatihan dan inkubasi guna mengubah ide bisnis menjadi produk yang bisa dijual.

Hartono, mengatakan, coding sebagai bagian dari pendidikan vokasional sudah mendesak dilakukan. Mereka juga berencana menggandeng sejumlah perguruan tinggi untuk memberikan materi coding secara khusus sebagai satu program studi.

Michael Widjaja, CEO Sinar Mas Land, pengembang BSD, mengungkapkan, lokasi yang digunakan Purwadhika ini adalah kawasan yang tengah sebagai pusat (hub) digital untuk mendukung ekosistem industri digital. Mereka menyiapkan infrastruktur dan fasilitas untuk mengumpulkan orang-orang yang memiliki talenta dan kepentingan serupa.  Nantinya, jika telah teruji, pusat-pusat serupa akan disertakan dalam proyek properti di kawasan lain. Menurut Michael, membangun ekosistem industri selalu dimulai dari sekolah, seperti menghadirkan sekolah coding Purwadhika.

“Coding” Schools Needed

Kompas, page 12

Coding or writing programming code is a skill that must be mastered by those self-employed in the digital industry, such as booming startups. Schools or educational institutions that teach these skills are needed.

It was revealed by Mandy Purwa Hartono, Director of Marketing Purwadhika Startup & Coding School, during a press conference at the school in Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, Banten, on Thursday (16/3).  Purwadhika within last year guided/supported eight startups for training and incubation in order to turn business ideas into products that can be sold.

Hartono said coding as part of vocational education is already urgent. They also plan to link with a number of higher education institutions to provide specific coding material as a program of study.

Michael Widjaja, CEO of Sinar Mas Land, developer of BSD, disclosed, the location used by Purwadhika is the region which is currently the digital hub to support the digital industry ecosystem. They set up the infrastructure and facilities for the gathering of people who have similar talents and interests. Later, when tested, similar centers will be included in property projects in other regions. According to Michael, building an industrial ecosystem always starts from the school, such as the presence of the Purwadhika coding school.

Perbaiki Penguasaan atas TIK

Kompas, halaman 12

Saat ini, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bukan mata pelajaran tersendiri. Pembelajarannya dilakukan secara terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Hal ini dinilai membuat penguasaan siswa atas TIK menjadi lemah. Persoalan itu mengemuka dalam seminar dan rapat kerja nasional guru TIK serta keterampilan komputer dan pengelolaan informasi (KKPI), di Jakarta, Selasa (27/12). Sekretaris Jenderal Komunitas Guru TIK/KKPI (Kogtik) Wijaya Kusumah mengatakan, ada perbedaan persepsi antara pemerintah dan praktisi pendidikan dalam memandang pentingnya penguasaan TIK. Dalam Kurikulum 2013, TIK tidak ditempatkan sebagai mata pelajaran, tetapi hanya sebagai bimbingan dan layanan.

Menurut Wijaya, Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya cakap memanfaatkan TIK, tetapi juga bisa berkreasi dan berinovasi. Penguasaan ilmunya harus diajarkan agar TIK di  Indonesia berkembangan dan tidak sekadar menjadi pengguna.

Guru TIK SMA Negeri 7 Kota Tangerang, Banten, Fahrodin menuturkan, apa yang dibutuhkan sekarang adalah memperbaiki materi TIK, bukan menghapusnya dari daftar mata pelajaran. Saat ini TIK sekadar bimbingan, fasilitas komputer menjadi terbengkalai di sekolah-sekolah. Ia berharap TIK dinyatakan sebagai mata pelajaran TIK/Prakarya. Ia menilai, sekolah-sekolah kesulitas membuat TIK menjadi penting jika tidak ditetapkan sebagai mata pelajaran.

Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan informatika Mariam F Barata mengingatkan agar pembelajaran TIK benar-benar mendorong siswa menjadi lebih kreatif. Sejak dini siswa juga perlu diajarkan mengetahui etika pemanfaatan TIK, terutama dalam media sosial.

