Kompas, halaman 15
Indonesia harus menyiapkan sumber daya manusia yang tepat dengan berbasis kompetensi. Jika tidak, negara ini dipastikan sulit menuai manfaat bonus demografi dan mewujudkan cita-cita menjadi delapan negara ekonomi terbesar dunia pada 2045. Karena itu, perlu dipertegas standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) yang bisa menjadi acuan lembaga pendidikan dan pelatihan, termasuk perguruan tinggi dan vokasi. Hal itu disampaikan Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BSNP) Sumarna F Abdurahman, di Universitas Indonesia, Senin (22/5).
Menurut Sumarna, belakangan ini terjadi pergeseran peta kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja. Pada dekade 1980-an, Indonesia menghadapi krisis tenaga kerja di tingkat operator dan teknis. Saat ini bergeser ke sulitnya mencari tenaga kerja tingkat manajerial ke atas. Berdasarkan pengamatan bursa kerja yang dilaksanakan Kementerian Tenaga Kerja, hanya sekitar 40 persen tenaga kerja yang bisa direkrut. Di pasar kerja daring juga hanya sekitar 40-55 persen yang memenuhi persyaratan perusahaan.
Sumarna mengatakan, sudah saat pemerintah mengalokasikan anggaran pada industri untuk mengembangkan SKKNI. Menurut Sumarna, pihaknya mendorong dibentuknya sistem pendanaan pengembangan keahlian untuk mempercepat penyediaan SDM tenaga kerja berkualitas. Indonesia harus menyiapkan SDM berkualitas di sektor maritim, pariwisata, dan ekonomi kreatif dengan didukung pembangunan sektor infrastruktur.
Direktur program Pendidikan Vokasi UI Sigit Pranowo Hadiwardoyo mengatakan, dunia pendidikan berupaya keras untuk menghasilkan lulusan yang siap kerja/wirausaha. Lulusan vokasi diberkali dengan sertifikat kompetensi sebagai bukti kesesuaian kompetensinya dengan dunia kerja. Karena itu, kata Sigit, Program Vokasi UI mendirikan Lembaga Sertifikasi Pihak Kesatu (LSP-P1) agar semua lulusan disertifikasi.