Kompas, halaman 1, Minggu, 7 May
Rektor semua perguruan tinggi di Indonesia bertanggung jawab mencegah dan memberantas paham radikalisme di kalangan mahasiswa dan dosen. Paham yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa tersebut belakangan ini mulai menyasar kaum intelektual. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir meminta semua rektor perguruan tinggi lebih ketat mengawasi penyebaran paham radikal. Rektor harus bertanggung jawab atas dinamikan di dalam dan di luar kampus. Seluruh aktivitas kelompok mahasiswa dan bahan ajar dari dosen harus dipastikan tidak mengandung materi yang menjurus perpecahan bangsa. Hal itu disampaikan Nasir saat menghadiri Deklarasi Semangat Bela Negara dari Semarang untuk Indonesia di Universitas Negeri Semarang (Unnes), Jawa Tengah, Sabtu (6/5).
Deklarasi tersebut ditandatangani rektor dan perwakilan mahasiswa dari perguruan tinggi negeri dan swasta se-Jateng. Salah satu isinya adalah anti-radikalisme/terorisme. Nasir mengingatkan, perguruan tinggi diinstruksikan mempunyai kurikulum bela negara dan wawasan kebangsaan guna mencegah paham radikalisme. Radikalisme harus dibasmi dari lingkungan kampus untuk menjaga masa depan generasi bangsa.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengatakan, potensi kampus terpapar paham radikalisme sangat besar. Kamu muda menjadi target utama karena mereka masih dalam proses pencarian jati diri. Penyebaran radikalisme juga kian muda seiring perkembangan teknologi komunikasi. Ia menambahkan, rektor harus tahu kalau ada dosen atau mahasiswa yang tiba-tiba hilang atau tidak ada komunikasi. Hal tersebut bisa jadi embrio radikalisme.
Menurut Suhardi, kelompok radikal di lingkungan kampus dapat diidentifikasi. Mereka biasanya terdiri atas segelintir orang yang kerap menggelar pertemuan tertutup dan jarang berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Rektor harus mampu mendeteksi tanda-tanda penyebaran radikalisme itu sejak dini dengan penguatan antarelemen kampus.