Improve Mastery of ICT

Kompas, page 12

Nowadays, information and communications technology (ICT) is not a separate subject.  Its learning is integrated in all subjects.  This is considered to prompt student mastery of ICT to become weaker. The issue was raised in a national seminar and working meeting of  teachers of ICT as well as computer skills and information management (KKPI), in Jakarta, Tuesday (27/12). Secretary General of the ICT/KKPI Teachers Community (Kogtik) Wijaya Kusuma said there is a difference in perception between the government and practitioners in viewing the importance of mastering ICT. In Curriculum 2013, ICT was not placed as a subject, but only as guidance and service.

According to Wijaya, Indonesia requires a generation that is not only proficient in the use of ICT, but one that can also create and innovate. Mastery of the science should be taught in order for ICT in Indonesia to develop and not (for the generation) to simply become users.

ICT teacher at SMA Negeri 7 Tangerang City, Banten, Fahrodin said, what is needed now is to improve the ICT materials, not remove it from the list of subjects.  Currently, ICT as merely guidance; computer facilities become dormant in schools. He hoped that ICT is expressed as ICT/ Crafts subject.  He considered schools to find difficulty making ICT important if it is not designated as a subject.

Meanwhile, Secretary of the Directorate-General for Informatics Applications Ministry of Communications and Information Mariam F Barata reminded for ICT learning to really encourage students to be more creative. Since early on students also need to be taught to know the ethics of ICT use, especially in social media.

kompas_perbaikan-penguasaan-atas-tik

Microsoft: Teknologi Tidak Akan Menggantikan Peran Guru

www.republika.co.id

Era digital mentransformasi cara belajar di dunia pendidikan. Berkat teknologi, siswa modern kini bisa mengakses ilmu pengetahuan dan informasi di mana saja dan kapan saja. Di masa mendatang, bukan tidak mungkin, teknologi kecerdasan buatan dan robot merevolusi cara mengenyam pendidikan bagi generasi muda. Pertanyaan besar kemudian muncul. Masihkah generasi pelajar sekarang dan di masa depan membutuhkan guru? Mungkinkah teknologi pada akhirnya menggantikan profesi pendidik?

Vice President Worldwide Education Microsoft Anthony Salcito memastikan jawabannya adalah tidak. Ia justru berpikir sebaliknya. Di era digital seperti saat ini dan masa mendatang, peran guru justru semakin besar dan dibutuhkan. Kuncinya adalah bagaimana guru merangkul perubahan dan menjadikannya alat untuk mengoptimalkan potensi siswa.

Salcito mengatakan, harus disadari potensi untuk perubahan saat ini jauh lebih berbeda. Di era digital,  terdapat jutaan persen konten dan potensi pendidikan yang tersedia bagi siswa. Tidak jarang, siswa justru belajar lebih banyak di luar sekolah. Guru pun butuh menyadari itu dan beradaptasi, tidak lagi hanya fokus pada penyebaran pengetahuan dari dirinya saja.  Jadi peran guru berubah, dari penyebaran menjadi benar benar mendorong dan menginspirasi murid untuk menyerap potensi itu.

Salah satu contoh adaptasi yang bisa dilakukan menurut Salcito adalah dengan memanfaatkan teknologi berbasis data. Guru kini bisa menggunakan aplikasi data dan statistik untuk memonitor tingkah laku, minat, potensi, hingga perkembangan siswa. Melalui data itu, guru bisa memahami lebih baik kelebihan serta kemampuan murid dan meningkatkannya. Ujungnya, metode pembelajaran yang diterapkan guru bisa semakin terarah.

Link: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/16/11/17/ogrva8284-microsoft-teknologi-tidak-akan-menggantikan-profesi-guru

Microsoft: Technology Will Not Replace the Teacher’s Role

www.republika.co.id

The digital era transforms the way of learning in education. Thanks to technology, modern students can now access science/ knowledge and information anywhere and anytime. In the future, it is not impossible, artificial intelligence and robotic technology is revolutionizing the way to enjoy education for the younger generation. The big question then arises. Shall the generation of students now and in the future require a teacher? Could technology eventually replace the educator profession?

Vice President of Microsoft Worldwide Education Anthony Salcito ensured the answer is no. He actually thought otherwise. In the digital era as it is today and in the future, the role of teachers is even greater and necessary. The key is how teachers embrace change and making them tools for optimizing the potential of the students.

