Akses dan Mutu Timpang

Kompas, halaman 11

Meski akses ke sekolah formal terus membaik, sebagian besar siswa miskin mengenyam sekolah bermutu rendah. Sekolah seperti ini, antara lain, dicirikan dengan hasil nilai ujian nasional rendah dan berakreditasi C. Perlu kebijakan yang berpihak pada warga miskin.

Persoalan ketimpangan akses pada pendidikan berkualitas tersebut terungkap dari hasil studi berjudul “Kualitas Pendidikan untuk Siapa? Studi tentang Kesenjangan Akses Masyarakat Miskin pada Akses Pendidikan Berkualitas”. Studi tersebut dilakukan lembaga riset untuk perubahan sosial Article 33 bekerja sama dengan Program Knowledge Sector Initiative (KSI).

Hasilnya dipaparkan dalam diskusi di Jakarta, Selasa (9/5), oleh Direktur Eksekutif Article 33 Indonesia Santoso. Santoso menjelaskan, studi itu dilakukan di lima daerah, yakni Kota Makassar (Sulawesi Selatan), Kota Malang (Jawa Timur, Kota Bogor (Jawa Barat), Kabupaten Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Kabupaten Bima (Nusa Tenggara Barat). Studi ini berfokus menelaah akses masyarakat miskin terhadap pendidikan yang berkualitas.

Santoso memapakarkan jika masyarakat miskin telah memperoleh layanan pendidikan, tetapi kualitas sekolah itu rendah, keluaran yang dihasilkan pun tidak baik. Lulusannya tidak bisa bersaing dalam pasar kerja sehingga tidak mampu keluar dari perangkap kemiskinan

Selama lebih kurang 13 tahun (2000-2013), angka partisipasi murni (APM) SD konsisten di atas 90 persen. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kaya dan miskin. Di tingkat SMP, APM naik dari 60 persen ke 70 persen, yang menunjukkan penduduk miskin naik dari 45 persen jadi 65 persen. Adapun di SMA, APM naik dari 40 persen ke 53 persen, mencerminkan warga miskin naik dari 20 persen menjadi 30 persen.

Menurut Santoso, hasil analisis menunjukkan jumlah penerima Program Indonesia Pintar (untuk siswa miskin) cenderung lebih banyak di sekolah yang mempunyai nilai ujian nasional rendah. Semisal terlihat di Kota Bogor, siswa penerima PIP terbanyak di daerah pinggiran dan menengah yang berkolerasi dengan nilai UN yang rendah jika dibandingkan dengan penerima PIP di pusat kota.

Menurut Santoso, kondisi tersebut karena ketimpangan pendidikan berkualitas. Dalam seleksi siswa baru, umumnya mengacu pada hasil UN dan perankingan. Akibatnya, siswa miskin di sekolah berkualitas rendah kian tak punya peluang.

Leave a comment