Salcito said it must be realized the potential for change today is much different. In the digital age, there are millions of percent of content and potential of education available to students. Not infrequently, students actually learn more outside of school. Teachers also need to be aware of it and to adapt, no longer just focusing on the dissemination of knowledge from himself/ herself alone. So the teacher’s role changes, from spreading into truly encouraging and inspiring students to absorb the potential.

One example of adaptation that can be done according to Salcito is to use data-driven technology. Teachers can now use the data and statistics application to monitor the behavior, interests, potentials, up to the development of students. Through the data, teachers could better understand the advantages and capabilities of students and improve them. In the end, the learning methods applied by teachers are increasingly directed.

Link: http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/16/11/17/ogrva8284-microsoft-teknologi-tidak-akan-menggantikan-profesi-guru

rol_microsoft-teknologi-tidak-akan-menggantikan-peran-guru

Prakarya TIK, Ubah Perilaku Anak

Indopos, halaman 3

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dewasa ini berkembang pesat. Seiring dengan itu, sejumlah negara menerapkan pendidikan berbasis TIK. Praktisi pendidikan Indra Charismiadji menegaskan, computational thinking sangat dibutuhkan untuk mengajarkan pelajar berpikir kritis dengan kemampuan menggunakan teknologi. Namun, demikian, keterampilan baru di bidang IT tersebut masih sangat sedikit diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia.

Lebih jauh, Indra mengungkapkan, kebutuhan pekerja di abad 21 sangat bergantung pada TIK. Di sejumlah negara seperti Australia, Korea Selatan, dan Inggris computational thinking diberikan sejak dini dalam mata pelajaran seperti coding, computer sains dan computer programmer.

Indra menegaskan, kendala yang dihadapi sekolah di Indonesia adalah pada ketersediaan sarana dan prasarana. Pasalnya, computational thinking tersebuat membutuhkan sarana memadai. Selain itu, keterbatasan guru pengajar dan materi ajar juga harus segera diatasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Walaupun, menurut Indra dalam revisi Kurikulum 2013 mata pelajaran TIK telah dimasukkan, untuk guru sebaiknya diberikan pelatihan dan sertifikasi.

Ia menambahkan, computational thinking mengajarkan kepada anak untuk dapat memecahkan masalah. Caranya dengan mengelompokkan masalah sesuai pola yang sama. Sehingga ini memudahkan anak-anak memecahkan masalah tersebut. Bentuk prakarya tersebut saat ini baru diterapkan di sekolah-sekolah swasta berkelas. Ia juga menyarankan agar prakarya TIK di Indonesia dapat fleksibel tidak harus sesuatu yang rumit dan bisa saja masuk di dalam mata pelajaran apa saja.

ICT Craft, Changes Child Behavior

Indopos, page 3

The development of information and communication technology (ICT) is growing rapidly today. In line with that, a number of countries are implementing ICT-based education. An education practitioner, Indra Charismiadji asserted that computational thinking is greatly needed to teach students critical thinking with the ability to use technology. Nevertheless, much of the new skills in the IT field are still very little applied in schools in Indonesia.

Furthermore, Indra said that worker needs in the 21st century rely heavily on ICT. In some countries such as Australia, South Korea and the United Kingdom, computational thinking is given since early on in subjects such as coding, computer science and computer programming.

Indra confirmed that the problems faced in Indonesian schools relate to the availability of facilities and infrastructure; because computational thinking requires adequate facilities. In addition, the limitations of teachers/ educators and teaching materials should also be immediately addressed by the Ministry of Education and Culture. According to Indra, although the subject of ICT has been included in the revised Curriculum 2013, the teachers should also be given training and certification.

He added that computational thinking teaches children to solve problems. It could be done by classifying problems according to the same pattern. So it is easier for children to solve the problem. Such crafts (ICT craft) have just started to be applied in leading private schools. He also suggested that the ICT craft in Indonesia could be flexible, should not be something complicated and can be included in any subject.

indopos_prakarya-tik-ubah-perilaku-anak

Mahasiswa Didorong Gunakan Media Sosial dengan Bijak

www.antaranews.com

mahasiswa harus cerdas dalam menggunakan media sosial, karena media sosial tidak hanya dapat membantu seseorang dalam banyak hal namun juga dapat mendorong dan memberikan perubahan yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat.

Koordinator Kampus kitabisa.com, Muhammad Junaedi, mengatakan, mahasiswa dapat menggunakan media sosial untuk membantu masyarakat yang membutuhkan, misalnya menciptakan kotak amal virtual atau penggalangan dana. Jika mereka mampu memanfaatkannya, media sosial  juga bisa memberikan manfaat bagi orang lain. Hal itu diungkapkan Junaedi ketika berbicara pada seminar bertema “Socio Technology Future Leader, Online Fundraising for Campus Issues” di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Selasa (25/10).

Dia mendorong mahasiswa untuk menggunakan platform media sosial secara efektif dan inovatif, karena Indonesia adalah rumah bagi banyak orang yang bersedia membantu namun tidk tercukupi oleh adanya website atau platform yang bisa menghubungkan mereka yang ingin membantu dengan mereka yang membutuhkan bantuan. Junaedi menambahkan bahwa situs non profit yang dikelolanya merupakan salah satu pemanfaatan media sosial dengan cara menggalang dana bagi masyarakat yang membutuhkan. Situs yang dikelola tersebut menjadi salah satu situs penggerak perubahan.

Ia menambahkan, dalam mengelola penggalangan dana secara online diperlukan beberapa langkah yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah melalui peer funding. Faktanya dalam melakukan pendanaan 80 persen donasi datang dari lingkungan terdekat. Sebagai permulaan, lanjutnya, dengan membuat daftar 100 teman yang berpotensi menjadi donator. Dalam penggalangan dana melalui media online harus melalui pesan pribadi ketimbang melalui broadcast karena akan mudah disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Sementara itu, pendiri Hipwee Community Yogyakarta, Irvandias Sanjaya, mengatakan, kekuatan pemuda untuk mengubah masyarakat yaitu melalui ide-ide yang dapat dilakukan melalui pemanfaatan media sosial. Ia mengatakan, untuk merealisasikan ide-ide tersebut menjadi upaya nyata, maka diperlukan jaringan, waktu, idealisme, dan uang. Uang ini menjadi salah satu hambatan dalam merealisasikan ide. Dan kita bisa mencari bantuan melalui penggalangan dana untuk merealisasikan ide-ide tersebut, yang tentunya harus memberikan manfaat bagi orang lain.

Students Encouraged to Use Social Media Wisely

www.antaranews.com

Students must use the social media wisely as not only it helps one in many ways but it can also propel and usher in the much needed change in society.

Muhammad Junaedi, kitabisa.com Campus Coordinator, said students can use social media to help those in need, for example by creating a virtual charity box or organizing fundraisers. If they can utilize it correctly, social media can bring benefits to other people as well. He was speaking at a seminar themed Socio Technology Future Leader, Online Fundraising for Campus Issues in the Yogjakarta Muhammadiyah University, Yogjakarta, on Tuesday.

He encouraged students to use social media platforms effectively and innovatively, as Indonesia is home to numerous people who are willing to help but there are not enough websites or platforms out there that could link them with those in need. Junaedi added that the non-profit site he manages was one such example of positive use of social media as it raises funds for those in need.
The site acts as a carrier for change, he pointed out.

He added, in online fundraising, a few steps need to be looked after. One can proceed through peer funding. As a matter of fact, 80 percent of donations come from immediate surroundings. So, for that reason, start by listing down a hundred friends who are potential donors as well. The fundraising also needs to be done through online media platforms instead of broadcast messages lest irresponsible individuals try to misuse it.

Meanwhile, a founder of Yogyakarta Hipwee Community, Irvandias Sanjaya, underlined that the young generation can bring change in the community with its ideas by using social media. He said, in realizing these ideas, one needs to make tangible efforts, network, devote time, be fired with idealism and have access to money. Money can be a challenge and we can seek support through fundraising schemes in order to actualize our ideas, which surely should be beneficial to other people.

Link: http://www.antaranews.com/en/news/107395/students-encouraged-to-use-social-media-wisely

amtaramews_students-encouraged-to-use-social-media-wisely